Bab 1
Pendahuluan
|
A.
Letak Geografis
Pulau Rote adalah pulau yang letaknya paling
selatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia dan termasuk bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur dari Kepulauan Sunda
Kecil.
Pulau ini memiliki luas ± 1.200 km² yang berjarak ± 500 km dari timur laut Australia dan ± 170 km timur laut
dari Kepulauan Ashmore
dan Cartier
(Australia). Pulau ini secara geo-grafis, terletak di barat daya pulau Timor yang sebe-lah utara berbatasan dengan
Laut Sawu, sebelah selatan
berbatasan dengan adalah Laut Timor, sebe-lah barat berbatasan dengan
Laut Sawu dan Samu-dera Hindia, serta sebelah
timur berbatasan dengan pulau Timor dan Laut Timor. Pulau Rote
sendiri terletak di antara 10,27º LS – 10,56º LS dan 122,47º BT – 123,26º BT (Gyanto, 1958:50). Kota utama di pulau ini adalah Ba'a yang terletak di bagian
utara dan sekarang menjadi ibukota Kabupaten Rote Ndao.
Pada tahun 2002, pulau Rote dan pulau-pulau sekitarnya dibentuk
menjadi sebuah kabupaten yaitu Kabupaten Rote Ndao yang secara geografis
terletak di antara 10,25º LS – 11,00º LS dan 121,49º BT – 123,26º BT. Kabupaten
ini merupakan kabupaten ke-pulauan
yang terdiri dari 96 pulau dan 7 pulau di antaranya sudah dihuni yakni pulau
Rote, Ndao, Nuse, Landu, Nusa Manuk, Usu dan Ndana sedang-kan 89 pulau lainnya tidak
berpenghuni. Berdasarkan data primer Rote Ndao (2014) bahwa kabupaten ini
dibagi dalam 10 (sepuluh) kecamatan yaitu:
1.
Kecamatan
Lobalain dengan ibukota Baa
2.
Rote
Tengah dengan ibukota Fe’apopi
3.
Pantai
Baru dengan ibukota Olifuliha’a
4.
Rote
Timur dengan ibukota E’ahun
5.
Landu
Leko dengan ibukota Daeurendale
6.
Rote
Selatan dengan ibukota Oele
7.
Rote
Barat Daya dengan ibukota Batutua
8.
Rote
Barat dengan ibukota Nemberala
9.
Rote
Barat Laut dengan ibukota Busalangga
10.
Ndao-Nuse
dengan ibukota Oli (BPS Rote Ndao 2014).
Gambar
1. Peta Pulau Rote dan Kecamatan
B.
Keadaan Alam dan Iklim
Berdasarkan
letaknya, pulau ini memanjang dari sebelah timur laut menuju ke arah barat
daya. Di tengah pulau ini terdapat daerah perbukitan dan batuan kapur. Di tepi
pantai terdapat dataran yang luas serta di sepanjang pesisir pantai laut
terdapat banyak teluk (Stibbe dkk dalam Soh
dan Indrayana, 2008:2). Pesisir pantai bagian selatan dikelilingi oleh tebing
dan batu karang sedangkan di bagian utara terdapat banyak pantai dengan
rangkaian pasir putih yang panjang.
Secara umum,
pulau ini disusun oleh dataran rendah, dataran tinggi dan daerah perbukitan.
Pada dataran rendah terdapat dua sumber mata air utama yaitu Nii Oen yang
terletak di Rote Timur dan Oe Mau yang terletak di bagian barat. Terdapat
sebuah gunung.
Pulau Rote pada
dasarnya merupakan pulau yang telah rusak oleh erosi dan abrasi, serta keadaan
alamnya sangat gersang. Pulau Rote beriklim tropis semi ringkai yaitu musim
hujan lebih pendek yaitu pada bulan Desember sampai Maret dan musim kemarau
atau musim panas lebih panjang yakni pada April sampai November. Pada musim
kemarau, terdapat angin musin timur yang kering dan antara bulan Juni sampai
Agustus, cuaca di pulau ini sangat dingin (pada malam hari) sedangkan pada
musim hujan, terdapat angin muson barat yang bertiup sangat kencang (Soh dan
Indrayana, 2008:5-6).
Pada umumnya
pulau Rote ditumbuhi oleh pohon lontar (tua).
Selain itu terdapat beberapa jenis pohon yang banyak tumbuh di pulau ini antara
lain pohon aren (tula), bidara (kok), jawi-jawi (kekasinak), beringin (nunuk),
jati (dati), lamtoro (ai ulek), kelapa (no), kesambi (kole),
tambering (ninilu), dadap (delas), kelumpang (nitas) dan lain-lainnya.
Namun dalam
mata pencaharian masyarakat selalu beradaptasi dengan keadaan iklim ini
sehingga walaupun terdapat musim kemarau yang panjang tetapi masyarakat selalu
berusaha untuk mencari nafkah seperti menyadap pohon lontar (yang meng-hasilkan banyak pada musim
panas). Namun
kehidu-pan
masyarakatnya sangat kaya akan keragaman mata pencaharian. Sebagian besar orang
Rote meru-pakan
petani, sedangkan yang lainnya bergerak di bi-dang peternakan (peternak), perikanan
(nelayan), dan perdagangan hasil bumi lainnya. Dalam bidang eko-nomi, kehidupan orang Rote
bergantung pada hasil penyadapan pohon lontar (tua) yang dalam tradisi dianggap sebagai pohon kehidupan. Dalam hal
ini, seluruh bagian pohon lontar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
kelangsungan hidupnya.
Dalam hal
berprofesi sebagai petani, tanaman yang umum ditanam adalah padi (hade), jagung (pelak), kacang hijau (fufue
lutu), kacang tanah (fufue dae),
kacang nasi (fufue ina), turi (tulis), wijen (lena), dan lain-lain yang dapat dikelola untuk menjadi bahan
makanan sehari-hari. Sedangkan dalam hal peterna-kan, masyarakat biasanya memelihara
kerbau (kapa), sapi (sapi), babi (bafi), anjing (busa),
ayam (manu), domba (bi’i lopo), kambing (bi’i aek), dan kuda (ndala).
C.
Lontar sebagai
Pohon Kehidupan
Orang
Rote secara umum lebih banyak meman-faatkan berbagai hasil dari pohon lontar
untuk me-menuhi kebutuhan hidupnya. Pohon lontar berbunga dua kali dalam satu
tahun dan untuk menyadap pohon lontar jantan biasanya tunas mayang yang sedang
terkulai dipotong ujungnya sesudah berkuncup dan bagian yang bersabut
dihancurkan agar mulai menge-luarkan nira. Sedangkan untuk menyadap pohon
lontar betina, mayang harus diremas dengan kuat dengan pengapit (kakabik) dan dipotong ujungnya sebelum
berbuah.
Nira
dari pohon lontar dikumpulkan oleh penya-dap dua kali sehari di dalam wadah
yang disebut sambak ‘wadah yang
terbuat dari daun lontar’. Setiap pengumpulan nira, ujung mayang lontar harus
diiris tipis dengan tujuan niranya dapat mengalir terus-menerus. Dalam setahun,
penyadapan dua kali yaitu antara bulan April sampai bulan Juli yang disebut
dengan musim tua timu dan antara
bulan Agustus sampai November yang disebut musim tua fanduk. Pohon lontar mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan
keseharian orang Rote.
1. Daun
Lontar (tua dok)
Daun lontar selain digunakan untuk atap rumah, juga dapat
digunakan untuk membuat tikar (nene’ik),
kipas (nggenggefuk), payung (seu), bakul (buas), keranjang (lokak),
topi (ti’ilangga) dan mbili (topi yang digunakan untuk bertani),
dan lain-lain. Selain itu, daun lontar dapat ditekuk menjadi wadah timba se-perti
seseluk (wadah timba kecil), sasalik (wadah timba besar), kokondak/kuneuk (wadah timba sedang
yang biasa digunakan untuk tempat untuk mengambil nira di atas pohon lontar), mbisak/kapisak (keranjang yang digunakan
untuk tempat penampungan nira di atas pohon lontar). Pucuk daun lontar dapat
dihalus-kan untuk digunakan sebagai kertas rokok (modo sosongga). Salah satu kegunaan daun lontar adalah bahan dasar
membuat sasando.
2. Tangkai
Lontar (tua beba)
Tangkai
lontar dapat digunakan untuk bahan membuat pagar (mba’a beba). Selain itu, tangkai lontar dibelah dan dibuat tali
pengikat (beba hehe-nggek). Manfaat
lain dari tangkai lontar adalah dapat digunakan sebagai bahan perapian rumah
tangga.
3. Batang
Lontar (tua huk)
Batang
lontar dibelah dan dilubangi untuk diguna-kan sebagai peti jenazah (kopa tua) dan tempat ma-kan hewan
peliharaan (ha’o). Selain itu, batang
lontar juga dapat dibentuk menjadi bahan-bahan bangunan seperti dinding (lindi tua) dan bahan membuat tempat
duduk (loa tua).
4. Buah
Lontar (saiboa)
Buah lontar yang masih muda (saiboa nulak) di-gunakan sebagai bahan makan yang lesat. Sabut dari
buah lontar (saiboa seeseek) digunakan untuk men-gerat pada
penampungan air gula dalam proses penyulingan arak. Tunas dari biji (saiboa numbuk) lontar digunakan sebagai
makanan hewan.
5. Nira
Lontar (tua matak)
Nira
lontar digunakan untuk membuat gula merah, gula lempengan (tua batuk), gula air (tua
nasu), dan juga sebagai bahan membuat lalu
(arak yang diren-dam) dan ala (arak
yang disuling).
D.
Sejarah Nama Pulau Rote
Pada jaman
sebelum penjajahan, pulau
Rote disebut Kale. Masyarakat Rote lainnya menyebut
pu-lau ini dengan nama Lolo Deo do Tenu
Hatu yang artinya pulau
yang gelap.
Ada juga yang menyebut Nes do Male
yang artinya pulau
yang layu/kering (Otta, 1990:10). Pada daerah
lain juga terdapat sebu-tan
lain yaitu Lino do Nes
yang berarti pulau
yang sunyi
(Naladay, 1988:14).
Nama pulau
Rote dalam dokumen Portugis pada abad ke-16 dan ke-17 tercantum berbagai nama.
Pu-lau itu dikenal dengan nama Rotes.
Dalam peta Belanda, mula-mula pulau Rote disebut Rotthe, yang oleh ahli peta kemudian dikutip secara salah menjadi Rotto. Namun dalam salah satu peta dari
awal abad ke-17, pulau ini disebut dengan nama pribumi Noessa Dahena (Nusa Dahena) yang berasal dari dialek Rote bagian
timur secara harafiah berarti ‘Pulau Manusia’.
Menurut
sejarahnya, pada bulan Februari
1522 pertama kalinya pulau Rote ditulis dengan nama Rote oleh sisa awak kapal Magelhan yang
singgah di pulau Rote (Fox, 1996:25-27). Pada pertengahan abad ke-17, Persatuan
Dagang Hindia Belanda (VOC) dalam
dokumen-dokumennya menggunakan nama Rotti
dengan tiga ejaan yang berbeda yaitu Rotti,
Rotty, dan Rotij. Sebutan resmi
ini terus dipergunakan sampai pada abad ke-20 dan diubah menjadi Roti.
Dalam kebiasaan adat suku bangsa, masyarakat
Rote masih terus mengakui
bahwa nama pulau ini adalah nama yang diberikan oleh Portugis. Demikian pula,
nama Roti adalah perubahan bahasa
Melayu dari Rote suatu perubahan yang
menimbulkan suatu permainan kata yang tidak berarti dan sudah usang dari kata roti, yang kebetulan dalam bahasa Indonesia artinya makanan yang
dibuat dari tepung terigu. Pen-duduk setempat masih lebih suka menggunakan Rote, akan tetapi hal ini merupakan persoalan pula karena /r/ dan
/l/ digunakan berganti-ganti dalam dialek-dialek daerah yang terdapat di pulau ini.
Oleh karena itu, sebagian dari penduduk menye-but Lote. Dalam bahasa sastra, pulau ini
disebut dengan nama lengkap Lote do Kale (dalam bahasa Ritual disebut Lote Daen do Kale Oen).
Sebutan ini menggabungkan nama asli pulau dan nama yang diberikan oleh
orang Belanda dan atau Portugis.
Di Indonesia dewasa ini, hampir semua dokumen-dokumen
resmi yang berasal dari pulau ini meng-gunakan
nama Rote, sebagian besar dokumen-doku-men dari pemerintah pusat
memakai Roti. Nama inilah yang
digunakan dalam peta-peta dunia, dan tampak lebih diterima dalam kalangan yang
luas (Fox, 1996:25-26).
Penamaan pulau
Rote versi lain menurut
data De Clercq tahun 1878, bahwa penamaan
pulau Rote
sebenarnya berasal dari kata roti
dari bahasa Melayu yang berarti penganan dari tepung terigu. Awalnya di ujung
timur pulau
Rote terdapat sebuah tempat yang bernama Pantai Rote termasuk dalam nusak Landu. Pendaratan pertama kali di pulau Rote pada tempat itu sehingga
terjadi salah pengertian dari awak kapal yang mendengar bahwa tempat itu adalah
Roti, sehingga pulau ini
kemudian dinamai pulau Roti.
Sementara itu Soh dan Indrayana (2008:1) mengutip sebuah buku
berbahasa Belanda yang ber-judul Land
Taal & Volkenkunde Van Nederlands Indie (1854) yang hampir sama dengan
data De Clercq yaitu dinyatakan bahwa pada kurang lebih 3
abad se-sudah penduduk
mendiami pulau
Rote, di sebelah utara timur laut pulau Rote muncul kapal-kapal Por-tugis sedang buang
jangkar dan mereka turun ke darat karena membutuhkan air tawar untuk minum di atas
kapal. Di pantai, mereka
bertemu dengan se-orang nelayan dan bertanya, “pulau ini bentuknya bagaimana?” Nelayan
ini menyangka bahwa mereka menanyakan namanya, nelayan ini menjawab, Rote (Rote is Mijn Naam). Nahkoda kapal Portugis itu menyangka bahwa bentuk pulau itu
Rote, segera ia menamakan pulau itu Rote.
Demikian seterusnya pulau ini disebut Rote.
(Een Landschen School Mes-ster,
1854-4). Sayangnya, Soh tidak mengungkapkan secara lengkap sumber acuan
pertama, karena itu,
apa yang dikemukakan oleh Soh dalam bukunya patut diragukan tingkat
kebenarannya, kecuali Soh menye-butkan sumber acuannya secara lengkap, terutama
sumber pertama yang menjelaskan tentang dialog antara nahkoda Portugis dan
nelayan Rote, minimal ada nama dari kedua orang tersebut, dan
atau tanggal kejadian
bisa disebutkan.
Menurut Gyanto (1958:80-81) bahwa pada jaman dahulu ada
seorang bernama Rotte yang tinggal di Ringgou. Orang itu bertemu dengan sebuah
kapal Portugis dan kapten kapal itu menanyakan nama pulau namun karena tidak
mengerti bahasa yang digunakan kapten kapal itu sehingga ia mengira kapten itu
menanyakan namanya sehingga ia men-jawab “Rotte”. Setelah itu, nama Rotte
dibawa kemana-mana. Orang Rote pun mengaitkan nama itu dengan kata Kale sehingga disebut Rotte do Kale.
Dalam dunia internasional, pulau ini lebih dikenal dengan
nama Roti. Tetapi, orang Rote maupun warga Nusa Tenggara Timur pada umumnya
telah lama menggunakan nama Rote. Di pihak lain, bagi
dialek-dialek yang mengenal /l/ (dalam perubahan bunyi /r/) menyebut Lote adalah nama pulau Rote dalam bahasa
Rote sedangkan nama Rote merupakan
nama dalam bahasa Melayu (Indonesia).
E.
Asal-Usul
Orang Rote
Cerita kedatangan leluhur dari Pulau Seram ke Pulau Timor
dan Pulau Rote terletak jauh dalam sejarah sebelum kedatangan orang Portugis ke
pulau Rote. Dalam
syair-syair orang Rote (bini)
disebutkan bahwa orang-orang Rote datang dari Sera Sue do Dai
Laka (Sera Laka). Kata Sera Laka dapat dibanding-kan
dengan negara Sri Lanka dan nama
leluhur itu adalah
Mandapai Bulan.
Sementara dalam
kata Sera atau Sela disamakan dengan
kata Seram (Pulau Seram) dan Sue rupa-rupanya merupakan nama
suatu tempat yang
berada di pulau Seram. Sedang-kan kata Dai Laka, merujuk pada Laka/Loko atau Meloko yang menunjuk
pada nama suatu
tempat yang terdapat di
Maluku. Sedangkan dalam syair-syair Rote diceritakan bahwa leluhur
orang Rote pertama
kali datang dari Selandulu dan Dailaka. Leluhur yang
datang bernama Pau Balo dan Bola Lungi (Mboeik dkk, 1985:94-96).
Konon, para
emigran yang datang dari Sela Sue dan Dai Laka ke selatan tidak menggunakan
perahu, tetapi dengan potongan kayu-kayu
kering yang oleh gelombang di bawah ke arah
timur. Beberapa di
antaranya mendarat di pulau Kesar (Kisar) dan kemu-dian baru pergi ke pulau
Timor. Sesudah berdiam beberapa lama di sana,
mereka berlayar lagi ke Rote dengan potongan kayu. Karena arus gelombang,
maka beberapa di
antaranya tiba di Ende (Flores) sedangkan yang lain mendarat di Ndao, dan
yang lain lagi mendarat
di Sabu.
Nenek moyang pertama yang keluar dari Seram bernama Sera.
Ia mendarat di pulau Timor
(tepatnya di Belu) dan
tinggal di sana dengan daftar keturunan-nya yaitu Sera menurunkan Liurai Sera; Liurai Sera menurunkan Bessi Liurai; Bessi Liurai menurunkan Mau Bessi; Mau Bessi menurunkan Belu Mau, Thi
Mau, Savu Mau, dan Lote Mau.
Cerita tentang genealogi Thi Mau sebagai leluhur orang
Thie dan Lote Mau diungkapkan dalam tulisan F. H. Van de Wetering (1925) bahwa
leluhur pertama yang keluar dari pulau Seram bernama Sera dengan daftar
silsilah adalah Sera menurunkan Liurai Sera; Liurai Sera menurunkan Besi
Liurai; Besi Liurai menurunkan Mau Besi; Mau Besi menurunkan Belu Mau
(perempuan), Thi Mau, Savu Mau, dan Lote Mau.
Berdasarkan
cerita sejarah yang dikenal orang orang tua Rote bahwa Mau Bessie bersama
keturu-nannya tinggal di Belu tepatnya di Suai Kama. Belu Mau menetap di sana
dan menjadi leluhur orang Belu.[1] Thi Mau kemudian pindah
ke Pulau Timor bagian barat tepatnya di sebuah gunung di Amfoang Selatan yang sekarang
dikenal dengan nama Gunung Timau. Savu Mau pergi ke Pulau
Sabu dan menjadi leluhur sebagian orang Sabu. Sedangkan Lote Mau pergi ke Pulau
Rote.
Menurut
cerita para tua adat bahwa Thi Mau pindah ke Amfoang Selatan sekitar tahun
1123. Sete-lah tinggal di sana beberapa waktu, Thi Mau bersama keluarganya
menuju selatan dan akhirnya tiba di Pulau Rote. Awal kedatangannya di Rote,
tinggal di Landu tepatnya di Karafao (salah satu nama tempat di Landu) dan pada
tahun 1130 pindah sebuah pulau kecil di ujung barat pulau Rote lalu diberi nama
pulau itu Landu. Setelah
itu, Thi Mau bersama keturunannya pindah ke Pulau Rote yaitu di Rene (salah
satu tempat dekat Olikambaoek). Tinggal beberapa waktu, mereka pindah lagi ke Taratu Lain atau
Inggurak yang berada di
desa Lekik, Thie.
Raja Thie waktu
itu bernama
Saku Nara (generasi ke-9 dari Thi Mau) dan mulai membagi masyarakat Thie dalam dua suku besar
yaitu Suku Taratu
dan Suku Sabarai.
Lote Mau pindah
ke Rote bagian timur, di sebuah tempat bernama Pantai Rote yang terletak di nusak Landu. Dari sini sebagian dari
mereka pergi ke Ringgou, di mana sampai sekarang masih ada se-buah suku yang bernama Suku
Rote yang terdiri dari subsuku Roteanabako, Rotelamalu, Roteanakai, Ro-tetutudila, dan Roteanalaso
(Soh dan Indrayana, 2008:81).
Selain itu,
leluhur yang bernama Loma Fuliha dan Ola Fuliha datang dari Ende (Flores). Loma
Fuliha berdiam di Ba’a, di mana telah ada tiga suku yaitu, Kunan, Suki, dan
Modok. Mereka berasal dari Ende, rupanya disimpulkan dari nama suku-suku (raja)
ke-empat dari Ba’a bernama
Ene. Orang kedua, Ola Fuliha tinggal di Korbaffo. Nenek moyang orang Termanu
datang dari Timor, namanya Tela Talamanu. Leluhur orang Beluba datang dari
Belu. Di-laporkan
oleh A. C. Kruyt bahwa ketika orang-orang Rote mau meninggalkan Belu,
orang-orang Belu bertanya Belu ba ia be?
artinya orang-orang Belu kemanakah anda pergi? Yang ditanya menjawab kami pergi
ke selatan ke pulau Rote. Kemudian mereka menduduki sebidang tanah di Rote
Timur dan menamakannya Beluba, sesuai
dengan kata Belu ba, dua kata pertama
yang diajukan oleh mereka yang tinggal yang sekarang disebut Bilba (Beluba).
Leluhur orang
di nusak Dengka adalah Mengge Bula
datang dari daerah Amanuban (Pulau Timor). Sebagian penduduk nusak Loleh datang dari Seram. Leluhur
mereka bernama Okke Mai, yang mendarat di pantai No Ne do Hundi Hitu (no ‘kelapa’, ne ‘enam’, hundi ’pisang’, hitu ‘tujuh’, dan do
‘atau’).
Para leluhur nusak Delha dan Oenale dari Molo, Timor
Tengah di pulau Timor. Inoama Leki, leluhur orang Keka datang dari nusak Oenale ialah “tuan tanah” Keka.
Leluhur orang Keka yang lain datang dari Termanu namanya Bela Solu, dan anaknya
bernama Malelak Belan. Dia adalah raja pertama dari nusak Keka. Leluhur orang Diu adalah Biliama Tine dan Amatae
Songgo, yang berpindah dari Loleh ke Diu (Rote Timur).
Menurut K. F.
Hole dalam salah satu artikel yang ditulis tahun 1882 bahwa orang-orang
meninggalkan pulau Seram, mungkin karena diusir oleh orang-orang Portugis atau
orang-orang lain, ada seorang laki-laki yang mendarat di Fatu Leo (Fatu-batu,
Leo-Pemali). Orang itu bernama Tuku Tassi. Ia mengambil se-bidang tanah menjadi
miliknya dan tinggal di situ. Dalam daftar keturunan-nnya menurunkan Okke Mai
pada generasi ke-4 dan menjadi leluhur orang Loleh.
Menurut Jermias
Mbado (62) bahwa Lote Mau menurunkan Okke Lote, Okke Lote menurunkan Rama Okke
yang merupakan leluhur sembilan nusak
di Rote bagian timur dan Henda Okke yang merupa-kan leluhur sembilan nusak di Rote bagian barat. Henda Okke
menurunkan Lalo Henda, Lalo Henda menurunkan Pako Lalo, Pako Lalo menurunkan
Tasi Pako dan Pele Pako. Tasi Pako yang merupakan turunan subsuku Mbesa di
Loleh, Pele Pako merupa-kan
turunan sub suku Lebo di Loleh.
Dalam struktur
genealogi orang Rote, terdapat seorang leluhur yang dikenal oleh seluruh
masyarakat Rote yaitu Bula Kai. Dalam beberapa daftar silsilah bahwa Bula Kai
menurunkan 13 orang yaitu 1) Laka-mola
Bula (ke Bilba); 2) Patola Bula (ke Bokai, Baa, Lelain, Thie, Dengka, Loleh dan
Ndao); 3) Loma Bula (ke Oenale, Talae, Baa, Thie dan Dengka); 4) Liu Lai Bula
menurunkan Makapedu Liu Lai (ke Dengka), Laihamek Liu Lai (Bilba, Keka, Talae,
dan Loleh), Lamaketu Liu Lai (ke Rote bagian timur), Henda Oke Liu Lai (ke Rote
bagian barat); 5) Mengge Bula (ke Dengka); 6) Ma Bula (ke Termanu); 7) Ndu Bula
(ke Baa dan Dengka); 8) Besi Bula (ke Thie dan Lelain); 9) Batu Bela Bula (ke
Ringgou); 10) Makasene Bula (nikah dengan putra raja Ndana); 11) Lai Bula (ke
Korbaffo); 12) Leteba Bula (ke Landu); dan 13) Ba Bula (ke Loleh) (Izaac, 1990
dan Dethan, 1996).
F.
Sifat Orang Rote
Pada umumnya
orang Rote sendiri merasa bangga dengan adanya perbedaan. Mengungkapkan hal-hal
yang kecil seperti perbedaan cara bicara dan gaya pakaian daerah, nuansa dalam
hukum adat, dan upacara adat untuk menonjolkan bahwa kehidupan sosial dan
politik berbeda-beda. Perbedaan itu cende-rung
ditonjolkan dan dibesar-besarkan jika dilakukan sebuah kerjasama maka akan
menghasilkan suatu pertengkaran (Fox, 1996:116). Pertengkaran ini akan
diungkapkan dalam hal berbicara dan seni berdebat. Hal ini merupakan sifat
dasar orang Rote yang tidak ingin dihakimi dan diperintah oleh siapa pun.
Berbicara
merupakan sesuatu hal yang menarik dan menyenangkan bagi orang Rote sehingga
dalam menyelesaikan suatu perselisihan dengan kekerasan dianggap sebagai suatu
tanda bagi seorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara.
Orang Rote
beranggapan bahwa keterangan mengenai kekayaan bukan suatu hal yang dibicara-kan dengan terbuka. Tidak
ada orang Rote yang membicarakan harta miliknya. Menghindari pertanya-an mengenai kekayaan bukan
suatu kemampuan yang unik bagi orang Rote, tetapi merupakan suatu keahlian yang
dengan pandai telah dikembangkan. Demikian pula, bukan hanya merupakan suatu
keah-lian yang
dikembangkan untuk menghindarkan penye-lidikan
dan campur tangan dari luar, tetapi merupakan suatu hal yang mendasar dalam
gagasan orang Rote. Untuk kawasan penduduk Indonesia Timur, orang Rote terkenal
sebagai penduduk yang paling dapat menghindarkan campur tangan dari luar (Fox,
1996: 4-5).
Bagi orang
Rote, bicara adalah suatu daya tarik dalam kehidupan dan perdebatan merupakan
sesuatu yang sangat menyenangkan. Orang Rote bicara me-lantur mengenai soal yang
tidak berarti dan dianggap hal itu disebabkan karena sifat orang Rote yang suka
bicara, menimbulkan setiap pertengkaran, tentunya memberikan bahan untuk
berbicara.
Keahlian bicara
orang Rote diuji dalam sebuah perdebatan. Seseorang yang menghadapi sebuah
perselisihan pendapat dengan kekerasan dianggap sebagai orang yang tidak pandai
berbicara. Oleh karena itu, kebiasaan dalam sebuah upacara perka-winan menjadi barometer
pengukuran kepandaian berbicara orang Rote. Misalnya ketika seseorang menjadi
juru bicara mempelai perempuan atau laki-laki maka ketangkasan dan kelihaian
menyampaikan gagasan menjadi salah satu hal yang menarik untuk ditonjolkan
kepada masyarakat umum.
F.J. Ormeling,
bekas Direktur Institut Geografi Jakarta yang mengadakan penelitian di Timor
pada awal tahun 1950-an dengan cermat mencatat sifat orang Rote (1956:225)
yaitu keengganan masyarakat Rote untuk mematuhi perintah-perintah resmi ter-utama tampak pada waktu
perhitungan pajak ta-hunan.
Banyak orang Rote yang tidak di tempat pada waktu musim kemarau, ketika petugas
pajak ber-keliling
untuk memperkirakan panen agar dapat menentukan pendapatan tahunan dari
penduduk. Di dalam daftar pajak, nama-nama kampung di Rote seringkali diikuti
dengan catatan lari (tidak pernah ditemui ketika diadakan daftar pajak). Orang-orang Rote yang dapat ditemui
dan kepadanya diajukan pertanyaan-pertanyaan biasanya dengan cara yang sangat
cerdik menyatakan dirinya melarat dan tidak beruang.
Kehidupan
sosial orang Rote selalu mengutama-kan
sebuah filosofi sederhana yaitu kedi
deifo mala musu ‘cara untuk menaklukan musuh adalah menipu’. Hal ini
menjadi sebuah prinsip dasar orang Rote ketika menghadapi orang lain sehingga
biasanya mereka dikenal sebagai penipu. Menurut pandangan orang lain bahwa
orang Rote adalah orang yang tidak bisa dipercaya karena dengan keahlian
berdebatnya mampu meyakinkan orang lain walaupun keterangan yang diberikan
tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan dalam pergaulan orang Rote di luar pulau
Rote dikenal sebuah image yang dapat
mengganggu pikirian orang Rote pada umumnya yaitu bahwa semua orang yang banyak
bicara atau membesar-besarkan hal-hal kecil serta orang-orang yang suka menipu
dianggap sebagai Otak Rote.
Otak Rote
disejajarkan dengan sifat orang Rote yang suka menipu dan memutarbalikkan fakta
atau membenarkan hal yang salah serta suka menjatuhkan orang lain dari cara
bicaranya. Selain itu, sebuah kata yang diidentikan dengan otak Rote adalah
penggu-naan kata
tehu ‘tetapi’ dalam setiap
perdebatan. Dalam hal ini, setiap alasan selalu diterima dengan baik ketika
berdekat dan untuk menunjukkan perbe-daan
pendapat biasanya digunakan kata tehu ‘tetapi’.
Keterangan yang bertolak belakang dengan panda-ngan orang lain yang menggunakan kata tehu ‘tetapi’ itu menjadi senjata yang
paling berbahaya dalam sebuah perdebatan bagi orang Rote.
Kehidupan orang
Rote yang pandai dalam hal berbicara juga dapat digambarkan dalam tuturan adat
atau syair yang seolah-olah mengandung pembo-rosan kalimat untuk menjelaskan sebuah
maksud atau gagasan seperti dalam kutipan syair nai faik ia dalen ma nai ledok ia tein ‘di dalam hati hari ini dan
di dalam perut matahari ini’ yang bila dimaknai hanya mengungkapkan makna “pada
hari ini”. Pemborosan kalimat ini menjadi salah satu adat-istiadat yang secara
teratur berlaku dalam kehidupan orang Rote. Penuturan syair adat ini merupakan
simbol keahlian orang Rote dalam hal mengungkapkan sebuah cerita atau gagasan.
*************
Bab 2
Gambaran Umum Nusak
|
A.
Konsep
Nusak
Pulau Rote sejak awalnya telah mengenal pem-bagian masyarakat yang dapat
disejajarkan dengan sistem pembagian kasta dalam kehidupan masya-rakat Hindu-Budha di India.
Pengelompokan masyara-kat
di pulau Rote diartikan sebagai sebagai kategori-sasi
sosial yang diidentikan dengan sistem pemerin-tahan
sebuah kerajaan yang menurut orang Rote disebut nusak. Dalam hal ini, nusak dianggap sebagai struktur pemerintahan asli
orang Rote yang paling tinggi.
Secara etimologis, istilah nusak berasal dari kata nusa ‘pulau atau daerah’ dan diberi
sufiks penentu /-k/ menjadi kata ‘nusak’ untuk menunjukkan suatu pulau
atau suatu daerah tertentu. Menurut Fox (1986:176) nusak
dapat
mengacu pada wilayah, tetua, desa tempat tinggal atau pengadilan.
Dalam pandangan orang Rote, nusak
dapat diartikan sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu merupakan suatu
wa-dah
pengadilan tertinggi di pulau ini. Alasan yang mendasari nusak sebagai kerajaan adalah bahwa setiap nusak dipimpin oleh seorang manek
‘raja’. Menurut
Jonker bahwa nusak adalah sebuah
wilayah kekuasaan atau daerah swapraja (wilayah yang memiliki pemerintahan sendiri)
secara lokal dibentuk untuk sebuah daerah otonomi di pulau Rote (Jonker,
1908:409).
Definisi nusak secara umum
menurut Balukh, 2013 adalah sebagai berikut:
1) Nusak bermakna pulau, sehingga orang Rote menyebut pulau
Rote sebagai Nusa Lote dan pulau Ndao sebagai Nusa Ndao;
2)
Nusak bisa
berarti negeri atau negara;
3)
Nusak merujuk
pada wilayah kekuasaan inde-penden yang disebut kerajaan;
4)
Nusak merujuk
pada daerah dimana raja mene-tap. Beberapa tempat dinamai Nusak Lain, seperti di
Termanu dan Ba’a. Daerah-daerah tersebut berada di tempat ketinggian, misalnya
Fe’apopi di Termanu dan Nusak Lain di Ba’a. Pemilihan wilayah ketinggian sebagai tempat
tinggal raja karena alasan keamanan, sehingga tidak mudah mendapat serangan;
5)
Nusak juga adalah
tempat khusus untuk pelak-sanaan persidangan atau pengadilan. Di situlah
tempatnya raja dan para anggota dewannya menggelar berbagai kasus hukum, yang
disebut dede’a nusak ‘perkara umum (yang
harus diketa-hui oleh semua orang di daerah tersebut)’.
Nusak adalah wilayah kekuasaan yang masing-masing terdiri dari
seorang penguasa. Pembagian nusak ini didasarkan pada penggunaan
dialek yang berbeda, letak geografis, dan kehidupan masyarakat yang tidak
pernah ingin bersatu (Fox, 1986:4).
Pengakuan nusak oleh Belanda dipicu oleh penaf-siran tentang adat,
misalnya orang Rote mengenal adanya frase tentang anak adat. Lebih-lebih lagi
disebutkan adanya dae langak atau
penguasa bumi yang masing-masing nusak
memelihara tradisi ritual dan adatnya sehingga suatu nusak memiliki hak untuk menentang keputusan manek ‘raja’ apabila keputusan itu bertentangan dengan kebiasaan,
karena akan ber-pengaruh
pada kepercayaan tentang kesuburan bumi dan kehancuran negeri.
Penguasa sebuah nusak disebutkan oleh Belanda dengan istilah koning, regent, atau radja, sedangkan orang Rote menyebutnya
dengan istilah manek ‘raja’. Kata manek berasal dari kata dasar mane ‘laki-laki’, sehingga sebuah nusak harus dipimpin oleh seorang laki-laki yang memiliki
sikap keperkasaan, kekuasaan, kepemimpinan, dan ketegasan. Setiap manek me-mimpin
pengadilannya sendiri yang dihadiri oleh pemimpin yang ditunjuk oleh Belanda
yang dikenal dengan nama fetor, atau
dalam bahasa Rote disebut mane-feto
(pemimpin wanita) dan juga dibantu oleh pemimpin-pemimpin klen yang dikenal
dengan nama manesio (pemimpin
sembilan) untuk mewakili klen-klen yang membentuk sebuah nusak. Selain itu, dalam pengadilan
yang dipimpin oleh seorang manek juga
dihadiri oleh orang-orang tua dari setiap marga yang tergabung di dalam sebuah leo ‘suku’ (Fox, 1996:117).
B. Struktur
Pemerintahan Nusak
Dalam konteks
kehidupan masyarakat Rote selain ada pemimpin manek ‘raja’ dan pendamping manek
yang disebut fettor atau mane-feto, terdapat pula jabatan-jabatan
lain yang diberikan kepada individu-individu tertentu sesuai dengan tugas dan
perannya masing-masing. Hal ini merupakan upaya untuk membangun dan mengatur
kehidupan masyarakat Rote melalui sebuah sistem kemasyarakatan yang baik
melalui sistem sosial yang terintegrasi dalam setiap nusak. Kesatuan hidup masyarakat dalam kerangka hubungan sosial
menghasilkan suatu kerangka dasar kehidupan yang berkaitan dengan aspek konsep,
perilaku dan wujud nyata dari sebuah tatanan kebersamaan adalah sebuah pranata
budaya dalam masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutu-hannya untuk mengatur
kehidupan secara berkelom-pok.
Dalam stuktur
pemerintahan setiap nusak di Rote,
terdapat berbagai jabatan yang memiliki fungsi dan perannya berbeda-beda.
Secara umum, manek ada-lah jabatan tertinggi dalam
setiap nusak dan dibantu oleh seorang
fettor. Dalam menjalankan tugas se-orang manek didukung oleh seorang hakim yang membantu dalam mengurus
perkara-perkara nusak yang disebut mane dope. Selain itu terdapat
jabatan-jabatan lain yang secara berkesinambungan menjalin kerjasama dalam
memimpin sebuah nusak. Berikut ini
struktur pemerintahan yang terdapat dalam sebuah nusak adalah sebagai berikut:
a)
Manek (Raja)
Seorang manek ‘raja’ secara struktur adat me-mimpin sebuah nusak. Dalam pemerintahanya ber-tindak seperti seorang raja
dalam sebuah kerajaan. Kekuasaan manek
terbatas pada urusan penga-dilan
dan merupakan seorang hakim daripada se-orang
penguasa mutlak. Manek dapat memak-sakan kekuasaannya hanya
melalui pengadilan tetapi meskipun demikian pelaksanaan kekuasaan itu dibatasi
dengan syarat bahwa keputusan itu sesuai dengan nasihat para pemimpin
pengadilan lainnya. Seorang manek ditentukan
berdasarkan dinasti sebelumnya yang memerintah atau ditentu-kan oleh manek sebelumnya sebagai sebuah ka-dernisasi.
b)
Fettor
Fettor adalah pendamping raja atau pembantu manek. Namun dalam tugasnya dipercaya sebagai tangan kanan manek. Seorang fettor tidak memiliki garis komando secara langsung namun menge-palai sebuah wilayah yang
terdiri dari gabungan kampung-kampung yang disebut dengan kefetoran. Seorang fettor memimpin
kumpulan beberapa dae-rah
manesio dan beberapa rumpun suku maneleo (Soh dan Indrayana, 2008:19). Fettor dipilih oleh manek.
c)
Mane Dope
Istilah mane dope secara harafiah dapat
diartikan sebagai laki-laki pisau (mane
‘laki-laki’ dan dope ‘pisau’). Dalam
struktur pemerintahan nusak, ber-fungsi sebagai seorang
hakim agung. Syarat men-jadi
seorang mane dope yaitu harus
memiliki pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan atau memutuskan sebuah perkara
adat dan dalam hu-kum
adat, serta berfungsi menyampaikan hasil musyawarah yang telah diambil oleh
masyarakat luas melalui seorang dae langgak.
d)
Manesio
Manesio dalam struktur pemerintahan nusak men-jalankan
tugasnya seperti seorang kepala desa dalam sebuah desa. Seorang manesio diangkat oleh manek dan dalam tugasnya dapat berkonsul-tasi dengan maneleo untuk mengetahui fakta yang
terjadi di dalam masyarakat atau dalam sebuah rumpun keluarga. Seorang manesio memimpin kumpulan beberapa maneleo yaitu gabungan bebe-rapa pemimpin leo atau suku.
e)
Dae Langgak
Dae langgak atau tuan tanah tidak memiliki tugas dalam sistem
pemerintahan nusak. Seorang dae langgak memimpin bagian pertanahan
dan per-tanian
dalam sebuah nusak. Dae langgak memim-pin gabungan beberapa langgamok serta dipilih oleh mane dope.
f)
Maneleo
Maneleo adalah seorang tokoh adat yang mem-punyai kemampuan melindungi
sebuah suku atau leo. Seorang maneleo hanya memimpin satu suku atau leo yang terdiri dari gabungan
marga-marga atau sub-leo. Seorang maneleo dipilih langsung oleh masyarakat
(leo inggu).
g)
Langgak
Langgak atau kepala kampung memimpin sebuah kampung yang terdiri
dari gabungan beberapa wilayah lasin (dusun).
Langgak dipilih langsung oleh manek.
h)
Langgamok
Seorang langgamok bertugas sebagai penegak hu-kum dalam bidang pertanian
dan bertanggung jawab terhadap dae
langgak. Langgamok memim-pin sebuah kebun pertanian
yang disebut lala yang dimiliki oleh
masyarakat luas. Dalam sebuah nusak terdapat
beberapa lala yang dikenal dengan osi nusak ‘kebun umum’. Seorang langgamok dipilih oleh masyarakat yang
memiliki areal pertanian di dalam kebun atau lala tersebut. Dalam proses pemilihannya dapat difasilitasi oleh
seorang dae langgak.
i)
Lasin
Istilah lasin dapat disejajarkan dengan seorang
dusun atau seorang RT dalam sistem pemerin-tahan
sekarang.
j)
Leo Inggu
Leo inggu adalah masyarakat umum yang terbagi dalam suku-suku atau leo-leo di dalam setip nusak.
Dalam sebuah persidangan di tingkat nusak, biasa-nya dihadiri oleh manek, fetor, manesio, dae langgak, dan mane dope
yang berperan dalam diskusi tentang adat-istiadat (hadak). Selain itu, terdapat juga maneleo. Walaupun tidak memiliki posisi resmi dalam persidangan,
namun maneleo memiliki pengaruh yang
sangat diperhitungkan. Dalam persidangan itu, semua elemen memiliki perwakilan
baik dari manek ‘raja’ maupun sampai
masyarakat awam (leo inggu).
*************
Bab 3
Hubungan Nusak dan Belanda
|
A.
Perjanjian Dagang Belanda
Orang Belanda datang menjajah Indonesia
dengan mewakili sebuah persekutuan dagang yang sangat ketat dan teratur di
Belanda yang bernama Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC). Adapun perjanjian yang dibuat oleh VOC ketika
masuk di wilayah Kepulauan Timor dan sekitarnya adalah seba-gai berikut:
a.
Para
raja atau pemimpin daerah harus menye-rahkan
upeti, yang sebenarnya merupakan suatu bentuk perdagangan elite.
b.
Para
raja harus menyerahkan pasukan bersenjata bilamana diperlukan.
c.
Para
raja harus menolak mengadakan perda-gangan
dengan kekuasaan yang lain, khususnya orang Portugis, dan umumnya semua
pedagang yang tidak sah, termasuk pedagang Cina dan orang-orang Indonesia dari
pulau-pulau lain.
d.
Para
raja harus menyelesaikan semua perseli-sihan
di dalam daerahnya menurut arbitrasi yang ditunjuk oleh Kompeni (Belanda).
Sebagian dari masalah-masalah dalam daerah diserahkan ke-pada raja masing-masing
untuk diselesaikan me-nurut
hukum adat yang berlaku di daerah setempat.
Perjanjian di
atas secara khusus diperlakukan di pulau Rote untuk dapat mengatasi banyak
kerajaan yang ditemui oleh Belanda pada waktu itu. Setiap kerajaan mengakui
Belanda sebagai Kompani atau dengan
istilah yang lebih menyanjung disebut Ina-Ama
Kompani. Dalam hal ini secara tidak langsung setiap kerajaan yang dibentuk
Belanda telah menga-kui
kekuasaan Belanda dan takhluk kepada pemerin-tahan Belanda di pulau Rote.
B.
Kedatangan Belanda di Pulau
Rote
Belanda dalam
masa penjajahannya di Rote menghadapi berbagai persoalan antar raja serta per-tikaian antara nusak yang satu dengan yang lain. Ber-beda dengan Belanda di
pulau Timor yang hanya menghadapi raja Sonba’i di Kupang, namun di Rote
terdapat banyak raja yang berkuasa atas nusak-nusak
sehingga mengakibatkan Belanda mengalami kesu-litan dalam menjalin kerja sama di
pulau Rote. Hu-bungan
awal Belanda dengan orang Rote adalah ketika terlibat dalam perebutan daerah
Timor dan beberapa daerah di pulau Rote yang menjadi sasaran penyerbuan
Belanda.
Dengan
kedatangan Belanda di Rote memuncul-kan
berbagai pola yakni dengan sikap selalu sedia dan siap bertindak, karena
menyangka bahwa setiap perlawanan timbul karena hasutan dari Portugis, Belanda
dengan cepat dan efektif mengakhiri per-musuhan
di Rote. Pada abad berikutnya, Belanda mengadakan perdamaian di antara berbagai
kerajaan sehingga pada tahun 1756, walaupun masih terjadi peperangan dan hanya
sekali-kali timbul perselisihan antara daerah-daerah setempat. Keterlibatan
Belanda yang berbeda-beda di setiap pulau itu mengakibatkan terpecah belahnya
daerah-daerah di pulau Rote (Fox, 1996:114). Perpecahan ini kemudian secara
bertahap diakui oleh Belanda yang merupakan pembagian wilayah kekuasaan yang
sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat Rote.
Salah satu
laporan Belanda yang paling awal tentang Rote tahun 1656, telah menyebutkan
bahwa sejumlah daerah setempat, yang kemudian muncul dan resmi diakui oleh
Belanda sebagai daerah yang mempunyai kekuasaan sendiri dan dikepalai oleh
keturunan dinasti tertentu. Dari catatan berikutnya, jelas bahwa pada waktu
tiba di pulau ini Belanda menghadapi pemimpin-pemimpin setempat yang berkuasa
atas daerah-daerah yang diperebutkan. Me-reka
ini disebut sebagai ‘wakil’ dari daerah-daerah itu dan kemudian diangkat raja
ketika daerah tersebut mendapat pengakuan sebagai sebuah kerajaan (Fox,
1996:117).
Sejak awal
Belanda mengadakan perjanjian dengan para raja di Rote yaitu bersekutu dan ber-dagang dengan kerajaan baru
yang timbul kemudian karena bagi Belanda, mencabut hak kekuasaan seorang raja
Rote adalah hal yang tidak mungkin. Hal ini dikarenakan di pulau Rote, Belanda
menghadapi sistem pemerintahan setempat dengan politiknya yang picik yang
kadang-kadang sangat menjengkel-kan
namun tradisi pemerintahannya dapat dipahami oleh orang-orang asing dan terbuka
bagi campur tangan dari luar.
C.
Perlawanan Nusak Terhadap Belanda
Sebelum
kedatangan Belanda di Rote, orang Rote sudah mempunyai hubungan dengan
Portugis. Pada tahun 1620 sampai 1630, tampaknya golongan Dominikan yang dibawa
oleh Portugis dan Jesuit yang dibawa oleh Belanda saling bersaing dalam
usahanya menyebarkan agama Kristen di pulau Rote. Namun, kehadiran Portugis di
pulau itu tidak berlangsung lama dan tidak berhasil. Setelah kedatangan Belanda,
orang Portugis mulai mengadakan pemberontakan dengan cara menghasut orang Rote
untuk mengusir Belanda, terutama di daerah-daerah seperti Bilba dan Ringgou
namun usaha Portugis untuk mengusir Belanda dari pulau itu tidak satu pun
berhasil bahkan banyak raja Rote berusaha melibatkan Belanda demi kepentingan
mereka sendiri, dengan dalih bahwa kerajaan lain atau kelompok masyarakat
setempat bersekongkol dengan Portugis, atau tidak setia ke-pada Belanda. Saling
manipulasi adalah cara terbaik untuk menyatakan sifat hubungan antara Belanda
dan Rote sepanjang masa sejarah (Fox, 1996:131).
Menurut
sejarah, pertengahan abad ke-17 sampai petengahann abad ke-18, orang Rote
mengadakan perlawanan terhadap campur tangan Belanda namun tidak pernah
berhasil. Dalam tahun 1653, Belanda mengalahkan beberapa nusak yaitu Landu, Oepao, Ringgou, dan Bilba serta dalam tahun yang
sama Belanda mampu mengalahkan nusak Korbaffo.
Per-lawanan terhadap Belanda
masih terus dilakukan oleh nusak Termanu
pada tahun 1681, tahun 1724, dan tahun 1746. Belanda terus menyerang nusak-nusak di Rote antara lain salah
satu nusak pada waktu itu yaitu nusak Leli yang dipimpin oleh Raja
Pelokila dan akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda. Tahun 1724 terjadi perlawanan
nusak Bokai, Hoiledo dan Termanu dan
akhirnya dapat dikalahkan oleh Belanda (Koe-huan dkk, 1983:159-163). Kedua nusak kecil yaitu Leli dan Hoiledo
akhirnya tidak diakui oleh Belanda tetapi disatukan dalam pengakuan nusak Termanu.
Sejak awal
hubungan Belanda dan orang Rote, Belanda telah terlibat dalam permusuhan antara
raja-raja Rote yang saling iri dan bersaing. Bagi Belanda yang kekuatannya
terbatas, berurusan dengan kera-jaan-kerajaan
kecil itu pun merupakan suatu keun-tungan,
karena tidak satu pun dari kerajaan-kerajan kecil itu yang mampu mengadakan
perlawanan sendiri terhadap Belanda. Beberapa raja Rote ber-usaha untuk bersekutu
dengan Belanda, yakni pada tahun 1653, raja-raja dari 4 kerajaan di bagian
timur (Landu, Oepao, Ringgou dan Bilba) bersumpah setia kepada Kepala Kompeni
Ter Horst. Pada tahun 1654, Ter Horst memimpin ekspedisi bersenjata ke Rote
untuk memperkuat sekutu-sekutunya terhadap mu-suh-musuh mereka. Ekspedisi itu
menyerang dan menghancurkan nusak
Korbaffo, yang dikatakan telah bersekutu dengan Portugis.
Belanda
kemudian membagi kerajaan-kerajaan di Rote menjadi 2 (dua) kelompok yaitu nusak yang bersekutu dengan Belanda dan nusak yang bersekutu dengan Portugis.
Dari 12 sekutu Belanda, sepuluh nusak
di sebelah timur dan dua nusak di berada selatan pulau Rote. Sedangkan nusak yang bersekutu dengan Portugis
adalah Dengka, Ba’a, Loleh dan Bau Dale (suatu daerah yang kemudian digabungkan
dengan perbatasan barat Termanu). Pada tahun 1656 dan 1658, nusak Dengka, Loleh, Ba’a dan Bau Dale diduduki
dan dipaksa untuk membayar denda berupa emas kepada Belanda dan akhirnya tahun
1660 kelima nusak pemberontak Belanda
itu dibakar, dibe-rantakan
dan dihancurleburkan oleh Belanda.
Nusak Loleh bersama nusak
Dengka kembali mengumpulkan pasukan untuk melawan Belanda se-hingga pada tanggal 19
Oktober 1661, Belanda dengan pasukan yang terdiri dari 900 tentara, pelaut dan
orang-orang Timor yang bersekutu dengan Belanda menyerbu nusak Loleh dan membunuh kira-kira 500 orang dalam 1 (satu) hari.
Sementara itu, Raja Dengka yang berada di luar pulau Rote, anaknya bergabung
dengan raja-raja yang lain dan bersumpah untuk menghancurkan nusak Ba’a, Thie, Termanu dan Landu yang
memulai perlawanannya dengan menyerang kerajaan Thie yang lebih dekat. Pada
waktu yang bersamaan, keluhan mengenai tindakan-tindakan kerajaan Bilba di
sebelah timur pulau Rote mulai menunjukkan kebenciannya terhadap Belanda. Oleh
karena itu, Belanda menganggap bahwa orang Rote adalah orang-orang yang tidak
dapat dipercaya sehingga pada tahun 1662, Belanda membuat sebuah perjanjian
yang ditandatangani secara resmi oleh para raja di Rote. Perjanjian pada tahun
1662 terdiri dari 7 pasal dan nama raja-raja yang tercantum dalam perjanjian
itu hanya raja nusak Dengka, Termanu,
Korbafo dan Bilba. Perjanjian itu tidak berdasarkan prinsip-prinsip yang umum,
tetapi terutama mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hubungan antara
Belanda dan Rote.
1.
Pasal
pertama: menghentikan permusuhan antara raja-raja yang menandatangani
perjanjian itu.
2.
Pasal
kedua: membatasi perdagangan, hanya dengan pihak yang disetujui oleh Belanda;
pen-duduk Rote dilarang
berdagang baik dengan Portugis maupun pedagang pribumi lainnya dari Solor, Bima
atau Makasar tanpa izin dari Belanda.
3.
Pasal
ketiga: dilarang pula berlayar ke pulau-pulau Timor atau Solor yang penduduknya
ber-musuhan dengan Belanda.
4.
Pasal
keempat: mengembalikan semua budak yang melarikan diri kepada majikan
masing-masing di berbagai nusak ‘kerajaan’.
5.
Pasal
kelima: mendesak raja-raja tersebut untuk berunding di antara mereka sendiri
dan menye-lesaikan
masalah pencurian ternak.
6.
Pasal
keenam: meminta agar raja Demgka, Termanu, dan Korbafo melaporkan setiap permin-taan ternak dari orang yang
tidak berwenang, atas nama Kepala Kompeni.
7.
Pasal
ketujuh: memerintahkan raja Bilba untuk mengembalikan tawanan dari daerah
Bokai. (Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum dalam Fox, 1996:134).
Perjanjian di
atas tidak mengakhiri semua perse-lisihan
di Rote. Sebaliknya, perselisihan antara nusak-nusak
setempat mulai bermunculan, walaupun tidak memerlukan campur tangan dari
Belanda. Dengan bantuan-bantuan yang strategis dari raja-raja utama di sebelah
timur, barat dan tengah, Belanda berhasil mengatasi permusuhan yang paling
sengit di pulau itu.
Pada tahun
1663, Belanda mendapat berita bahwa raja Dengka secara diam-diam telah menga-dakan perdagangan dengan
kapal yang datang dari Lamakera di Pulau Solor. Perdagangan yang sede-mikian itu tetap menjadi
masalah selama 10 tahun sampai tahun 1676, Belanda dalam sebuah ekspedisi
dilancarkan kepada nusak Dengka dan
Loleh serta sekutu-sekutunya dan sekali lagi dihancurkan oleh Belanda.
Pada tahun
1681, nusak Thie, Dengka dan Oenale
mengancam akan menyerang Lelain dan Termanu. Hal ini dianggap sebagai suatu
ancaman langsung terhadap Belanda, karena selama bertahun-tahun, Termanu telah
menjadi sekutu Belanda yang paling tetap sehingga suatu ekspedisi yang terdiri
dari 26 tentara Belanda, dengan 500 atau 600 orang Timor dari kerajaan-kerajaan
Amabi dan Sonbai di Kupang, dikirim dengan beberapa kapal Termanu, dan bersama
dengan sejumlah orang Rote, menyerang nusak
Thie, Dengka dan Oenale. Tragedi ini adalah tragedi paling sadis dalam
sejarah Rote, yaitu pasukan pribumi mengamuk dengan ganas dan semua orang
dipenggal kepalanya tanpa mem-bedakan
laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Kapal-kapal yang kembali ke Kupang
membawa 96 laki-laki, 158 wanita dan 18 anak-anak untuk dijual sebagai budak.
Akhirnya nusak Dengka dihukum untuk
membayar denda sebanyak 150 orang budak dan 10 kati emas, nusak Thie harus menyerahkan 100 orang budak dan 8 kati emas,
sedangkan oleh karena Oenale telah kehilangan dua per tiga dari penduduknya,
maka nusak itu dibebaskan dari
pembayaran budak kepada Kompeni (Daghregister dalam Fox, 1996:135-136). Penyerbuan ini meru-pakan peristiwa terakhir
yang dipimpin oleh Belanda di Rote.
*************
Bab 4
Sejarah Pengakuan Nusak
|
A. Pendahuluan
Pengakuan
terhadap sebuah nusak di pulau Rote
oleh Belanda didasarkan atas tujuan melancarkan kerja sama antara orang Rote
dengan Belanda yaitu setiap raja atas daerah di Rote menandatangani kontrak
kerja sama dengan Belanda. Dalam penga-kuan
itu mulai timbul hak otonomi atas daerah yang luasnya kira-kira dapat
ditentukan dan hak untuk mengadakan pengadilan sendiri dengan segala sesuatu
yang termasuk di dalamnya serta penge-sahan
garis berdasarkan keturunan raja-raja dari se-tiap daerah.
Bagi orang
Rote, pengakuan terhadap sebuah nusak bukanlah
suatu hadiah politik tetapi disadari bahwa di samping nusak-nusak yang
memperoleh pengakuan, terdapat pula sejumlah daerah yang tak pernah berhasil
memperoleh pengakuan. Pengakuan itu terjadi karena adanya pergolakan setempat
atau pemisahan dari nusak yang lebih
besar yang sudah diakui oleh Belanda. Pergolakan yang sedemikian itu, mula-mula
dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap raja-raja yang sudah disahkan oleh
Belanda. Pemimpin-pemimpin nusak yang
berhasil, diangkat menjadi raja sedangkan raja yang gagal dianggap sebagai
pemberontak dan sering kali ditangkap lalu dijual sebagai budak.
Dalam usaha
Belanda untuk bersekutu dan mem-berikan
pengakuan kepada para raja, dilakukan suatu proses yang sulit dihindarkan yaitu
harus menghadapi segala permasalahan dan pertengkaran yang terjadi antar nusak di seluruh pulau Rote. Dalam
proses ini, apabila Belanda tidak ikut campur, maka masalah kedaulatan di pulau
Rote akan diselesaikan dengan peperangan atau melalui proses penggantian
dinasti nusak yang lebih rumit,
karena di antara nusak-nusak itu,
raja-rajanya saling bersekutu dan mengadakan hubungan perkawinan satu sama
lain.
Dalam
cerita-cerita rakyat orang Rote, dapat di-ketahui
bahwa beberapa raja di bagian tengah nusak
Termanu, berturut-turut telah menaklukan sebagian besar daerah antara nusak Bilba di sebelah timur dan nusak Dengka di sebelah barat. Dalam
mencegah peperangan dan mengawasi penggantian dalam se-tiap nusak, keadaan yang selalu bergolak itu me-maksa Belanda untuk
mengakui daerah yang bagaimana pun kecilnya berdasarkan kesepakatan rakyat
untuk menjadi sebuah nusak. Hal itu
me-rupakan suatu hal yang
ironis karena Termanu sebagai salah satu nusak
yang setia kepada Belanda harus kehilangan lebih banyak daerahnya dari pada
nusak yang lain, bahkan dengan
bantuan Termanu, sebagai latar belakang dari perkembangan politik selama masa
pengawasan Belanda di pulau Rote, dapat dilihat ketegangan antara dua prinsip
penge-sahan
yang saling bertentangan. Sebagai akibatnya, seringkali timbul perebutan
kekuasaan di antara daerah yang sudah mendapat pengakuan dengan daerah yang
belum atau sedang berjuang untuk men-dapat
pengakuan Belanda.
B. Perjanjian Pengakuan
Nusak
Pada tahun 1620 Portugis masuk ke Pulau Rote, kemudian diikuti oleh
Belanda tahun 1650. Pada tahun 1653, Belanda membentuk sistem kerajaan
berdasarkan nusak dengan tujuan untuk
memecah-belah masyarakat Rote agar dapat menguasai pulau itu.
Dalam menjalin
kerja sama di Rote, Belanda di-wakili
oleh VOC menandatangani kontrak kerja sama antara raja-raja di Rote untuk
mendukung kolonia-lisme
Belanda di pulau ini, maka setiap raja harus menandatangani kontrak dengan
Belanda. Dalam hal ini untuk menjadi sebuah wewenang yang mutlak dalam
menjalankan visi Belanda di Rote maka setiap daerah yang mempunyai penguasa
sendiri harus diakui oleh Belanda agar memudahkan teken kerja sama Belanda.
Oleh karena itu, Belanda secara bertahap dapat mengakui daerah-daerah di Rote
sebagai sebuah nusak ‘kerajaan’.
Perjanjian
kontrak pertama dengan para raja nusak di
Rote ditandatangani pada tahun 1662. Perjanjian-perjanjian yang lain kemudian
ditanda-tangani
dalam tahun 1690, 1700, dan 1756. Dengan perjanjian-perjanjian resmi ini dan
dengan beberapa persetujuan yang dibuat sesudah tahun 1756, pulau ini secara
bertahap dibagi menjadi 18 wilayah kekuasaan (nusak) yang masing-masing mempunyai penguasanya sendiri.
Terdapat 4
(empat) perjanjian resmi yang dibuat oleh Belanda dalam hal pengakuan nusak di Rote yaitu 1) Perjanjian tahun
1662; 2) Perjanjian tahun 1690; 3) Perjanjian tahun 1700; dan 4) Perjanjian
tahun 1756. Keempat perjanjian ini merupakan sejarah pengakuan setiap nusak yang ada di pulau Rote.
1. Perjanjian
Pertama Tahun 1662
Pada
tahun 1662, dalam perjanjian Belanda yang pertama setelah menjalin hubungan dengan
Rote adalah diakui beberapa nusak yaitu
Dengka, Termanu, Korbaffo dan Bilba. Tetapi dalam Kenya-taan, Belanda selalu
menghadapi sejumlah nusak lain,
seolah-olah mereka sudah mendapat penga-kuan.
2. Perjanjian
Tahun 1690
Pada
perjanjian kedua tahun 1690, Belanda mengakui secara resmi nusak Landu, Ringgou, Oepao, Ba’a, Lelain (Ossipoka), Thie, Loleh,
dan Oenale sehingga sampai tahun 1690, pulau Rote sudah terdiri dari 12 nusak. Dalam perjanjian yang
ditandatangani pada tahun 1690-1691, kekeliruan ini dilarat dengan memperbarui
beberapa pasal dari perjanjian sebelumnya. Ditambah pula dengan beberapa pasal
khusus yang bertujuan meng-hentikan
perselisihan di antara nusak
tertentu, dan satu pasal penting yang menentukan agar selanjut-nya, setiap perselisihan
diselesaikan di dalam pengadilan di Kupang.
3. Perjanjian
Tahun 1700
Dalam
perjanjian ketiga tahun 1700, nusak Diu
dibagi antara Korbaffo dan Termanu walaupun kedua nusak itu terus berperang dengan nusak Bilba untuk merebut Diu dan Bokai. Untuk meng-akhiri peperangan itu,
dengan perjanjian tahun 1756, Diu diakui sebagai sebuah nusak dan Bokai sebagai Regional Komisionaris
diakui oleh Para-vicini diberikan
kepada seorang Rote yang memim-pin
pasukan Belanda yang terdiri dari penduduk asli orang Rote untuk menjadi nusak. Bokai adalah sebuah nusak kecil yang disebut dalam cerita
kisah kutukan dewa laut terhadap penduduk asli nusak ini. Kutukan ini membatasi jumlah penduduk asli hanya sampai 30
orang dan sampai sekarang penduduk asli nusak
Bokai hanya 30 orang.
4. Perjanjian
Tahun 1756
Pada
tahun 1756, perjanjian keempat menga-kui
sejumlah nusak di Rote sehingga
menjadi 14 nusak yaitu: 1) Dengka, 2)
Termanu, 3) Korbaffo, 4) Bilba, 5) Landu, 6) Ringgou, 7) Oepao, 8) Ba’a, 9)
Lelain, 10) Thie, 11) Loleh, 12) Oenale, 13) Diu, dan 14) Bokai.
Pada tahun
1772, nusak Lelenuk memisahkan diri
dari nusak Termanu dan tahun 1895
diakui sebagai daerah otonomi nusak,
Keka dipisahkan dari nusak Termanu
dan Talae dipisahkan dari nusak Termanu
serta di bagian barat. Di sisi lainnya, pada tahun 1800 nusak Delha memisahkan diri dari nusak Oenale dan pada tahun 1895 diakui sebagai sebuah nusak. Nusak Delha disebutkan dalam catatan awal Belanda me-rupakan nusak terakhir yang mendapat pengakuan
Belanda atas keterpisahannya dari Oenale sebagai nusak sehingga akhirnya pulau Rote dibagi menjadi 18 nusak ‘kerajaan’.
Berikut ini
nama-nama nusak yang diakui Belanda
di pulau Rote:
1.
Landu
2.
Ringgou
3.
Oepao
4.
Bilba
5.
Diu
6.
Korbaffo
7.
Lelenuk
8.
Bokai
9.
Termanu
|
10.
Keka
11.
Talae
12.
Ba’a
13.
Loleh
14.
Lelain
15.
Thie
16.
Dengka
17.
Oenale
18.
Delha
|
Gambar
2. Peta Nusak-Nusak di Pulau Rote
C. Pembentukan
Kerajaan Empat
Kerajaan Empat
dibentuk pada tahun 1898 oleh Belanda dengan menggabungkan nusak Loleh, Keka, Talae dan Bokai. Dalam
perkembangannya, Kerajaan Ampat tidak bertahan lama karena masalah pemilihan
raja (manek). Ketika raja dipilih
dari salah satu nusak yang ada di
dalam Kerajaan Ampat maka nusak yang
lain menolaknya dan sebaliknya sehingga tahun 1906 Kerajaan Ampat dibubarkan
karena nusak Keka, Talae dan Bokai
mengadu kepada Belanda atas ketidakadilan kepemimpinan raja (manek) yang hanya berasal dari nusak Loleh sehingga keetiga nusak (Keka, Talae, dan Bokai) kembali
berdiri sebagai dae-rah
otonomi.
Pada tahun
1910, Belanda kembali mengaktifkan Kerajaan
IV (Kerajaan Empat) yaitu nusak
Keka, Talae dan Bokai bergabung dengan nusak
Loleh. Dalam pemilihan manek ‘raja’,
Belanda memilih pemimpin dari nusak lainnya
yaitu dari nusak Diu yang bernama Ch. Manafe untuk memerintah Kera-jaan
IV. Pada
tahun 1916 diganti oleh raja dari nusak Termanu
dan akhirnya bubar juga karena ketidak-berterimaan
nusak-nusak di dalam Kerajaan IV ter-hadap raja yang berasal
dari nusak lainnya.
D. Nusak Yang Tidak Diakui
Selain nusak-nusak yang sudah diakui oleh Be-landa, terdapt pula beberap
daerah yang memak-sakan
diri untuk diakui status otonominya sebagai nusak
yaitu sesudah tahun 1772, sebuah desa di perbatasan selatan Termanu dengan Keka
dan talae yaitu Leli, Ingu Fao, dan Hoi Ledo.
Leli adalah
sebuah kerajaan suku yang menjadi bawahan dari raja Pelokila dan Namodale
adalah pelabuhan dari kerjaan Leli. Manek
dari kerjaan suku ini adalah Leli Lalai yang merupakan keturunan dari Lalai
(orang pertama yang mendiami nusak Ter-manu). Namun raja Pelokila
dan manek Leli Lalai bermusuhan
karena tahta yang diduduki oleh Pelokila adalah tahta Leli Lalai yang berhasil
direbutnya. Pada tahun 1653, Belanda dibantu oleh nusak Korbaffo menyerang Leli dari arah timur. Karena tidak
mendapat bantuan dari raja Pelokila sebagai pusat, maka Leli berhasil
dikalahkan hanya dalam beberapa jam saja.
Ingu Fao mulai
bergerak untuk memisahkan diri yang dimulai oleh kelompok kekerabatan dari ketu-runan bekas raja Termanu
yaitu Ndaomanu. Selanjut-nya
diikuti oleh Hoi Ledo, sebuah desa dekat perbatasan Termanu dengan Ba’a yang
juga me-nuntut
hak otonomi. Untuk menghadapi tuntutan otonomi dari daerah-daerah di dalam nusak Termanu, juga perselisihan antara nusak Delha dan Oenale mengenai
kekuasaan setempta maka Belanda melalui pemimpinnya Hazaart pada tahun 1816
mulai memindahkan penduduk Ingu Fao (sekitar 300-400 orang) ke luar pulau Rote
yaitu di desa Babau dan tahun 1818-1819 Hazaart memindahkan penduduk Hoi Ledo
ke Pariti.
E. Penyatuan
Nusak
Pada tahun 1910,
nusak Ba’a kehilangan status
otonominya dan digabungkan dengan nusak Termanu
dengan nama Lomakati. Akhinya tahun
1917, terjadi penggabungan nusak yang
dilakukan oleh Belanda tanpa adanya pergantian raja (manek). Tahun 1917 Belanda berbicara
terbuka dengan para raja nusak di
Rote termasuk Ndao untuk membagi pulau Rote dalam tiga bagian yaitu Rote Timur,
Rote Tengah dan Rote Barat. Wilayah Rote Timur meliputi nusak Ringgou, Landu, Oepao, Bilba, dan Diu yang disebut dengan Lote Dae Dulu. Wilayah Rote Tengah meliputi
nusak Korbafo, Lelenuk, Bokai, Talae,
Keka, Loleh, Termanu, dan Ba’a yang disebut dengan Lote Talada. Wilayah Rote Barat meliputi nusak Lelain, Dengka, Oenale, Delha, Thie, dan Ndao. Dalam masa per-alihan ini, maka:
1)
Raja
Termanu memimpin Rote-Talada yang me-liputi nusak
Termanu, Lelenuk, dan Korbaffo;
2)
Raja
Diu memimpin Dae-Dulu yang meliputi nusak
Diu dan Landu;
3)
Raja
Oepao memimpin Nusalai yang meliputi nu-sak
Oepao dan Ringgou;
4)
Raja
Dengka memimpin Loahulu yang meliputi Dengka dan Lelain;
5)
Raja
Delha memimpin Bolahulu yang meliputi nusak
Delha dan Oenale.
Setalah masa
penjajahan, pemerintahan nusak dibubarkan oleh pemerintah
Indonesia pada tahun 1962 dan digabungkan dalam beberapa kecamatan. Namun dalam
pengurusan adat, masyarakat Rote mengakui adanya keberadaan nusak.
F. Pembentukan
Kabupaten Otonom
Pada tahun 1958, pulau Rote dan sekitarnya dibagi menjadi
3 (tiga) wilayah Pemerintahan Keca-matan
yaitu: 1) Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerintahan di Eahun; 2) Kecamatan
Rote Tengah dengan pusat Pemerintahan di Baa; dan Kecamatan Rote Barat dengan
pusat Pemerintahan di Oelaba.
Kemudian pada tahun 1963 terjadi pemekaran kecamatan maka
wilayah pemerintahan Rote Ndao dimekarkan menjadi 4 (empat) wilayah kecamatan
yaitu:
1.
Kecamatan
Rote Timur beribu kota di Eahun
2.
Kecamatan
Rote Tengah beribu kota di Baa
3.
Kecamatan
Rote Barat beribu kota di Busalangga
4.
Kecamatan
Rote Selatan beribu kota di Batutua.
Selanjutnya setelah berjalan empat tahun lama-nya, maka terjadilah
pemekaran wilayah untuk mem-bentuk
sebuah kabupaten otonom bagi pulau Rote dan sekitarnya guna memenuhi
persyaratan yang dibutuhkan yaitu sebuah daerah kabupaten paling sedikit harus
didukung oleh enam kecamatan admi-nistratif,
maka empat kecamatan yang telah ada dibagi menjadi delapan kecamatan pada tahun
1967 yakni:
1.
Kecamatan
Rote Timur dengan pusat Pemerin-tahan
di Eahun
2.
Kecamatan
Pantai Baru dengan pusat Pemerin-tahan
di Olafulihaa
3.
Kecamatan
Rote Tengah dengan pusat Pemerin-tahan
di Feapopi
4.
Kecamatan
Lobalain dengan pusat Pemerintahan di Baa
5.
Kecamatan
Rote Barat Laut dengan pusat Peme-rintahan
di Busalangga
6.
Kecamatan
Rote Barat Daya dengan pusat Peme-rintahan
di Batutua
7.
Kecamatan
Rote Selatan dengan pusat Pemerin-tahan
di Daleholu
8.
Kecamatan
Rote Barat dengan pusat Pemerin-tahan
di Nemberala.
Berhubung situasi keuangan negara tidak me-mungkinkan sehingga
pembentukan kabupaten oto-nomi pulau Rote dan sekitarnya
belum dapat di-lakukan, maka
sebagai jalan keluar untuk memenuhi tuntutan keinginan masyarakat, Gubernur
Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Surat Keputusan ter-tanggal 11 April 1968
menyatakan bahwa wilayah Rote dan sekitanya dibentuk sebagai wilayah koor-dinator schap Rote Ndao dalam wilayah hukum Kabu-paten Daerah Tingkat II
Kupang dan menunjuk Bapak D.C. Saudale sebagai Bupati diperbantukan dengan
Surat Keputusan Gubernur tertanggal 1 Juli 1968.
Sesuai perkembangan di bidang pemerintahan, maka pada
tahun 1979 terjadi perubahan status Wi-layah Koordinator Schap Rote Ndao menjadi wilayah pembantu
Bupati Kupang untuk Rote Ndao, ber-dasarkan
Keputusan Gubernur Nomor 25 tahun 1979 tanggal 15 Maret 1979, tentang
Pembentukan Su-sunan
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, yang
telah disahkan pula oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri dalam
Nomor 061.341.63-114 tertanggal 8 April 1980.
Sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat maka tahun
2000 timbulnya keinginan kuat dari mas-yarakat
Rote Ndao mengusulkan pembentukan Wila-yah
Pemerintahan Pembantu Bupati Rote Ndao di-tingkatkan
menjadi daerah kabupaten definitif se-hingga
pada tanggal 10 April 2002 oleh Pemerintah Pusat dan DPR-RI menetapkan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabu-paten Rote Ndao di Propinsi
Nusa Tenggara Timur.
Adapun para pejabat yang memimpin di Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao maupun di Wilayah Pembantu
Bupati Kupang untuk Rote Ndao serta di Kabupaten Rote Ndao adalah sebagai
berikut:
a.
Periode
1968-1974 adalah D. C. Saudale sebagai Koordinator Schap Rote Ndao.
b.
Periode
1974-1977 adalah DRS. R. Chandra Hasyim sebagai Koordinator
Schap Rote
Ndao.
c.
Periode
1977-1984 adalah DRS. G. Th. Herma-nus
sebagai Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
d.
Periode
1984 – 1988 adalah DRS. G. Bait seba-gai
Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
e.
Periode
1988 – 1994 adalah Drs. R. Izaac seba-gai
Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
f.
Periode
1994 – 2001 adalah Benyamin Messakh, BA sebagai Pembantu Bupati Kupang Wilayah
Rote Ndao.
g.
Periode
2003 – 2008 adalah Christian Nehemia Dillak, SH sebagai Bupati Rote Ndao.
h.
Periode
2009-Sekarang adalah Drs. Lens Haning, M.M sebagai Bupati Rote Ndao.
*************
Bab 5
Nama-Nama Nusak
|
A. Nama
Adat Nusak
Setiap nusak di pulau Rote memiliki nama adat
dalam bahasa Rote. Nama adat ini dalam Soh dan Indrayana (2008:61) serta Adoe
(2013:69) disebut sebagai nama julukan nusak.
Konon, seluruh daerah di Rote sejak dahulu sudah memiliki nama yang menurut
orang Rote sendiri disebut sebagai nade
makahulun ‘nama prasejarah’. Penamaan nama dae-rah-daerah ini didasarkan
pada hal-hal berikut:
a.
Nama
berdasarkan letak geografis
1.
Rene Langga do Tada Iko (nusak Thie)
2.
Tada Muri do Ana Kona (nusak Delha)
3.
Pia Feok do Unu Kabi (nusak Keka)
b.
Nama
berdasarkan jenis tumbuhan yang banyak tumbuh
1.
Bola Tena do Sori Mori (nusak Landu)
2.
Koso Mara do Buna Huka (nusak Lelain)
3.
Henda Heti do Ningga Lada (nusak Loleh)
4.
Pena Pua do Maka Lama (nusak Ba’a)
5.
Sele Ti do Tande Bau (nusak Oepao)
c.
Nama
berdasarkan tradisi atau sifat atau kebiasaan
1.
Kedi Kode do So Meo (nusak Termanu)
2.
Pengo Dua do Hilu Telu (nusak Bilba)
3.
Lenu Petu do Safe Solu (nusak Lelenuk)
4.
Pila Suek do Nggeo Deta (nusak Talae)
5.
Pele Pou do Ngafu Deta (nusak Bilba)
6.
Deta Manuk do Huru Bibi (nusak Oenale)
d.
Nama
berdasarkan keadaan alam
1.
Oe Luat do Laba Oe (nusak Dengka)
2.
Londa Lusi do Batu Bela (nusak Ringgou)
3.
Medi Oe do Ndule Oe (nusak Bokai)
4.
Tungga Oli do Namo Ina (nusak Korbaffo)
B.
Nama
Nusak dalam Legenda
Gambaran nama suatu tempat atau lokasi di
pulau Rote dalam sejarahnya berubah berdasarkan kejadian-kejadian penting yang
pernah terjadi dalam lingkungannya atau telah membuat suatu hubungan baru dalam
masyarakat (Fox, 1986:22-24). Penamaan suatu daerah di Rote merupakan sebuah
ciri khas yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Rote sendiri. Hal ini
dibuktikan dengan kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat yang memiliki
setiap nama daerah baik dari tingkatan sebuah nusak hingga nama lokasi letak sebuah rumah tangga.
Penamaan nusak
di Rote berasal dari sebuah kisah atau peristiwa yang pernah terjadi dalam
se-jarah
sebuah nusak. Dalam perkembangannya,
pena-maan
nusak-nusak ini kemudian diceritakan
secara turun-temurun dalam sastra lisan masyarakat Rote yang dituturkan dalam
cerita rakyat dan menjadi se-buah
legenda nama tempat.
Setiap nusak
memiliki cerita tentang legendanya sendiri dan terdapat banyak versi dalam
cerita legenda nusak. Di dalam buku
ini, tidak memaparkan cerita legenda tentang nama semua nusak karena kurangnya
para penutur (manahelo) sejarah dan
legenda nusak serta hilangnnya
beberapa cerita lege-nda
suatu nusak. Beberapa legenda nama nusak yang masih dikenal dalam
masyarakat Rote adalah sebagai berikut;
a. Legenda
Nama
Bilba
Nama Bilba dahulunya adalah Pengo
Dua do Hilu Telu.
Menurut sejarahnya, leluhur
orang Bilba berasal dari Belu. Dalam artikel Alb. C. Kruyt berjudul De Roteneezen mengemukakan legenda
penamaan nusak ini berasal dari masa
ketika leluhur yang datang dari Belu. Keberangkatan para leluhur itu ke Rote
membuat orang-orang Belu bertanya “Belu
ba ia be?” artinya orang Belu pergi kemana? Kemudian mereka menjawab “Belu ba na Rote” yang artinya orang Belu
ke Rote.
Ketika
para leluhur dari Belu tiba di Rote maka mereka menduduki dan mendiami sebuah
tempat di Rote bagian timur. Untuk mengenang orang-orang yang ditinggalkan maka
akhirnya tempat itu disebut Beluba. Nama Beluba dalam dokumen-dokumen Belanda
disebut Bilba. Istilah ini merupa-kan
sistem pengucapan orang Belanda dalam menyebut nama Beluba namun oleh orang
Rote disebut Beluba.
b. Legenda
Nama Lelenuk
Legenda
nama Lelenuk menurut Jonker (905:399-401) bahwa pada jaman dahulu, ada
seorang Cina berkulit hitam pergi menculik manusia di Soni Manu do Kokote untuk dijadikan sebagai budak di Kupang. Pada
suatu hari orang Cina kulit hitam mendaratkan tujuh kapal di pela-buhan Soni Manu do Kokote. Kemudian
orang-orang di dalam kapal turun ke darat untuk membujuk orang-orang di tempat
itu naik ke atas kapal agar melihat pernak-pernik dengan ukiran yang sangat
indah. Oleh karena itu, semua orang berbondong-bondong naik ke atas kapal untuk
me-lihat pernak-pernik yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut.
Pertama-tama,
orang-orang kapal membawa raja dan semua laki-laki masuk ke kapal, kemudian disusul
oleh para perempuan dan anak-anak. Ke-tika semua orang sudah naik di atas kapal
maka pintu kapal ditutup lalu semuanya dibawa oleh ketujuh kapal itu ke Kupang.
Dalam
penculikan masal ini, ternyata ketujuh kapal itu meninggalkan istri raja yang
sudah mengetahui rencana penculikan yang dilakukan oleh orang-orang Cina
berkulit hitam tersebut sehingga ia bersembunyi di dalam sebuah gua. Istri raja
yang berparas cantik dan berrambut panjang it terus bersembunyi di dalam gua
sampai hari men-jadi gelap. Ia mengintip dan memata-matai orang-orang di tempat
itu tetapi tiada satu orang pun dilihat karena semuanya sudah dibawa oleh
ketujuh kapal itu sehingga pada malam itu ia keluar dari tempat
persembunyiannya dan berlari menuju pinggir laut untuk mencari kapal-kapal itu
namun ia tidak mendapatinya sehingga ia pun menangis dan duduk di atas pasir
semalaman lamanya.
Kemudian ia
kembali ke kampung itu namun tidak menemukan seorang pun yang ditinggalkan,
maka ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah itu, ia berjalan menuju
sebuah tebing yang sangat tinggi lalu melompat ke bawah namun rambutnya
tersangkut pada pohon sehingga ia tidak jatuh sampai di tanah. Akhirnya jasad
istri raja tersebut masih tergantung di pohon itu namun sudah menjadi batu.
Di sisi lain, orang-orang
Bokai mendengar berita bahwa terdapat tujuh kapal berlabuh di Soni Manu do Kokote, namun mereka tidak
mengetahui apa yang terjadi di sana sehingga orang-orang Bokai pergi melihat
kapal-kapal itu namun se-sampai di sana sudah tidak satu kapal pun
yang masih berlabuh di sana. Selain itu, mereka pergi ke dalam kampung ingin
menanyakan tujuan keda-tangan ketujuh kapal itu kepada orang-orang
di sekitarnya namun mereka tidak menemukan se-orang pun yang
masih tinggal di tempat itu. Di Soni Manu
do Kokote hanya terdapat kambing-kambing yang mengembik, ayam-ayam berkokok
dan anjing-anjing. Kemudian orang-orang Bokai terus mencari keberadaan penduduk
namun tidak dite-mukan seorang pun dan mereka hanya menemu-kan jasad istri
raja yang sudah menjadi batu.
Kemudian
orang-orang Bokai baru menyadari kehadiran ketujuh kapal itu lalu berkata satu
sama yang lain “Kalauk ofa kahituk sila
lelenu lala Soni Manu do Kokote lao-lao te ta ela hataholi esa boe” yang
artinya ‘ternyata ketujuh kapal itu mem-bersihkan Soni
Manu do Kokote sampai bersih sehingga tidak tersisa seorang pun’. Pada saat
itu juga, orang-orang menyebut Soni Manu
do Kokote dengan nama Nusa
Nanalelenuk ‘Daerah Yang Dibersihkan’ kemudian disingkat menjadi Lelenuk
‘Pembersihan/ Pencucian’.
c. Legenda
Nama
Termanu
Nama
Termanu mempunyai banyak versi. Salah satunya menurut Fox (1986:26) bahwa
sebelum dikenal nama Termanu terlebih dahulu orang menyebutnya Kedi Kode do So Meo dan Koli Oe do Buna Oe yang disingkat Koli do Buna. Konon, raja pertama nusak ini bernama Tola Manu dan
menyumpahi (padak) rakyatnya agar
melaku-kan
pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Kemudian masyarakat menyebut nusak ini dengan istilah nusak nanapadak ‘nusak yang disumpah’ yang kemudian disingkat menjadi Pada. Masya-rakat Rote pada umumnya
menyebut nama nusak ini dengan nama
Pada yang berasal dari sumpah raja yaitu padak.
Nama Pada hanya dikenal oleh
orang Rote namun dalam dokumen-dokumen Belanda dan dalam sistem pemerintahan
resmi, nama nusak ini disebut
Termanu. Menurut cerita bahwa istilah Termanu berasal dari kata Tala ‘adu’ dan Manu ‘ayam’ yang pertama kalinya disebut oleh orang Ndao. Konon,
pada jaman dahulu, Koli do Buna
adalah sebuah pelabuhan besar dan banyak pe-rahu
dagang tidak pernah berhenti mengunjungi Roti serta mereka biasanya berlabuh di
sebuah kota di Termanu yang bernama Leleuk. Orang-orang yang mengunjungi pulau
Rote berasal dari Buton, Makasar, Solor, Sawu dan Ndao untuk menyelenggarakan
adu ayam (lakatatalak manu). Di sisi
lain, orang Ndao yang sedang mengerjakan emas di Dengka dan Thie mendengar
bahwa terdapat pertandingan adu ayam di Leleuk (Termanu) sehingga mereka datang
namun ketika dalam perjalanan, mereka menjumpai orang Rote dan bertanya “mau
kemana orang Ndao?” karena mereka tidak memahami bahasa Rote dengan baik maka
mereka tidak mengatakan bahwa kami akan mengadu ayam (ami miu makatatalak manu yang dalam dialek Thie adalah makatatarak manu fa), tetapi mereka
mengatakan tara manu (beradu ayam).
Setelah itu, orang menyebut nusak ini
adalah nusak yang menyelenggarakan
adu ayam (nusa makatatala manuk)
tetapi orang Ndao menyebutnya nusak matara manu ‘nusak beradu ayam’
yang dalam bahasa Melayu disebut negeri Tarmanu.
Menurut cerita lain
dikatakan bahwa leluhur pertama Pada datang dari Amfoang (Timor) dan di sebuah
tempat yaitu Lelogama terdapat sebuah
sungai yang sampai sekarang disebut Termanu sehingga ketika leluhur datang
menetap di Rote maka tempat itu kemudian dinamakan Termanu yang diambil dari
nama sungai tempat asal leluhur orang Termanu.
d. Legenda
Nama
Talae
Legenda nama Talae menurut
A. Zacharias dalam Mboeik dkk
(1985:129-132) bahwa pada jaman dahulu ada 2 (dua) orang Keka yang bernama Pena
Ngeu dan Dui Lepa tinggal di suatu tempat bernama Oenadale yang sekarang
disebut Pepena’ain. Pada suatu hari, Pena Ngeuk dan Dui Lepa melihat seekor
kerbau betina dan seekor babi jantan milik raja Keka berada di dalam sebuah
danau. Keduanya karena takut kemudian berkata “talai” yang artinya “mari kita lari”. Kemudian mereka berlari ke
arah timur dan tiba di nusak Ingguoe
yang kemudian nusak itu diganti
namanya menjadi Talae yang berasal dari kata talai ‘mari kita lari’.
e. Legenda
Nama
Loleh
Menurut A. Zacharias dalam Mboeik dkk (1985:116-124) bahwa
dahulu Loleh bernama Henda Heti do Ningga
Lada. Namun karena raja pertama nusak
ini bernama Loleh Tosu yang memerintah dengan kerendahan hati dan dapat
menyejahterakan masyarakat di nusak ini,
se-hingga
raja Loleh Tosu sangat disayangi dan dise-gani
oleh masyarakat. Untuk memperingati nama-nya
maka nusak ini kemudian dinamakan
Loleh yang adalah nama dari raja pertama nusak
ini.
f. Legenda
Nama
Thie
Berdasarkan hasil wawancara
A. Zacharias dalam Mboeik dkk
(1985:124) bahwa nama Thie adalah Tada
Muri do Rene Kona yang kemudian dikenal dengan nama Thie. Nama Thie diambil
dari nama leluhur pertama orang Thie yaitu Thi Mau yang merupakan anak dari Mau
Bessie yang menetap di Belu
dan merupakan saudara dari Belu Mau, Savu Mau dan Lote Mau. Oleh karena itu, nusak ini kemudian dinamakan Thie.
g. Legenda
Nama
Lelain
Legenda nama Lelain menurut A.
Zacharias dalam Mboeik dkk
(1985:125-126) bahwa nama Lelain berasal dari para penjaring udang dan pen-cari kepiting pada jaman
dahulu ketika mereka memperoleh hasil tangkapannya, lalu menyimpan-nya di atas sungai (le lain ‘di atas sungai’) untuk
dibersihkan setelah itu baru dimasukan ke dalam tempat penyimpanan mereka. Oleh
karena itu tempat itu kemudian disebut Lelain.
Legenda Lelain dalam versi
lainnya bahwa nama itu berasal dari kata lelaik
‘berlari’. Menurut ceritanya, orang-orang Lelain datang dari Bokai namun karena
mereka ingin merampas kedudukan raja (manek)
sehingga mereka diusir oleh raja Bokai sekitar 30 laki-laki. Kemudian mereka
pergi kea rah barat dan tiba di nusak Dengka
dan seijin raja Dengka, mereka menetap di So’edale namun karena di sana
terdapat banyak nyamuk sehingga mereka kembali meminta raja Ba’a untuk
diberikan tempat tinggal. Kemudian raja Ba’a memberikan sebuah tempat di nusak Ba’a bernama Osipoka. Nama Osipoka
kemudian diganti menjadi Lelain karena sesuai dengan sejarah perjalanan
orang-orang Lelain yang sering berlari (lelaik)
dari satu nusak ke nusak yang lain.
h. Legenda
Nama Oenale
Legenda nama Oenale menurut
A. Zacharias dalam Mboeik dkk
(1985:127) yaitu disebutkan bahwa Oenale dahulunya bernama Deta Manu do Huru Bibi. Dikenal nama Oenale karena dahulu ada 2
(dua) orang tinggal di daerah itu yaitu yang bernama Nalle Pandik dan Suka
Losik. Nalle Pandik adalah seorang peramal masa depan (manadeta nalek) sedangkan Suka Losik adalah pencari mata air (manalosi oe). Dalam kese-hariannya Suka Losik mampu
menemukan sumber mata air tanpa melakukan penggalian (losi oe) sedangkan Nalle Pandik mampu menafsirkan nasib
keberuntungan atau masa depan seseorang (deta
nalek). Oleh karena pekerjaan mereka yang semakin dikenal oleh seluruh nusak, maka kemu-dian tempat tinggal kedua orang
itu disebut Oenale yaitu oe ‘air’
dari Suka Losik dan nale ‘keber-untungan’ dari Nalle Pandik.
C.
Nama
Sindiran Nusak
Penggunaan nama sindiran setiap nusak mem-berikan
kesan yang negatif terhadap masyarakat, karena dianggap merupakan sebuah
pelecehan ter-hadap
kehormatan nusak dan mencederai ego nusak sentries jika penggunaannya tidak
pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam
menggunakan nama sindiran sebuah nusak.
Berikut nama-nama sindiran nusak dan
arti harafiah serta implikasi kehidupannya.
a.
Thie
Nama sindiran Thie
adalah Thie manaboke Boa ‘orang Thie biasanya
masuk ke hutan bakau’. Penamaan ini didasarkan pada sikap orang-orang Thie
ketika menghadapi sebuah serangan dari nusak
lainnya yakni ketika orang Thie dikepung oleh musuh maka salah satu jalan
yang ditempuh untuk menghindari serangan adalah bersembunyi di dalam hutan
bakau yang dalam kenyataannya orang tidak mungkin bisa masuk ke dalam sebuah
hutan bakau. Oleh karena itu, mereka kemudian dijuluki sebagai manaboke boa (turun ke hutan bakau).
b.
Dengka
Nama sindiran Dengka adalah Dengka Tafa Na’ak ‘orang Dengka dimakan pedang’. Sejak dahulu,
orang Dengka dikenal sebagai salah satu nusak
yang suka berperang. Kebiasaan ini kemudian dikecam oleh orang-orang di nusak lainnya sehingga mereka disumpahi
bahwa pada suatu saat orang Dengka mati karena pedang atau dimakan pedang (tafa na’ak).
c.
Delha
Nama sindiran
Delha adalah Delha Mana’a No ‘orang
Delha pemakan kelapa’. Delha merupakan salah satu daerah penghasil kepala di
pulau ini. Kebiasaan umum masyarakat Delha dalam hal mengelola kepala adalah tidak
mementingkan membuat olahan kelapa namun buah kelapa yang masih muda selalu
diambil dan dimakan, sehingga mereka dijuluki sebagai pemakan kelapa (mana’a no).
d.
Oenale
Nama sindiran
Oenale adalah Oenale Nafi Teik ‘orang
Oenale pemakan isi perut teripang’. Kebiasaan masyarakat di daerah ini umumnya
bermata pencaharian sebagai pelaut/nelayan. Ha-sil utama dari nelayan di daerah ini
adalah teripang (nafi). Keseringan mengonsumsi teripang membuat masyarakat di daerah
ini kemudian dijuluki sebagai hataholi
nafi teik ‘orang yang biasa makan isi perut teripang’.
e.
Lelain
Nama sindiran
bagi orang-orang yang berada di Lelain adalah Lelain da’a Tuak ‘orang Lelain kikir tuak’. Istilah ini diberikan kepada orang-orang Lelain karena pada
dasarnya lontar merupakan satu-satunya mata pencaharian penunjang hidup di
daerah ini sehingga kebanyakan orang secara rutin memanfaatkan lontar untuk
memenuhi kebu-tuhan
hidupnya seperti membuat gula merah, gula lempengan, gula air dan arak. Untuk
memperoleh hasil yang banyak dibutuhkan perjuangan untuk mengelolah lontar yang
besar sehingga mereka sendiri tidak pernah membagi-bagikan hasil lontar kepada
orang lain selain melalui proses jual-beli. Oleh karena itu, mereka disebut
sebagai kikir nira (da’a tuak).
f.
Ba’a
Nama sindiran
Ba’a adalah Ba’a Su’u De’ek ‘orang
Ba’a pemakan biji sukun’. Ba’a merupakan nusak
yang banyak ditumbuhi pohon sukun (su’uk).
Buah sukun banyak dimanfaatkan seba-gai
bahan makanan namun bagi orang-orang Ba’a selain buahnya (su’u boak), biji sukun (su’u
de’ek) juga dapat dijadikan sebagai makanan yang dijadikan sebagai makanan.
Dalam prosesnya, biji sukun diambil dan dibakar atau direbus untuk dimakan
sehingga orang-orang Ba’a kemudian dijuluki sebagai biji sukun (su’u de’ek).
g.
Termanu
Nama sindiran orang
Termanu adalah Termanu Pada Hena Boak ‘orang Termanu pemakan buah
pandan’. Secara umum, nusak ini
ditumbuhi banyak pohon pandan (henak).
Buah pandan (hena boak) juga dapat
dimanfaatkan oleh mas-yarakat
sebagai makanan. Buah pandan yang sudah diturunkan dari pohonnya dibelah dan di-ambil isinya untuk dimakan.
Oleh karena itu, orang-orang di nusak
ini kemudian dijuluki seba-gai
buah pandan (hena boak).
h.
Keka
dan Talae
Nama sindiran
kedua nusak ini adalah Keka Manalepa Bongo ‘orang Keka pemikul
Bongo’ dan Talae Manalepa Bongo ‘orang
Talae pemikul Bongo’. Kedua nusak ini
mempunyai kebudayaan dan kebiasaan atau adat-istiadat serta dialek ba-hasa yang sama. Kebiasaan
membawa gula dan air yang diisi di dalam buah pohon maja (bongo) ketika melakukan suatu perjalanan menjadikan kedua nusak ini kemudian dijuluki sebagai mana-lepa
bongo
‘pemikul bongo’.
i.
Loleh
Nama sindiran
terhadap orang-orang di Loleh adalah Lole
Ba’u Ngge ‘orang Loleh pemikul makanan’. Istilah ini berdasar pada
kebiasaan orang-orang Loleh yang selalu membawa bekal berupa makanan dan
minuman ketika melakukan perjalanan baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh.
j.
Daeduluk
(Bokai, Korbaffo, Bilba, Lelenuk, Diu, Oepao. Ringgou dan Landu)
Nama sindiran nusak-nusak yang terdapat di Rote Timur
adalah Daedulu Manana’a Lamak ‘orang
Rote timur pemakan belalang’. Nama sindiran ini diberikan pada beberapa nusak ini karena kebia-saan mengonsumsi belalang (lamak) yang tidak dikonsumsi oleh nusak-nusak di bagian barat pulau Rote.
Hal ini sesuai dengan sejarahnya bahwa pulau Rote dibagi dalam dua bagian yaitu
lamak anan ‘manusia pemakan belalang’
yaitu orang-orang Rote bagian timur dan henak
anan ‘manusia pemakan pandan’ yaitu orang-orang Rote yang berada di bagian
barat.
*************
Bab 6
Raja-Raja Nusak
|
Masyarakat
Rote pada dasarnya telah dibentuk dalam sebuah daerah swapraja sejak kedatangan
Belanda ke pulau ini. Daerah swapraja ini disebut nusak dan dapat disejajarkan dengan kerajaan. Setiap nusak memiliki pemimpinnya sendiri yang
disebut manek ‘raja’. Berikut ini,
raja-raja yang pernah memerintah di setiap nusak
di Pulau Rote yang dibagi berdasarkan wilayah yaitu: wilayah Rote Timur,
Rote Tengah dan Rote Barat.
A. Raja-Raja
Nusak di Wilayah Rote Timur
Wilayah Rote Timur meliputi nusak Ringgou, Landu, Oepao, Bilba, dan Diu yang disebut dengan Lote Dae Dulu.
1.
RINGGOU
Data
tentang raja yang memerintah Ringgou atau Rikou tidak tercatat namun dalam
beberapa sumber menyatakan bahwa raja-raja yang pernah memerintah Ringgou
adalah Baai
Ama Toulima (1830-1873), Nahum
Leli (1874-1877) dan Tu’u
Toulima Daud (1878-1888). Raja Petrus
Mesak Daudale (raja Talae) pernah memerintah yang masa pemerintahannya berakhir tahun 1911 (Soh dan
Indrayana, 2008:30).
Raja N. D. Daud yang berkuasa di
Ringgou sekitar tahun 1911 sampai 1949 dan digantikan oleh raja St. Daud yang berkuasa
tahun 1949. Dalam sumber
lain menyatakan adanya raja Christian
D. J. Daud yang juga pernah memerintah di Ringgou namun tidak disebutkan masa
pemerintahannya.
2.
LANDU
Menurut catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan
Indrayana (2008:28) bahwa raja yang pernah memerintah Landu adalah Paulus
Daylafo (1851-1854), Geolima Yohannis (1855-1870), Abraham Yohannis
(1871-1874), Yohanes Yahannis (1875-1883), Yosep Willem Yohannis (1884-1905),
Daud Yohannis (1906-1908), Lazarus Yosep Willem Yohannis (1908-1916).
Dalam lampiran Soh dan Indrayana (2008:286) tercatat raja
yang memerintah Landu pada tahun 1673 adalah Meno Balo. Masa pemerintahannya
sampai tahun 1703. Setelah itu diganti oleh Belkamo yang memerintah dari tahun
1703-1725. Pada tahun 1725, Belkamo digantikan oleh anak Meno Balo yaitu Dale
Meno dan memerintah sampai tahun 1732. Kemudian Dale Meno diganti oleh
saudaranya, Angi Meno yang memerintah dari tahun 1732 sampai 1736.
Angi Meno digantikan oleh anak Belkamo yaitu Geolima
Belkamo dan berkuasa dari tahun 1736 sampai 1756. Setelah masa pemerintahan
raja Geolima Belkamo, raja-raja yang pernah memerintah Landu adalah Bane Dale
(1757-1775), Bane Dailafa (1775-1783), Nai Lasa Bane (1784-1790), Ba Bane
(1790-1792), Suzas Bane (1792-1803), Adi Bane (1803-1832), Ndu Adi (1832-1883),
Dale Bane atau Yusuf Wilem Johannis (1883-1905), Daud Willem Johannis
(1906-1908), Lasarus Yusuf Willem Johannis (1908-1916), Matheos Yusuf Willem Johannis
(1916-1960), Marthen Matheos Johannis (1960-1966).
3.
OEPAO
Dalam
sejarah Oepao, daftar tentang kekuasaan raja tidak banyak diperoleh. Raja-raja
yang pernah berkuasa adalah raja Simon Sijoen yang berkuasa dari tahun 1844 sampai 1868, raja Yosef Sijoen yang berkuasa
dari tahun 1869 sampai 1886, dan raja Hendrik Sijoen yang masa
pemerintahannya mulai dari tahun 1887 sampai 1912.
4.
BILBA
Bilba telah diakui oleh Belanda dalam perjanjian
pertamanya yaitu pada tahun 1662. Menurut Soh dan Indrayana (2008:25) bahwa
raja yang pernah memerintah Bilba adalah 1) Lenggu Saba (1830-1868); 2) Pieter
Lenggu (1869-1870); 3) David Lenggu (1870-1873); 4) Pieter Lenggu (1874-1884);
5) Alexander Nero Lenggu (1885-1886); 6) Pedaana Mangaloe Saba (1886-1895); 7)
Alexander Nero Lenggu (1896-1908); dan 8) Solaiman Saba (1909-1927).
Menurut
Mesakh M. Lona
(61) bahwa raja pertama yang memerintah Bilba adalah adalah sebagai berikut: 1)
Solu Tupa; 2) Balube; 3) Teo Baluk; 4) Saba Teon; 5) Lengu Saba; 6) Sisa
Thelik; 7) Saba Lenggu; 8) Aok Lenggu; 9) Alexander Nero Lenggu; 10) Manafe
Aok; 11) Soleman Pedaama Mangalae Saba; 12) Yusuf Saba; 13) M.J. Lenggu; 14)
Abram Therik; 15) Marthen Lenggu; dan 16) Arnulus Thei.
Dalam
sumber lain menyatakan bahwa raja pertama Bilba adalah Manggarai yang memerintah
dari tahun 1660 sampai1662) dilanjutkan
dengan raja Reti
(1673-1677); dan Lase
Reti (1677-1680). Lase Reti kemudian digantikan oleh Theon Manggarai (anak dari
Manggarai) yang memerintah pada tahun 1691-1698). Theon Manggrai digantikan oleh sau-daranya Kappa
Manggarai yang memerintah dari tahun 1698 sampai 1712. Raja Kappa Manggarai
memerintah selama 13 tahun kemudian diganti oleh Balok Theon (anak Theon
Manggarai) dan meme-rintah antara tahun 1712 sampai 1749.
Raja
Bilba setelah Balok Theon adalah Jyu Solu (1749-1768); David Solu Tupa (1768-1783); Theon Balok
(1783-1830); Lenggu Saba (1830-1868); Pieter Lenggu (1868-1868 dan 1874-1884); David Lenggu
(1870-1874); Alexander Nero Lenggu (1884-1886 dan
1895-1908); Pedama
Mangalai Saba (1886-181895); Soleman Pedama M. Saba
(1908-1928); Yusuf
Saba (1925-1926); Abraham Therik (1926-1936); Mathias Alexander Lenggu
(1937-1948); dan Marten Lenggu (1948-1968). Data ini dimodifikasi dari Adoe,
2013:116 dan Soh dan Indrayana, 2008:288).
5.
DIU
Data tentang raja-raja pertama di Diu tidak diper-oleh
tetapi dalam catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana
(2008:26) bahwa raja-raja yang pernah memerintah Diu adalah Yakobus Manafe (1815-1857), Detan Manafe (1858-1879), Tafi Lio (1878-1884), Yakobus Paulus Manafe (1885-1887),
dan Paulus David Manafe (1906-1911).
Pada tahun 1917 Diu bergabung dengan Landu menjadi sebuah daerah swapraja baru
yang disebut Dae Dulu ‘tanah timur’
yang dipimpin raja Diu yaitu Paulus David Manafe (1917-1950).
B. Raja-Raja
Nusak di Wilayah Rote Tengah
Wilayah Rote Tengah meliputi nusak Korbafo, Lelenuk, Bokai, Termanu, Keka, Talae, Loleh, dan Ba’a serta Kerajaan Empat yang disebut dengan Lote
Talada.
1.
KORBAFFO
Dalam catatan L. J. Van Dijk dalam Soh dan Indrayana
(2008:28) menyatakan raja-raja yang per-nah memerintah Korbaffo adalah Kaliaman
Bibikote (1851-1852), Loekas Pakoeko (1853-1859), Yassok Manubulu (1860-1873),
dan Soleman Isak Manubulu (1907-1918). Namun dalam lampiran Soh dan Indrayana
(2008:285) mencatat genealogi raja Korbaffo dimulai dari raja Pelau yang
memerintah tahun 1660 sampai tahun 1662. Selanjutnya adalah raja Ndun
(1662-1690), Sadok (1690-1694), dan Pikatik (1692-1740). Pada tahun 1718
diangkat Leuana Angi menjadi raja tetapi dalam tahun yang sama diganti kembali
oleh Pikatik dan memerintah sampai tahun 1740.
Raja-raja yang memerintah Korbaffo setalah Pikatik adalah
Leuana Leuana (1740-1781), Lodong Dozain (1781-1800), Pelo Lodong (1800-1832),
Leuana (1832-1851), Kaliaman Bibikote (1851-1852), Lukas Pakuleu (1853-1859),
Yessak Manubulu (1860-1873), Soleman Isak Manubulu (1873-1922), Cornelis Izaak
(1922-1926), dan Christian Paulus Manubulu (1926-1989).
Dalam sumber lain menyatakan bahwa raja yang pernah
memerintah Landu adalah Pakuleo Noak yang memerintah sekitar tahun 1628 atau
1630 sampai tahun 1749. Pada tahun 1918, Korbaffo digabungan menjadi satu
bagian Rote Talada.
2.
LELENUK
Data raja pertama yang memerintah di Lelenuk tidak ada
namun Soh dan Indrayana (2008:29) menyebutkan beberapa raja yang pernah
memerintah di Lelenuk yaitu Toka Laloe (1815-1852), Meloek Teloen (1853-1876),
Hendrik Toka (1877-1885), dan Soleman Dayk (1886-1919). Pada tahun 1919 Lelenuk
disatukan menjadi Lote Talada.
3.
BOKAI
Bokai diakui
sebagai sebuah daerah otonomi oleh Belanda pada tahun 1756. Raja-raja yang
pernah memerintah adalah Doepe
Geo yang memerintah sampai tahun 1851. Doepe
Geo digantikan oleh Doeloe Doepe yang memerintah antara tahun 1852 sampai 1868. Setelah itu, pemerintahan dilanjutkan
oleh Sima Saede Kappa (1869-1875), Salomon
Doeloe (1874-1877), Mateus
Doeloe Doepe (1888-1892), Tan
Todik (1894-1906), dan Tae
Taka (1907-1911) (Soh dan indrayana, 2008:25-26).
Bokai menjadi salah satu anggota Kerajaan Empat dan dipimpin
oleh raja-raj dari luar. Namun dalam artikel lainnya disebutkan bahwa raja
terakhir yang memerintah Bokai adalah Herman Dupe yang masa pemerintahannya
sekitar tahun 1949.
4.
TERMANU
Menurut Fox (1971:51-52) bahwa raja pertama yang memimpin
Termanu adalah Ma Bula. Dalam struktur pemerintahan di Rote menggunakan sistem
dinasti sehingga Ma Bula kemudian diganti oleh anaknya Muskanan Mak. Muskanan
Mak digantikan oleh anaknya bernama Kila Muskanan. Selanjutnya raja Termanu
berturut-turut adalah Kelu Kila, Leki Kelu, Amalo Leki, Tolamanu Amalo (Tola
Manu) dan Seni Tola.
Selanjutnya raja yang dapat didata berdasarkan tahun
kekuasaannya adalah Kila Seni (anak dari Seni Tola) tahun 1660-1681, Pelo Kila
(1681-11691), Sinlae Kila (1700-1737), Ndaomanu Sinlae (1737-1746),[2]
Fola Sinlae (1746-1771), Muda Fola (1771-1776), Sadok Ndaomanu (1776-1786),
Amalo Muda (1786-1817), Mauk Amalo (1827-1832), Kiuk Pelo (1832-1851), Fanggidae
Kioek (1851-1859), Pelo Keloeanan (1860-1875), Kila Muskanan atau Stefanus
Paulus Amalo (1875-1887), Dama Balo atau Soleman Pella (1888-1892), Napu
Keluanan atau Yohanes Yeremias Amalo (1892-1912), Funu Keluanan atau Yohanes
Yeremias Michael Amalo (1912-1941), Gotlief Christian Jermias Michael Amalo
(1942-1943), Albert Christian Jermias Michael Amalo (1944-1946), Ernest Johanis
Jermias Michael Amalo (1947-1966).
Pada tahun 1912, Termanu digabungkan dengan Baa membentuk
kerajaan baru yaitu Lomakoli yang
pada tahun 1918 digabungkan lagi menjadi wilayah Rote Tengah di bawah
pemerintahan Johanis Jermias Michael Amalo. Data ini dimodifikasi dari Fox,
1971:59; Soh dan Indrayana, 2008:283).
5.
KEKA
Raja-raja
yang pernah memerintah Keka adalah Lole Malelak (1844-1873), Yosef Malelak (1874-1887), Laazar Malelak (1888-1895), Daniel Petrus Zacharias
(1896),[3]
dan Karel Ko’o
Anak (1907-1911). Dalam data lain menyebutkan raja Karel leoanak Foeh pernah memerintah
Keka namun tidak diketahui masa kepemimpinannya (Soh, 1996:34).
6.
TALAE
Masa
pemerintahan raja-raja di Talae ditulis oleh L.J. Van Dijk yang dikutip oleh
Soh dan Indrayana (2008:32) yaitu Pena Dethan (1830-1868), Yacob Pena Dethan (1869-1889), Ishak Yacob Pena Dethan
(1890), dan Petrus
Mesakh Saudale (berkuasa sampai tahun1911). Dalam sumber lainnya menyatakan
bahwa raja M.
M. Saudale pernah berkuasa di Talae pada tahun 1949.
7.
LOLEH
Cerita tentang raja pertama Loleh terdapat di dalam
beberapa syair yang dikenal orang Rote. Raja pertama orang Loleh bernama Loleh
Tosu. Dalam silsilah raja, Jermias Mbado (62) mengungkapkan silsilah raja yang
berlangsung secara dinastik setelah masa pemerintahan Loleh Tosu adalah Silu
Loleh, Ninggarai Silu, Silu Ninggarai, Mbesa Siluk, Manumbui Mbesa, Hu’a
Manumbui, Suilima Hu’a, Hu’a Suilima dan Ndi’i Hu’a. Masa pemerintahan Ndi’i
Hu’a di Loleh diperkirakan tahun 1740-an.[4]
Walaupun tidak ada terdapat data yang lengkap tentang
raja pertama Loleh, namun sistem genealogi raja menjadi sebuah panduan yang
secara potensial diyakini sebagai bukti sejarah para raja yang meme-rintah di
Loleh.
Dalam catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan
Indrayana (2008:29) bahwa raja yang pernah memerintah Loleh adalah Yakobus
Zacharias (1860-1863), Daniel Petrus Zacharias (1884-1906),[5]
Paulus Soleman Zacharias (1906), Erasmus Yakobus Zacharias (1907-1910).
Sedangkan dalam sumber lain menyatakan bahwa raja terakhir Loleh adalah Soleman
Zacharias.
8.
BA’A
Ba’a diakui oleh Belanda pada
tahun 1690 namun dalam berbagai sumber tidak disebutkan raja yang memerintah
pertama kali di Ba’a. Namun dalam banyak sumber mengungkapkan bahwa raja yang
pernah memerintah Ba’a adalah Tou Dengga Lilo yang masa pemerintahannya
bersamaan dengan raja Foe Mbura di Thie dan raja Ndi’i Hu’a di Loleh. Menurut Soh dan Indrayana
(2008:25) menyatakan bahwa raja-raja yang pernah memerintah Ba’a ada-lah:
1)
Moeskanan
Pandi yang memerintah sampai tahun 1854).
2)
Yohannes
Moeskanan yang memerintah antara tahun 1855 sampai 1862.
3)
Alexander
yang
memerintah pada tahun 1863 sampai 1873.
4)
Doen
Moeskanan yang memerintah dari tahun 1874 sampai 1883.
5)
Loesia
Detaq yang memerintah dari tahun 1884 sampai 1887.
6)
Yasaja
Dae Pani yang memerintah
dari tahun 1888 sampai 1895.
7)
Paulus
Dae Pani yang memerintah dari tahun 1896 sampai 1905.
8)
Moeskanan
Toele Foe yang memerintah dari tahun 1905 sampai 1911.
Dalam catatan
lain bahwa raja Ba’a sebelum tahun
1957 adalah I. D.
Panie yang diberhentikan pada tahun 1957. Sedangkan dalam dokumen Donald P. Tick yang dikutip Soh
dan Indrayana (2008:34) bahwa salah satu raja yang memerintah Ba’a adalah Solaiman
Detag yang masa pemerintahannya ber-samaan dengan raja Ch. P. Manubulu di
Korbaffo, raja Matheos Yohannis di Landu, raja Alexander Paulus Tungga di
Dengka, dan raja Christian Jermias Amalo di Termanu.
Menurut Adoe,
2013:118 bahwa raja terakhir Ba’a adalah Paulus Dae Pani yang memerintah dari tahun 1922 sampai tahun 1956.
Pada tahun 1912 Ba’a
digabungkan dengan Termanu dengan nama Loma-keti di bawah
pemerintahan raja Termanu.
9.
KERAJAAN AMPAT
Kerajaan Empat terbentuk
pada tahun 1898 terdiri dari Nusak Loleh,
Keka, Talae dan Bokai yang di-pimpin
oleh raja Loleh, Daniel Petrus Zacharias. Masa
pemerintahan raja ini dari tahun 1898 sampai tahun 1905. Setelah itu diganti
oleh Paulus Soleman Zacharias. Pada tahun 1906, kerajaan ini dibubarkan oleh
Belanda karena pengaduan kerajaan lain karena ketidakadilan dalam pemilihan
raja.
Pada tahun 1910, kerajaan ini
dibentuk lagi dengan anggota nusak yang
sama, namun pemimpin-nya diambil dari Termanu yaitu raja C. Manafe
dengan masa pemerintahannya dimulai dari tahun 1910 sampai 1916. Pada tahun berikutnya, C. Manafe digantikan oleh
Christian Michael Amalo dan meme-rintah sampai tahun 1918 ketika kerajaan ini
diga-bungkan dengan Termanu, Korbaffo
dan Lakimola menjadi Lote Talada.
C. Raja-Raja
Nusak di Wilayah Rote Barat
Wilayah Rote Barat meliputi nusak Lelain,
Thie, Dengka, Delha, dan
Oenale.
1.
LELAIN
Banyak
sumber mengungkapkan raja yang per-nah memerintah Lelain bernama Ndara Naong
yang masa kepemimpinannya bersamaan dengan raja Foe Mbura di Thie dan raja
Ndi’i Hu’a di Loleh. Sedangkan dalam Fox, 1996: 149 mengungkapkan adanya raja
yang pernah memerintah Lelain adalah Naho Dali (Nau Dale).[6]
Catatan
L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:28) bahwa raja-raja
yang pernah memerintah Lelain adalah Markus Meoh (1855), Sangoe
Besi (1855-1868), Thomas
Markus Doengoe (1869-1877), Tesa
Doengoe (1878-1879), Besi
Doengoe (1880-1889), Thobias
Marthinus Doengoe (1890-1905), Simon Besi (1906-1919). Dalam sumber
lain disebutkan bahwa salah satu raja yang meme-rintah Lelain adalah Yunus Besi dan diyakini
sebagai raja terakhir Lelain.
2.
THIE
Raja
pertama yang memerintah Thie adalah Saku Nara (anak dari Nara Resi)[7]
yang berasal dari Suku Taratu. Saku Nara memerintah dari tahun 1565 sampai
tahun 1600. Saku Nara digantikan oleh Lunggi Helo dari Suku Tolaumbuk yang
memerintah dari tahun 1600 samapi tahun 1625 (Haning, 2013:81-82). Setelah
Lunggi Helo, raja-raja yang memerintah Thie adalah Pandi Tule dari suku
Bibimane (1625-1638), Mbura La’e (1638-1639),[8]
Mesah Mbura (1639-1657),[9]
Henu Hani (1657-1660), Moi Mesah (1660-1665),[10]
Nale Mesah (1665-1690),[11]
Mbura Mesah (1690-1729),[12]
Foe Mbura (1729-1747), Toukay Pa atau Daniel Toukay Pah (1747-1749), Mbura
Toukay atau David Mbura Toukay (1749-1771), Beli Alu Pa atau Bastian Mbura
Mesah (1771-1783),[13]
Nggau Pandi (1783-1791), dan Pa Besi Alu (1791-1811), Kobi Pa atau Jakobis
Messakh (1811-1816).
Setelah
Kobi Pa memerintah, diangkatnya Pandi Foeh selama 3 bulan yaitu pada tahun 1816
setelah itu diganti oleh Baba Henu yang memerintah dari tahun 1816 sampai 1841.
Raja-raja setelah masa pemerintahan Baba Henu adalah Ndu Kobi atau Thobias
Messakh (1841-1861), Urai Ndu atau Paulus Messakh (1861-1882), Helo Ndu atau
Jonas Nikolas Messakh (1882-1907), Modo Helo atau Salmun Jonas Messakh
(1907-1917), Lani Helo atau David Jakobis Messakh (1917-1921), Foeh Moi atau
Gabriel Mbate Mooy (1922-1927), Ndu Helo atau Thobias Arnoldus Messakh
(1927-1931), Pa Helo atau Yermias Wilhelmus Messakh (1931-1943 dan 1946-1953),
Welhelmus Mbatemooy menjadi raja selama 7 bulan yaitu pada tahun 1944.
Selain
itu juga D. C. Saudale pernah diangkat menjadi raja ad interim Thie yang
menggantikan Wilhelmus Mbatemooy yaitu pada tahun 1944 sampai tahun 1945. Pada
tanggal 25 Mei 1945, dilantiknya Yusuf N. Messakh menjadi raja menggantikan D.
C. Saudale. Kemudian diangkat kembali Yermias Wilhelmus Messakh menjadi raja
dari tahun 1946-1953. Raja-raja sesudah itu adalah Loti Hani atau Hermanus
Haning dari tahun 1953-1956, Jakobis Arnoldus Messakh dari tahun 1956-1962 dan
Thobias A. Messakh dari tahun 1962-1970 (Haning, 2013:81-104; Soh dan
Indrayana, 2008:287; Messakh, 2007).
3.
DENGKA
Berdasarkan catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh
dan Indrayana (2008:27) tidak menyebutkan raja pertama yang memerintah Dengka
namun menyebutkan beberapa raja yang pernah memerintah yaitu Tongah Kotek (1854-1858), Adoe
Tongah (1859-1890), Paulus Adoe Toenggah (1891-1903), Alexander Toenggah
(1904-1906), dan Alexander Paulus Toenggah (1907-1911).
Dalam lampiran Soh dan Indrayana (2008:285) tentang
silsilah raja Dengka bahwa raja pertama yang memerintah Dengka adalah Tullia
yang memerintah dari
tahun 1662
sampai 1696.
Selanjutnya raja yang memerintah secara berurutan adalah Henuk
Kane (1697-1727),
Manafe Henuk (1727-1779),
Andreas Henuk (1779-1800),
Pah Manafe (1800-1803),
Doki Pah Manafe (1803-1832),
Bauk (1832-1854), Tungga Koten (1854-1858), Adoe Tungga (1859-1890), Paulus Adoe Tungga (1891-1903), Alexander Tungga (1904-1906) dan Alexander Paulus Tungga (1907-1911).
4.
DELHA
Menurut Soh dan Indrayana dengan mengutip catatan L. J.
Van Dijk bahwa raja-raja
yang pernah memerintah Delha adalah Yeremias Ndoen (1884-1885) dan Yeremias Daniel Ndoen (1886-1911).
Pada tahun 1911, Delha bergabung dengan Oenale membentuk daerah swapraja baru
yang disebut Bola Holu.
Haning, 2013:47 menyebutkan raja Lelain yang memerintah
dari tahun 1935 sampai 1966 adalah Abner Ndun. Raja ini adalah raja terakhir
yang ber-kuasa di Lelain.
5.
OENALE
Informasi
tentang raja-raja di Oenale tidak banyak diperoleh. Menurut L. J. Van Dijk yang
dikutip Soh dan Indrayana (2008:30) bahwa raja-raja yang memerintah di Oenale
adalah raja Mesak
Giri yang memerintah dari tahun 1844 sampai 1868. Setelah masa
kepemimpinan raja Mesak Giri, berturut-turut raja yang memerintah Oenale adalah
Yacob Mesak
Giri (1869-1895), Soleman
Mesak Giri (1896-1901), dan Thobias
Mesak Giri (1901-1911). Pada tahun
1916, Oenale
disatukan dengan Delha
membentuk
swapraja baru yang bernama Bolaholoe.
Dalam
rencana penyatuan kerajaan-kerajaan di
Pulau Rote, maka pemerintah Hindia Belanda dalam Zelfbestuur Regeling Besluit
Gubernemen tanggal 31 Oktober 1928 Nomor 27, diangkat J. S. Kedoh menjadi raja
untuk Pulau Rote dan sekitarnya dan menjadi raja pertama Rote Ndao.
*************
Bab 7
Organisasi Sosial Nusak
|
A.
Konsep Leo
Masyarakat
Rote mengenal adanya pembagian suku
yang mendiami setiap nusak dan
masing-masing dari nusak tersebut
memiliki klasifikasinya sendiri-sendiri mengenai pembagian sukunya. Pembagian orang Rote dalam
suku itu disebut leo. Pengertian leo secara umum adalah organisasi sosial
masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga batih yang lahir dari satu keturunan
tertentu. Dalam sebuah leo ter-dapat beberapa marga yang
memiliki hubungan ketu-runan
yang sangat berdekatan dan dalam adat-istia-datnya tidak diperkenangkan untuk
terjadi perkawinan dalam satu suku karena dianggap sebagai satu ke-luarga.
Berdasarkan
tradisi orang Rote, leo merupakan
sebuah organisasi sosial yang berasal garis ketu-runan dari laki-laki yang bersifat
patrilinear mem-bentuk
kerjasama antara kerabat dalam suatu ketu-runan
dari leluhur. Sebuah leo atau suku hanya
memiliki seorang pemimpin yang disebut maneleo
‘kepala suku’. Biasanya seorang maneleo
adalah se-orang laki-laki
yang dalam kehidupannya dipandang sebagai tua adat dan mempunyai kemampuan
serta pengetahuan tentang adat-istiadat yang berlaku di dalam masyarakat.
Fungsi
seorang maneleo dalam memimpin se-buah leo adalah sebagai berikut:
1. Mengurus atau menangani berbagai
upacara tradi-sional yang berhubungan dengan siklus kehidupan (kelahiran,
perkawinan dan kematian) dalam ling-kungan leo.
2. Mengurus atau menangani sengketa atau
masalah secara kekeluargaan di dalam lingkungan leo.
3. Mewakili anggota leo dalam menanganani seng-keta pada tingkat nusak.
B.
Penyebaran Leo Dalam Nusak
Berdasarkan
tulisan De Clerq tertanggal 20 November 1878 yang berjudul Allerlei Over het Eiland Roti bahwa keturunan orang Rote disebut juga dengan
istilah bobonggi/bobongi atau boboki. Istilah bobonggik disejajarkan
dengan leo atau suku. Dalam
tulisannya, De Clerq menjelaskan penyebaran leo
di setiap nusak di pulau Rote
yang pernah menjadi pasukan (tentara) bagi Belanda untuk berperang me-lawan Portugis dan
melancarkan kolonialisme di pulau Rote.
Oleh karena
itu, gambaran penyebaran leo ini
dapat diukur berdasarkan bobonggik
yang menempati kampung (nggolok/gorok/korok)
di seluruh nusak di pulau Rote yaitu
sebagai berikut:
1. Ba’a
Beberapa leo atau
bobonggik yang menetap di Ba’a yaitu
1) Ene menetap di Ba’a Dale, 2) Modok menetap di Tundaodale, 3) Kunak meneyap
di Batu Kapa, dan 4) Suki menetap di Oeteas. Terdapat beberapa kampung yang
didiami oleh beberapa suku di Ba’a adalah kampung Bunggama, Lolo’on, Takai,
Ne’e, Oenoas, Oemaulain, Oegela, Tuanatu, Todan, Ndudale, Penapua Makalame,
Menggilama, Lua’elain, Kokalain, Ndololite, Sukilain, Modok, Tanggalui, dan
Oemaodale.
2. Termanu
Leo yang pernah menghuni Termanu adalah
1) Masahuk menetap di Kolilain, 2) Meno menetap di Olain, 3) Leli menetap di
Kotaleleuk, 4) Dodanga menetap di Olalain, 5) Kiukanak menetap di Hala, 6)
Kotadeak menetap di Uno, 7) Sui menetap di Sosadale, 8) Ingondaus menetap di
Tada Bolo, 9) Uluanak menetap di Ho’o, 10) Gofalaik menetap di Poliama, 11)
Ingubeuk menetap di Polibongohu, 12) Deko menetap di Peladelelain, 13) Endae
menetap di Oenitas, 14) Ingofao menetap di Lefemuni, 15) Boto Kameng menetap di
Salpohi, dan 16) Ingonau menetap di Kodemanen. Nama-nama kampung yang pernah dihuni
adalah Lefak, Kade, Busalate, Baubofa, Dudikun, Oelunggulain, Oengelan, Huledo,
Gelama-lole, Pulai, Baudale, Leli, Hutu, Batungolo, Peto, Puwamata, Oendale,
Oebolo, Nittonggoen dan Sibolo.
3. Korbaffo
Leo yang menetap di Korbaffo adalah 1)
Tanaggoi menetap di Mokdale, 2) Sani Raja menetap di Mamen, 3) Sani fetor
menetap di Su’u hu, 4) Inggusudi menetap di Eohu, 5) Kanlain menetap di
Okepado, 6) Kawama menetap di Kalafau, dan 7) Datik menetap di Lamatineoe.
Beberapa kampung yang pernah dihuni adalah Umakapa, Kolobafolain, Ingguafolain,
Daedaeosi, Kokadale, Oesinadale, Oenggae, Danodale, Olefa, Biuk, Deaoen, dan
Dene-lain.
4. Landu
Leo atau marga yang pernah menghuni Landu
adalah 1) Dalama menetap di Pantai Rote, 2) Raipon menetap di Maeoe, 3)
Ingguserik menetap di Oenalain. Kampung-kampung yang pernah dikenal di Landu adalah
Oemalada, Oetutui, Kotadalek, Mata-ramok, Soaok, Ledulu, Oemila, Modalek,
Batukoa, Oekak, Oendui, Oebatulain, Korodalek, Kenamaoin, Batuapahun, Oemasik,
Nordalek, Oesuti, Oekae, baolain dan Ladulain.
5. Ringgou
Leo atau marga yang menempati Ringgou
adalah 1) Haontei menetap di Kekahu, 2) Dato menetap di Huruoin, 3) Maladatei
menetap di Bapaiku, dan 4) Anakaitei menetap di Baramo. Kampung-kampung yang pernah
dihuni adalah Ikura’a, Baeoe, Tokobatu, Busadaelain, Deteasa, Oebololain,
Rarano, Hailea, Noli, Boidano, Oematalilo, Oepualain, Oeramata, Ta-boalain,
Ikomanuhuoen, Iia, Masindale, Tuaraolain, Fa’a, Niyoe, La’aoe, Ikomanulain,
Usulain, Ariranilain dan Pepela.
6.
Oepao
Leo atau sub-leo yang ada di Oepao adalah 1) Ina’ai menetap di Seleai-tarebu, 2)
Fia menetap di Batuidu, dan 3) Ari menetap di Sotilai. Kampung-kampung yang
pernah dihuni adalah Manuoe, Peti-daen, Ealai, Ornado, Mo’odale, Boa’e,
Doearlain, Oefi, Ikurara, Mepei, Batusodan, Oedosole, Duile, Tokowatu, dan
Foinuren.
7. Bilba
Marga atau leo yang
pernah menghuni Bilba adalah 1)
Tarakoko menetap di Nunoe, 2) Lengomao menetap di Oesuti, 3) Manasea menetap di
Oebao, 4) Kajoe menetap di Nulaina, 5) Mumuk menetap di Mamalu, 6) Sangi
menetap di Fula’a, 7) Lako menetap di Oemata, dan 8) Kedati menetap di Oengeo.
Kampung-kampung yang pernah dihuni ada-lah Susioe, Nesu, Longodale, Kimadale,
Akekala, Palioe, Oehu, Haladain, Kailai, Tafakehu, Bu’eain, Manupulai,
Oeinadale, Osekai, Po’eoe, Bafanoe, Oeluli, Pokowatu, Safuamaoin, Talitimon,
Kelbukoe, Ngauselain, Lulipenalai, Bakoleten, Ingupola, Oelupu, Oesuku, Oehena,
Usulain, Tidolean, Heanoin, Lalao, Tonileten, Oenguni, Iduoin, Pao, Kataleten,
Oengelen, Oelao, Safetafa, Lokobite, Foeoin, Ingulilai, Ufa, Doemata,
Popokedale, Oeboka, Oeulu, Oelain, Kilutu-tuoen, Batula’a, Fukadali, Donalon,
Nao’oin, Siomo, Lifuoe, Lunudale, dan Batulain.
8. Diu
bobonggi atau leo yang pernah menghuni Diu adalah Besitein menetap di Oeutu,
Laiktein menetap di Kekoain, Neontein menetap di Bu’eain, Kalintein menetap di
Oeledo, Loaktein menetap di Oebeo, Tasiktein menetap di Oebauk, Soloktein
menetap di Betekai, Folantein menetap di Pepelelain, dan Malesi-tein menetap di
Kanalaik dan Diudaik.
9. Lelenuk
Leo yang pernah menghuni Lelenuk adalah 1)
Dongitein menetap di Lineoe, 2) Sakatein menetap di Hakoama, 3) Sinetein
menetap di Nabibi, 4) Dalitein menetap di Malulai dan Dapeoe.
10. Bokai
Leo atau sub-leo yang pernah menetap di Bokai adalah 1) Fea’ama menetap di
Batulutuhu, 2) Modok menetap di Foeoe, 3) Tidok menetap di Manukiodale, 4)
Ganiama menetap di Benggubela, 5) Sani menetap di Batulilok, dan 6) Masahu
menetap di Kekasele. Kampung-kampung yang pernah dikenal oleh masya-rakat Bokai
adalah Fengolen, Meakon, Oenusa dan Batumasik.
11. Talae
Marga atau leo yang
pernah menghuni Talae adalah 1) Inguoe menetap di Solooe, 2) Dunikama menetap di Oenusa, 3)
Kulute’ek menetap di Seda, 4) Siokaite’ek menetap di Batumanupuik, 5) Kiukana
me-netap di Oekea, dan 6) Masahu menetap di Oesulai. Kampung-kampung yang
dikenal adalah Nitanalai, Ingulena, Kopeda, Loeoin, Kuaoin, Bolo’oi, dan
Ga’elilo.
12. Keka
Leo atau sub-leo yang pernah menetap di Keka adalah 1) Solotei menetap di
Kolioin, 2) Lengatei menetap di Aiseledalek, 3) Balutei menetap di Dae-loni,
dan 4) Damitei menetap di Lenguhu. Adapun kampung-kampung yang dikenal adalah
Iuoin, Maka-hoe, Mokdale, dan Datebula.
13. Loleh
Leo atau sub-leo yang pernah menghuni Lole adalah 1) Huaumpun menetap di
Bebalain, 2) Tasitein menetap di Noanadale, 3) Hademongama menetap di Fongga,
4) Mula menetap di Bitodale, 5) Foetein menetap di Kambafulak, 6) Badoleon
menetap di Soekama, 7) Masahu menetap di Felai, 8) Fuadale menetap di Aililo,
9) Puilimatein menetap di Menggi, 10) Undaoba’etein menetap di Bandu, 11) Kuli
menetap di O’olangga, 12) Kasu menetap di Kolo-bolon, 13) Koalain menetap di
Tuabuna, 14) Tete-matein menetap Tuwa’e, 15) Kalentein menetap di Emboli, 16)
Nundi menetap di Dukedale, 17) Sandi menetap di Lasuama, dan 18) Oefampa
menetap di Oefik. Kampung-kampung yang pernah dikenal ada-lah Oelolok,
Laludale, Tuanalain, Helebei, Dengga-late, Oeteas, Adikama, Nautasi, Soka,
Danolain, Lebianan, So’oektuana, Luasio, Sinelondi, Fuakdale, Timulasi, Inggubeuk,
Namodale, Dompo, Lotu, Su-moen, Manahelo, Diu, Da’ehutilain, Nakawatun, Batu-lain,
dan Isitua.
14. Thie
Leo atau marga yang pernah menghuni Thie
adalah 1) Hanula’e menetap di Danoheo, 2) Burala’e menetap di Oebo, 3) Sabala’e
menetap di Oeseli, 4) Gaupandi menetap di Kotabeuk, 5) Tolaumbuk menetap di
Sa’eaun, 6) Meoleok menetap di Roioen, 7) Kolek menetap di Meoain, 8) Sandi
menetap di Ombok, 9) Kanaketu menetap di Dewama, 10) Sua menetap di Gauk, 11)
Le’e menetap di Dilamina, 12) Musuhu menetap di Oembuk, 13) Kona menetap di
Oebatu, 14) Landu menetap di Oeno, 15) Mo’olumbuk menetap di Mongkak, 16)
Mokaleok menetap di Batunaruk, 17) Langgalodo menetap di Oelasin, 18) Bibimane
menetap di Oliba’e, 19) Feosoru menetap di Liloain, 20) Kekedulu menetap di
Bokak, 21) Manadato menetap di Deranitan, 22) Nalefeo mentap di Batunguis, 23)
Todefeo menetap di Oederas, 24) Danafeo menetap di Belaoen, dan 25) Mesafeo
menetap di Sunusa, Lalukoen dan Oekeneka.
15. Delha
Leo atau sub-leo yang pernah menghuni Delha adalah 1) Sedefeo menetap di Fi, 2)
Tasimesa menetap di Sedemau, 3) Batumesa menetap di Teteana, 4) Kaifeo menetap
di Hehenet, 5) Batesede menetap di Lutililo, 6) Omba menetap di Soandau, 7)
Sandaumpu menetap di Dander, 8) Girite’e menetap di Tasimamo, 9) Laimedu menetap
di Edau’en, 10) Roa menetap di Sedeoen, 11) Hauoi menetap di Tunggaoen, dan 12)
Pa’adale menetap di Aras. Kam-pung-kampung yang pernah dikenal adalah Bo’a, Fimo,
Oemuti, Teteata, Dorobonggo, Hu’ana, Oehela, Tuaneo, Buniu, dan Oefoe.
16. Oenale
Marga atau leo yang
pernah menghuni Oenale adalah Tarahanidi menetap di Bu’eai, Tarahaniona menetap
di Buamo, Roa menetap di Eahu, Ait menetap di Difati, Mandali menetap di
Tongga, Pa’adale meneta di Bata, Hauoi menetap di Naleoin, Oinaleana menetap di
To’oelon, dan Anundao mene-tap di Nonggo. Kampung-kampung yang pernah di-kenal masyarakat
Oenale adalah Ladilau, Suioin, Sukio,
Oearek, Sa’e, Latiama, Baleti, Olit, Oedai, Fedom, Oelolot, Ginoen, Fetofeo,
Hausaut, Lenoe, Menoama, Manggis, Saneoen, Mambota, Oenitas, Oemame, Soniama,
Oeine, Oea, Oelalao, Maomau, Lidor, Rina, Lolonng, Gonggo, Lodano, Ingguseti,
Oenbao, Inggulodo, Nunsumba, Tuasafu, Gayama, Suimo, Balas, Rima, Ade, Bandut,
Manggamuru, Manuborek, Inggutenulu, dan Lolofeo.
17. Dengka
Marga-marga yang pernah menghuni Dengka adalah 1) Henutei
menetap di Lutumau, 2) Lanitei menetap di Hundihu, 3) Buitei menetap di Dau, 4)
Sautei menetap di Manamolo, 5) Baintei menetap di Oepapao, 6) Busaleo menetap
di Oetutulu, 7) Boai menetap di Medi, 8) Bauleon menetap di Kailain, 9) Manggi
menetap di Lenduoin, 10) Leseleo menetap di Randeoe, 11) Elo menetap di Deuama,
12) Todan menetap di Tuatolok, 13) Tasioe menetap di Modosina, 14) Fando
menetap di Oenbo, 15) Bolu menetap di Danoembao, 16) Luna menetap di Oetumbi,
17) Tunaluktei menetap di Inggumengge, 18) Lusitei menetap di Lompodano, dan
19) Leoana menetap di Oefatu. Kampung-kampung yang pernah dikenal adalah Inak,
Faiana, Feama, Noas, Lobeama, Temas, Mundek, Danoana, Genioen, Lidor, Gonggo,
Le’domata, Oeinggu, Doelete, Telunulu, Lutulai, U’el, Fatunao, Tutubatu,
Tolama, Oebole, Andalafu, Holo-tula, Lasilai,
Oedai, Henulain, dan Laki.
18. Lelain
Marga atau sub-leo yang
pernah menghuni Lelain adalah 1) Bobo menetap di Oesemboka, 2) Ludu dan 3)
Belolimpe menetap di Tilunisi.
C.
Nama-Nama Leo Setiap
Nusak
Masyarakat Rote tergabung dalam suku-suku yang tersebar
di setiap nusak. Leo atau suku yang terdapat di setiap nusak berbeda-beda. Berikut ini nama-nama leo setiap nusak sesuai
dengan Soh dan Indrayana (2008:63-82) dan Adoe (2013:72-110) adalah sebagai
berikut:
1.
Landu
Leo atau suku yang terdapat di nusak Landu menurut Soh dan Indrayana
(2008:82) dan Adoe (2013:108) terdiri dari 12 leo yang secara rinci adalah sebagai berikut:
a)
Surateik
(Manek I) yaitu marga Adi, Matasina,
Koidoh, Dami dan Haiain;
b)
Daima
(Manek II) yaitu marga Johanis dan
Matara;
c)
Sura
Ama Lai (Fettor) yaitu marga Kedo,
Lani, Marolo, Matara dan Masada;
d)
Remiku
(Dae langgak) yaitu marga Hun dan
Sura;
e)
Raipo
yaitu marga Fero, Ledo, Mesan dan Darlu;
f)
Mali
yaitu marga Fa’a dan Toulay;
g)
Sareak
yaitu marga Rui, Anakai, Kaun, Resiana dan Matasina;
h)
Anabako
yaitu marga Rote, Ima, Dedeo, Nako, Loilu dan Heta;
i)
Taetu
yaitu marga Tuti dan Lo;
j)
Lamalu
yaitu marga Leoh;
k)
Tutudila
yaitu marga Batok dan Bola;
l)
Ikuseni
yang tidak memiliki turunan.
2.
Ringgou
Ringgou dihuni
oleh leo-leo atau suku-suku yang
susunannya menurut Soh dan Indrayana (2008:81) adalah sebagai berikut:
1)
Tukanteik
(Manek I) yang terdiri dari marga
Malada, Doi, Serah, Nes, Layfoy dan Timu;
2)
Haonteik
(Manek II) yang terdiri dari marga Daud,
Leli, Tu’ulima, Beama dan LawoE;
3)
Dato
(Fettor) yaitu marga Tupu, Fua dan
Bessi;
4)
Naladai
(Dae Langgak) yaitu marga Rissi,
Poyk, Run, Klaas, Sui, Doroh dan Soh;
5)
Apaseri
yaitu marga Markus, Sikky, Sikkitari, Tari, Seseli, FoEh dan Pati;
6)
Tokoteik
yaitu marga Kedoh, Jakob, Pelleh, Fani dan Asa;
7)
Deruteik
yaitu marga Bulan, Deru, FoEh dan Oan;
8)
Daiteik
yang terdiri dari marga Lay dan Day;
9)
Rote
yang terdiri dari seksi dan sub seksi yaitu:
a)
Roteanabako
yaitu marga Dedeo, Rote, Ry, Heta Bulan dan Poyk;
b)
Rotelamalu
yaitu marga Loy, Kah, Kolifai, Peda dan Lanu;
c)
Roteanakai
yaitu marga Anakai dan Mada;
d)
Rotetutudila
yaitu marga Amaia, Bakuama, Roy dan Bola;
e)
Roteanalaso
yaitu marga Tokoh dan LayFoy.
10)
Mali
yaitu marga Toulay dan Mekah;
11)
Dati
yaitu marga Pele;
12)
Daemea
yaitu marga Soru.
3.
Oepao
Masyarakat
Oepao adalah sebuah kelompok masyarakat yang paling sedikit jumlahnya. Susunan leo-leo masyarakat Oepao menurut Soh dan
Indrayana (2008:81) adalah sebagai berikut:
a) Ina Ai Dolu (Manek I): Moses dan PoEk;
b) Ina Ain (Manek II) terdiri dari 2 seksi yaitu 1) Syuteik yang meliputi marga
Sjioen, Haioe, Izak dan Titi; 2) Danoteik yang meliputi marga Batun, Doan, Adu
dan Haioe;
c) Ari (Fettor) yaitu marga Lapa dan Eah;
d) Fia (Daelanggak) terdiri dari 3 seksi yaitu:
1) Fia yaitu marga Hake, Soda dan Ledoh
Ese;
2) Fiatalada yaitu marga Sere dan Sura;
3) Fiamuri yaitu marga Lyfoi dan Lau.
e) Sa’i yaitu marga Balukh;
f)
Oenado
yaitu marga Martinus, Scan dan Bulan Neok;
g) Niteik yaitu marga Bero dan Noakh;
h) Oeina yaitu marga Bokoteik dan Oeina;
i)
O’oama
yaitu marga Bulan;
j)
Ramaea
yaitu marga Adu dan Teluain.
Terdapat
pembatasan jodoh antara leo Ina Ain
dengan Ina Ain Dulu. Begitu juga antara leo
Fia karena masih ada hubungan leo bobonggik (suku kekeluargaan). Selain
itu juga antara O’oamadan Ari akan tetapi, akhir-akhir ini kedua leo ini telah mengadakan banyak
penyelewengan.
4.
Bilba
Moyang pertama
masyarakat Bilba bernama Lakamola
Bula. Turunannya terbagi atas 7 leo
besar, dan masing-masing leo besar
terbagi pula atas leo kecil. Kepala
sukunya terdiri dari suku besar yang disebut maneleo dan kepala suku kecil yang disebut renengik. Susunannya sebagai berikut:
a)
Talakoko
(Manek)
1)
Manube:
Saba, Lenggu, Medah, dan Theon;.
2)
Ngatalama:
Eluama, Laihe, dan Medah;
3)
Pedaama:
Lalai, Musa, dan Lase;
4)
Kapateik:
Ngek.
b)
Lengumau
(Fettor)
1)
Teluk
yaitu marga Manafe, Therik, Lote, Lepa, Pala, Muda dan Su;
2)
Oeain
yaitu marga Dan dan Ay;
3)
Foka
yaitu marga Eken, Lay, Dokon dan Lona;
4)
Folio
yaitu marga Mulik dan Longo;
5)
Sode
yaitu marga Dala, Thene, Lolo, Lete dan Lusi;
6)
Kadati
yaitu marga Baun, Leneng, Soi dan Manafe.
c)
Mumuk
(tunggal): Ngefak, Lona, Thei, Suki, Salean, Henuk dan Saba.
d)
Sanik
1)
Sanik
terdiri dari marga Ngulu, Mau, Bessi, Medah dan Telik;
2)
Louanak
yaitu marga Manu dan Bulan;
3)
Loki
yaitu marga Malenan.
e)
Lahaa
1)
Lahaa
yaitu marga Ngik, Meda, Mulik, Nafi, Foeh dan Leka.
2)
Laka
yaitu marga Bokotei, Ngik dan Tasi.
f)
Manse
1)
Bola
yaitu marga Bola;
2)
Kule
yaitu marga Kule, Poi, Dopen, Likan dan Non;
3)
Ngili
yaitu marga Ngili, Tellulain, Mulik, Lopung dan They;
4)
Fani
yaitu marga Fani, Lum, dan PoEk;
5)
Feuama
yaitu marga Timun dan PoEk;
6)
Beng
yaitu marga Beng;
7)
Meno
yaitu marga Meno.
g)
Kaioe
1)
Ingutali
yang meliputi marga Pena, Dite, Lango, Ingutali dan Keti;
2)
Banok
yaitu marga Lusi;
3)
Ledo
yaitu marga Ledo, Loi, Pena, Delu, Lolu dan Mesang.
Catatan:
a.
Pengetahuan
pertanian termasuk persawahan konon berasal dari Bilba.
b.
Seksi
suku Meno adalah Daelanggak yang
menurut legenda moyangnya turun dari langit.
c.
Suku
Lahaa terkenal dengan nama julukan Lahaa
manahasa mamates (Laha pembeli mayat).
5.
Diu
Susunan leo-leo
Diu sebagai berikut :
a)
Besiteik
(raja): Manafe, Adu, Oeina, Malote, Kise, Bulan, dan Pah.
b)
Kana
(fetor): Poli, Loden, dan Adu.
c)
Munteik
(Dae Langga): Kufa, Foeh, Lada,
Manafe, Koko, Mulik, dan Ngeo.
d)
Mansea:
Non, Bola, dan Kule.
e)
Soloteik:
Bollu
f)
Ladukai:
Napa dan Haden.
g)
Polateik:
Ngik dan Lebo.
h)
Luponteuk:
Neon, dan Mola.
i)
Diudaek:
Suki, Bola, Kama, Lidik, Son, dan Ballo.
Catatan:
Subseksi
(ranting) Oina dari suku Besiteik dari subseksi Poll tidak bisa kawin-mawin
berdasarkan sumpah nenek moyang. Ranting Pah dari suku Pesiteik berasal dari
Thie yaitu dari suku Nalefoeh (hanya bernaung).
6.
Korbaffo
Masyarakat
Korbaffo terbagi atas 4 suku ata leo
besar. Masing-masing terdiri pula atas beberapa seksi leo. Tiap suku atau leo
dikepalai oleh kepala suku atau maneleo.
Begitu pula setiap seksi suku dikepalai oleh manengik (kepala suku junior).
Keluarga Korbaffo yang ada di Ambenu (Oekusi) berasal dari Korbaffo. Susunan leo di Korbaffo, sebagai berikut:
A.
NDEOTEIK
(Raja)
1.
Manubulu:
Manubulu
2.
Sondateik:
Meme, Angi
3.
Nggusiteik:
Beama, Meda
4.
Bulateik:
Lapudooh, Bulan
5.
Ngogoteik:
Lima, Inguama, Manudui
6.
Ti’unggateik:
Hida, Meno, Meda, Pello, Patola
Hampir semua
suku pendatang tergabung dalam suku Tungateik.
B.
SANIK
(Fettor)
1.
Tasiteik:
Tasi, Manafe, dan Toudua.
2.
Kebodaiteik:
Pinga, Manafe, dan Ndosain.
3.
Leoanateik:
Leoanak
a.
Batuteik:
Toudengan, Banaim, Angi, dan Ndun.
b.
Keboteik:
Bawana, Tananggoe, Malesi, Manafe, Jakob, Kebo, Polin, Elik, Singgili, dan
Aufengo.
4.
Baluteik:
Balu
5.
Sueteik:
Bernadus, Nggeon, Asari, dan Lodo.
C.
TANANGGOE
1.
Kedoteik:
Kedo, Bawana, Malesi, Leoana, Tanango’e, Manafe, Mandala, Fanggidae-Haiain,
Ndolu, Lusi, Leke, Tidok, dan Dale.
2.
Leseteik:
Lapan, Malesi, dan Nongo.
3.
Teleteik:
Beda, Nauk, Malesi, Kekado, Batuk, dan Nggeon.
4.
Apateik/Lengoteik:
Petan, Detan, Nggeon, dan Malesi.
D.
INGUSUDI
1)
Kalateik:
Mesah, Balo, Le, Lio, Sula, dan Beama.
2)
Kawamateik:
Lali, Lona, Beama, Lesik, Balukea, Ledo, Manafe, Ledo, dan Manafe.
3)
Sanguteik:
Ballo.
7.
Termanu
Di antara
sekian banyak suku atau leo, suku
Kiukanak merupakan suku (leo) yang
paling banyak memiliki seksi dan sub-leo.
Semuanya disebut Kiukanak Mane Nggeon
Telu Hulu yang berarti Kiukanak yang memiliki 30 (tiga puluh) anak
laki-laki.
a. Seni
Tola (Suku Raja)
terdiri dari 11 leo yaitu:
1)
Tolateik
meliputi marga Amalo, Bire, Doko, SinlaeloE, Napu, dan Keluanan;
2)
Hailitikteik
meliputi marga Pella, Fanggidae, Ballo, Hailitik, dan Patola;
3)
Neluteikyang
terdiri dari marga Pelokila dan Kongfora;
4)
Edoteik
meliputi marga Edon, Muskanan, Pello, dan Malesi;
5)
Kilateik
terdiri dari marga Kila, Makandolu, dan Fanggidae;
6)
Ndaomanuteik
meliputi marga Ndaomanu, Ballo, dan Makh;
7)
Loeteik
meliputi marga Loe, Sinlaeloe, dan Lusi;
8)
Luaitolateik
terdiri dari marga Lusitola, Ndun, dan Lusi;
9)
Muskananteik
meliputi marga Muskanfola, Fola, Mauk, Muskanan;
10) Peduteik yang terdiri dari marga
Mauleki; dan
11) Longoteik (Kiukanak) yang terdiri dari
marga Anin, Longo, Dale, Pello, Huandao, Masah, Medi, Tulle, Fanggidae,
Hailitik, Damaledo, Solo, Dae, Kiuk, Kila, Male, Seubelan, Dulik, Lino, Delu,
Tomodok, Patola, Ballo, Dethan, Karels, dan Ndoki.
b. Lusi
Tola (Suku Fetor) terdiri
dari 13 leo yaitu:
1)
Kotadeak
(fetor) yang terdiri dari marga Ambesa, Manafe, Lesiangi, Lusi, Pellu, Saduk,
Lida, Makh, Bainuan, Kiuk, Dethan, Lusi, Hailitik, Ballo, Pina, Tolamanu,
keluana, Dethalusi, Pono, Fanggide, dan Elusama;
2)
Sui
terdiri dari marga Sinlae, Toumelak, Nggeolima, Touselak, Mansopu, Tallo, Tallanggoe,
Ndun, Pian, Toumodok, Nggi, dan Dale;
3)
Ingubeuk
meliputi marga Lusi dan Kiuk;
4)
Uluanak
terdiri dari marga Sodak, Pena, Mandope, dan Matita;
5)
Ngofalaik
meliputi marga Muloko, Nggili, Ndolu, Lada, Edo, Seme, Lusi, dan Tondua;
6)
Detamauk
yaitu marga Detamauk;
7)
Ngufao
meliputi marga Manafe, Kadek, Fanggidae, Manu, Seme, Sinlae, dan Ngili;
8)
Inguano
yang terdiri dari marga Oek, Bebengu, Kila, Ledo, Lusi, Anin, dan Inguanan;
9)
Meno
terdiri dari marga Adulano, Tupuama, dan Lonameo;
10) Doudangga meliputi marga Pelandou,
Labola, Ndun, Fola, Fanggidae, Tallo, Palopian, dan Loaniak;
11) Ndeko terdiri dari marga Ndun,
Fanggidae, dan Leka;
12) Ndau yaitu marga Taek; dan
13) Ingudaos meliputi marga Nange, Deak, dan Ledo (Soh dan
Indrayana, 2008:73-75).
8. Lelenuk
Susunan leo yang
terdapat di Lelenuk adalah sebagai berikut:
1)
Donoteik
(Manek): Daik, Dongi, Jonas dan Ledo.
2)
Kana
(fettor): Sina, Lomang, Urbanus,
Manafe, Markus, dan Liu.
3)
Nabibi:
Suek, Balo dan Manu.
4)
Hakoama:
Manafe, Lapa, dan Tasik.
5)
Suku-suku
pendatang yang sekarang menetap di Lelenuk adalah:
a.
Mansea:
Mesang, Non, dan Lusi
b.
Munteik:
Lay, Manafe dan Kufa
c.
Sanik:
Talo
d.
Lako:
Nggik
e.
Besiteik:
Nulik (Soh dan Indrayana, 2008:77; Izaac, 1990).
9. Bokai
Susunan leo yang
menetap di Bokai adalah sebagai berikut:
1)
Leko
(manek): Dupe, Teak, Johanes, Bola,
Oli, Asari, Manafe, Lusi, Lomang, Sina, Hun, Adu, dan Lada
2)
Tido:
Kornelis, Oli dan Manafe
3)
Masahu:
Dano, Lona, Sanu, Lay, Polyn, Taka, Muloko dan Baleng
4)
Kopalaisolu:
Malelak, baleng dan Pelondou
5)
Sanik:
Thobias, Kornelis, Elias dan Pingak
6)
Dunukana:
Saudale (Soh dan Indrayana, 2008: 76-77; Izaac, 1990).
10. Talae
Susunan leo yang
terdapat di Talae adalah sebagai berikut:
1.
Ingguoe
(manek): Dethan, Ndun, Taka dan
Lenga,
2.
Dunikama
(fettor): Saudale, Mansopu, Lete,
Keti, Taka, Manafe, dan Beten.
3.
Kuluteik:
Solu da Ndun.
4.
Songa:
Pingak, Manafe, Ala, Letik, Kadafuk, Ndukonak dan Ndun.
5.
Masahu:
Sanu.
6.
Kiukanak
(leo asal Termanu): Bufe, Tana-nggau,
Fanggidae, Patola, Tule dan Loe.
7.
Siokaintein:
Sanu, Muskanan, Manafe, dan Haning.
8.
Petuhade:
Lada, Solo, Lusi, Manafe, Pingak, Pello dan Taulo (Soh dan Indrayana, 2008:76;
Izaac, 1990).
11. Keka
Nama Keka
berasal dari moyang bernama Keka Lingo yaitu keturunan kelima dari keturunan
Liu Li Bulan. Terdapat 2 (dua) rumpun atau leo
induk yaitu Kopalaisolu dan Sakutein yang mendiami nusak Keka adalah sebagai berikut:
a. Kopalaisolu
1. Leomanek/Kopalaisolu (Manek) yaitu marga Malelak dan Malelak Belan;
2. Mauteik (Manedope) yaitu marga Nggi, Malelak-Nggi, Lusi, Thomas dan Ran;
3. Seiteik yaitu marga Sinlae dan
Sinlae-Belan;
4. Mane Feto Ana yaitu marga Koanak dan
Liu.
b. Sakutein
1. Salapoi yaitu marga Huan, Fanggidae,
Kos, Tulle, Liu, Doh dan Hanokh;
2. Oefamba yaitu marga Siokain,
Fanggidae, Keti, Lona, Jesua, Bengu, Ekon, Souk, Dale.
Suku yang tidak
gabung dalam kedua rumpun di atas adalah:
a. Fetuhade yaitu marga Manafe
b. Masahu yaitu marga Kadek, Lusi, Koanak
dan Souk.
12. Ba’a
Susunan leo yang
menghuni Ba’a adalah sebagai berikut:
1. Ene (manek): Pani, Daepani, Tulle, Bailaen, Detak, Toumeluk, Muskanan,
Manafe, Ndun, Mbolik, Foeh, Dano, Henuk, Soluk
2. Modok (fettor): Mandala, Oto, Toulasik, Suek, Manu, Manuain, Soai, Bola,
Ndun, Tasi, Funu, Tomasui, Susak, Adu, Pellomanu, Bailao, Longgo, Lonis, Kolo,
Lembak
3. Suki: Lonak, Boik, Ndun, Anin, Adu,
Manafe, Bulan, Kila, Mesak, Meno
4. Pelama: Thonak, Ndolu, Bulak,
Fanggidae, Bessie, Ndun
5. Faisama: Mbolik, Haman, Tonek,
Toudengga
6. Nggi: Kiuk, Panik, Toulasik, Bilik
7. Nggikohu: Pah, Panic, Anin, Nggoek, dan
Fanggidae
8. Kunak: Manafe, Mbolik, Pani, dan Ndun
Catatan
a. Suku-suku di Ba’a terdiri dari empat
pokok besar: dari nomor 1-4
b. Nomor 5-8 adalah pecahan dari Pelama
c.
Ene
dan Felama masing-masing memiliki nama julukan: Ene manasisi Loak dan Felama
mana-kakafi Tona Bafak.
13. Loleh
Nama Loleh
diambil dari seorang moyang Loleh bernama Loleh Tosu. Loleh Tosu adalah
keturunan yang ketiga dari Liu Lai Bulan. Masyarakat Loleh terdiri dari dua
rumpun besar yaitu MBESA dan LEBO. Masing-masing kelompok membawahi bebe-rapa suku yang susunannya
seperti yang terdapat di nusak Thie
dan kerajaan lainnya. Kedua rumpun ini disebut juga leo yang mungkin merupakan paruh masyarakat.
A. MBESA
1.
Huanumbuk
(manek): Zakarias, Lekama, Koeanak,
Koan, dan Manafe.
2.
Tasitein:
Tasilama, Suilima, dan Kota.
3.
Oefamba:
Mbuik, Do’o, Ndiy dan Adu.
4.
Mula:
Ndoluanak, Lazarus, Loak, Meno, dan Pello.
5. Leoanak (Mbadoleok): Hendrik, Ndun,
Haning, Mbado, Makandolu, dan Kornelis.
B. LEBO
1)
Kasu
(fettor): Dilak, Patola, Koehuan,
Zakaryas, Mansula, Tina, Mbado, Hak, Ndun, dan Hiskia.
2)
Koalain:
Koeain, Sinlae, Balukh, Foenale, Ketti, Meno, dan Laning.
3)
Tetematein:
Pandie, Adu, Makandolu, Manafe, Huan, Meno, Paulus, dan Manukoa.
4)
Handebongama:
Ingguoe, Ndaumanu, Anabokay, Ndun, Ketti, Pala, dan Manu.
5)
Sandi:
Mandala, Alhans, dan Toku.
6)
Nondi:
Ndaok, Mansula, Hermanus, Elias, Longgak, dan Bulan.
14. Lelain
Adat istiadat
dalam dialek Lelain mirip dengan orang Dengka. Susunan leonya
sebagai berikut:
1.
Bobo
(manek): Bessie
2.
Mengga
(fettor): Dunggu dan Pasu
3.
Bolala : Solo dan Nale
4.
Lodu : Adu, Ndun, dan Sina
5.
Lodudi : Fanggi
6.
Tadi : FoEs
7.
Ndalateik : Tesa dan Dunggu
15. Dengka
A.
ELOMULI
1)
Elo
(manek): Elo, Lete, Laasar, Henuhanu,
Abidano, Mba’u, Lani, Laasai, Mengge, Ndo’I, dan Ndao
2)
Fando:
Fek, Polo, Adu, Mole, Baik, Fanggi-tani, Henuk, Tasi, Ufi, dan Nafi.
3)
Tasioe: Saduk, Henuk, Poik, Mba’u, Deta-nelu, Nafi,
Foes, Baluk, Nggonggoek, Nggoek, dan Pa’a.
4)
Luna:
Lulupoi, Luna, Ambi, dan Besi.
5)
Todak:
Adu, Manuain, Eohndolu, Ndolueoh, Ndolu, Ledo, Sa’u, Fanggi, Donggi, Pandi,
Henuk, Bute, Tobo, Nulek, Mba’u, Pou, Langga, Moihana, Nafi, dan Ndun.
6)
Boluk:
Eoh, Hanas, Foeh, Ndun, Adu, Bolu, Sula, Lona, Bandi, Nale, Henudelas, Fili,
Sela, Haninuna, Koten, dan Medi.
7)
Busaleok
(MboEtik): FoEs, Modok, Nasa, Bulu, Mboe, Ndun, Ndolu, Manu, Sula, Mone,
Nggili, Lona, Helo, Fua, Neu, Ufi, dan Landak.
8) Leoanak: Nafi, Suek, Lani, Hele, dan Adam.
9) Mbau Umbuk: Henuhili dan Modok.
B. TAKATEIN
1)
Heniteik
(manek): Tungga, Elimanafe, Ndao-manafe,
Manafe, Pah, Bunda, Ndun, Saudila, Nggili, Tongge, Mboe, dan Kana.
2)
Mbuiteik:
Sula, Ndunfoes, Bessi, Hilli, Koten, Talak, Duli, Langge, Muda, Sodak, Lusi,
Do’a, Dae, Se’ik, Moi, Detan, Sely, Feoh, Adu, Ufi, Binloe, dan Dale.
3)
Sa’uteik:
Soluk, Ndun, Tallo, Bulu, Loak, Mbuik, Sa’a, Lalai, Moy, Fanggi, Nggili, dan Lusi.
4)
Laniteik:
Ndun, Kiu, dan Adulenggu.
5)
Leolu
(fettor): Nolu, Manu, Lau, Saduk,
Adu, Pah, Lete, Mba’u, Kilak, Mo’e, Detan, Busu, Fafok, Fek, Nafi, Lolo, dan Seuk.
6)
Bo’ai:
Dano, Ledo, Lusi, Sula, Modok, dan Feoh.
7)
Mba’uleok:
Ndolu, Mbau, Solo, Seli, Mbuik, Polo, Henuk, Pah, Poy, Fanggi, Hili, Ndun, dan Lesik.
8)
Leseleok:
Molak, Lesik, dan Tali.
9)
Nubuteik:
Lilo, Ngili, dan Ndolu.
10) Sa’eteik: Sain, Suek, dan Lu.
11) Mangi: Mbuik, Salu, Luik, Detan, Kanu,
Nanuk, Sa’u, Pah, Lani, Sula, Aduba’o, Modok, Henuk, dan Mone.
Ada 3 kelompok yang berdiri
sendiri yaitu:
1.
Ndau:
Mbalu
2.
Ambik:
Menda
3.
Balaoli:
Mandas, Menda, Naluk, Taek, Ndun
Catatan
a)
Dari
suku Elomuli ada 5 suku induk yang disebut Leo Kalimak: Elo, Fando, Bolu, Luna,
dan Todak
b)
Dari
rumpun Sakatein ada 4 suku induk yaitu: Leokahak: Mbuiteik, Sa’iteik,
Mba’uleuk, dan Leseleok
c)
Suku
Sa’uteik dan Mbuiteik tergabung pula dalam satu rumpun yang disebut Takateik
d)
Suku
Manggi sangat ahli dan berani dalam strategi dan taktik perang sehingga
mendapat julukan Manggi Man Soi Duli (orang Manggi pembuka duri benteng musuh)
e)
Suku
Manggi dan suku Boluk merupakan patner dalam menghadapi perang sehingga antara
ke-dua suku tersebut terdapat perjanjian pembatasan jodoh.
16. Thie
Susunan leo yang terdapat di Thie menurut Soh dan
Indrayana (2008:66) dan Haning (2013:37-40) adalah sebagai berikut:
a. Sabarai
1)
Mburala’e
(Raja) terdiri dari marga Messakh, Arnoldus, Baba, Nalle, Nunuhitu, Pandi,
Baba, Soru, Benggu, Napu, Dato, Pakh, Henuk, Tilman, Mbura, Bessikh, Talakua, Nggadas,
Ndolu, Foeh, Litik, Helo, Asbani, Talo, Djami, Adu, Malelak, Tola, Saba dan
Bessi;
2)
Sabala’e
terdiri dari marga Mesah, Ndun, Pandi, Banggu, La’e, Tulle, Baba, Modok,
Manafe, Botok, Haning, Suy, Hili, Adu dan Ba’ik;
3)
Henula’e
terdiri dari marga Mesah, Aduta’e, Adu, Fanggi, Ndolu, Boru, Mesak, Henuk,
Daud, Ndun, Pandi, Resi, Kainara, Kaiadu, Manafe, Nggiri, Adutode, Nalle, Foeh,
Pah, Datok, Koen, Kain, Kai, Mone dan Salu;
4)
Nggaupandi
terdiri dari marga Adu, Pandi, Ndolu, Sabah, Nalle, Boru, La’e, Musu, Moi,
Kiki, Foeh, Bessi, Sa, Henuk dan Mesah;
5)
Tolaumbuk
terdiri dari marga Merukh, Koamesah, Nalle, Manafe, Mesah, Adu, Adu Mesah,
Ayub, Helong, Dama, Ndaong, Siok, Haning, Suy, Bulan, Ndun, Pandie, Nggeon,
Nalema, Ressie, Manu, Mooy, Foeh, Fanggi, Maa, Suidano, Salu, Nggadas, Pah,
Soru, Nassa, Saba, Helo dan Modok;
6)
Moeloek
terdiri dari marga Abraham, Benyamin, Mateos, Daniel, Mesah, Manafe, Lusi,
Boru, Foeh, Ndun, Tode, Fora, Modok, Edon, Matasina, Kondok, Lolo dan Sabah;
7)
Kanaketu
terdiri dari marga Merukh, Langga, Ndolu, Nalle, Kiki, Nikodemus, Adu, Manafe,
Manu, Engge, Wenyi, Anin, Rondo, Bela, Mesah, Dale, Ndun, Resi dan Mooy;
8)
Su’a
terdiri dari marga Benggu, Tandu, Ndaong, Mesah, Adu, Nabe, Misah dan Langga;
9)
Le’e
terdiri dari marga Foeh, Day, Henuk, Naru, Mbado, Langga, Rasa, Tallo, Adu,
Pandi, Modok, Nale, Ba’ik, Tode dan Mooy;
10) Musuhu terdiri dari marga Mooy, Foeh,
Dami, Adu, Feoh, Da’ok, Nalle, Ndun, Gabriel, Mbatu, Timu, Sebi, Ba’iadu,
Ba’ik, Henuk, Lay, Ndolu, Haiain dan Jermias;
11) Kolek terdiri dari marga Nafi, Adu,
Meru, Pao, Sa’u, Langga, Landa, Saleh dan Lunggi;
12) Sandi terdiri dari marga Foekh, Foeh,
Tode, Suy, Tulle, Kiki, Ndun, Manu, Ndana, Saleh, Tali dan Tola;
13) Kona terdiri dari marga Naramesah,
Nalle, Haning, Sae, Nassa dan Adu.
Rumpun Sabarai kemudian
dibagi menjadi rumpun leo inak ‘suku
besar’ dan leo anak ‘suku kecil’.
Yang termasuk dalam leo inak adalah
Mburala’e, Henula’e, Sabala’e, Nggaupandi, Tolaumbuk, Meoleok, Kolek, dan
Sandi. Sedangkan yang termasuk dalam leo
anak adalah Su’a, Le’a, Musuhu, Kona dan Kanaketu.
b. Taratu
1)
Moiumbuk
(Fettor I) terdiri dari marga Mbatemoy, Mbatu, Mooy, Litik, Manafe, Mbatumoy,
Minamoy, Henuk, Modok, Nalle, Tine, Tafuli, Fora, Ngge’o, Seli, Mesah, Ndun dan
Napa;
2)
Todefeoh
(Fetor II) terdiri dari marga Haning, Dami, Mesah, Rondo, Pandie, Mooy, Tulle,
Loe dan Adu;
3)
Nalefeoh
terdiri dari marga Pah, Manu, Lani, Ndun, Baba, Jacob, Solofoeh, Mesah, Adu,
Ngge’o, Fatu, Balu dan Lilo;
4)
Mesafeoh
terdiri dari marga Boru, Adu, Mesah, Mesakh, Adu Mesah, Ndolu, Ngge’o, Tulle,
Sanda, Moi, Ndun, Demang, Nalle, Ndaong, Henuk, Detahenu, Felipus dan Haning;
5)
Ndanafeoh
terdiri dari marga Bessie, Nalley, Haning, Nalle, Hangge, Mesah, Fora, Mberu,
Mboru, Adu, Dale, Mba’u, Resi, Foeh, Ba’ik dan Boru;
6)
Feosoru
terdiri dari marga Mesah, Mooy, Meruk, Foeh, Lani, Tode, Moynafi, Ngge’o, Suy
Nggiri, Modok, Koamesah, Adu dan Sabah;
7)
Manedato
terdiri dari marga Nggebu, Oktavianus, Frans, Tode, Bessie, Adu, Lani, Nalle,
Hanefoeh, Foeh, Nale, Ndolu, Haning, Todesole, Mbori, Hangge, Manu, Nale Na’u,
Nale Adu, Nale Modo, Nalley, Nale Bura, Nale Pandi, Nale Ndolu, Lay, Adu
Haning, Henuk, Anin, Lolo, Neolaka, Saku, Nope, Hane, Lusihani, Dale dan Pah;
8)
Langgalodo
terdiri dari marga Ndun, Adu, Dano, Lusi, Henuk, Helo, Moy, Ndolu dan
Langgalodo;
9)
Bibimane
terdiri dari marga Musuresi, Langga Messakh, Mesah, Musu, Resi, Boru, Ba’ik,
Rebo, Lusi, Bone, Meruk, Benggu, Ndoluana, Kiki, Foeh, Mooy, Dale, Nalle, Suy,
Kai, Sembe, Ndun, Pah, Henuk, Koefe, Manafe, Sale, Rani, Narang dan Moyhenu;
10) Soroumbuk terdiri dari marga Manafe,
Adu, Nggeon, Rani, Sama, Adu, Hili, Foeh dan Rebo;
11) Mokaleok yang meliputi marga Mesah,
Adu, Ndolu, Ndun, Tode, Thomas, Mooy, Bayk, Pandi, Lay, Nggoe, Lusi, Langga,
Foeh, Haning, Henuk, Meruk, Nabuasa dan Timu;
12) Kekadulu terdiri dari marga Boru, Adu,
Manu, Boakh, Mesah, Nalle, Pah, Longgo, Udak, Liu, Soru, Manafe, Ngge, Saku,
Foeh, Doro, Resi, Tulle, Sakh, Lenggu, Dami, Ndolu, Sau, Haning, Mbuik, Nggeo,
Langga, Narang, Lay, Pandi, Kijo, Ndun dan Mooy.
Selain ke-25 suku
di atas, terdapat sebuah suku asli Thie yang tidak masuk dalam suku Sabarai dan
Taratu yaitu Suku Landu. Suku ini hanya memiliki beberapa keluarga batih yang
tersisa yakni marga Ndun, Langga, Foeh dan Mooy.
17. Oenale
Oenale terdiri
dari dua rumpun
yaitu rumpun leo Naek (rumpun suku besar)
dan rumpun leo Anak (rumpun suku kecil)
A.
LEO
NAE
1)
Nafitein
(Raja)
a)
Lenggu
Teik: Lenggu
b)
Nggiri
Teik: Giri
c)
Ngada
Teik: Nggadas
d)
Mboro
Teik: Nggadas
e)
Data
Teik: Dethan
2)
Mba’e
a)
Mba’e
Nalle: Nalle
b)
Mba’e
Feoh: Feoh
c)
Mba’e
Mbatu: Mbatu
d)
Mba’e
Ala: Ala
e)
Mba’e
Nggi: Nggi
f)
Mba’e
Alnabe: Alnabe, Nabe
3)
Tarnahi
Di
a)
Sine
Teik: Sine
b)
Pandi
Teik: Pandi
c)
Mbeo
Teik: Mbeo
d)
Mesa
Teik: Mesa
e)
Seli
Teik: Seli
4)
Nggelan
(Daelanggak): Nggelan, Lodo
B.
LEO
ANAK
1)
Ro’a
Mbura: Mbura
2)
Ro’a
Tupa: Tupa
3)
Ro’a
Roubela: Loubela
4)
Ro’a
Boboi: Boboy
5)
Alit:
Rondo, Pasole
6)
HanoE:
Haninuna
7)
Mandale:
Lifu
8)
P’aDale:
Nggainiu, Mabala, Nea
9)
Nia:
Nia
Catatan
1.
Delha
dan Oenale adalah dua kelompok yang tadinya merupakan kelompok yang berlokasi
di Oenale. Sebagian masyarakat Oenale tersebar di Delha lalu membentuk
masyarakat Delha.
2.
Di
samping Mane Leo ada pula Mane Leo seksi yaitu kepala suku kecil atau Mane Leo
Anak = manenggik, kecuali suku Nggelan
3.
Pembatasan
jodoh meliputi ruang lingkup satu klen, sampai kini masih ketat, kecuali
beberapa pelanggaran kecil-kecilan (Soh dan Indrayana, 2008: 66-68).
18. DELHA
Susunan leo yang
terdapat di Delha adalah seba-gai berikut:
1.
Mba’e
yang terdiri dari lima seksi yang masing-masing mempunyai kepala seksi suku
atau mane nggik:
a)
Mbate,
Sadefeoh: (manek) Ndun, Lape, dan Lani.
b)
Mba’e-Mbate
Mesafeoh: Mbate, Sede, Resi, dan Feoh
c)
Mba’e
Tasi Mesafeoh: Tufu, Risi, dan dan Mbatu
d)
Mba’e
Kai Feoh: Feoh dan Kay
2.
Tarhani:
Fua, Mesah, Sine, Mboro, Nggadas, Lenggu, Nggiri, Lai, Meda, Lani, Seli, Bunda,
dan Setha
3.
Leoanak:
Balu, Lape, Loule, Kay, Manafe, Sely, Yohanis, dan Rondo
4.
Ombak
Lua Nae: Loa, Lutu, dan Kae (Soh dan Indrayana, 2008:66).
*************
Bab 8
Bahasa Nusak
|
A.
Pendahuluan
Bahasa Rote
merupakan salah satu bahasa Aus-tronesia
yang termasuk dalam rumpun bahasa Ambon Timor. Dalam penuturannya, bahasa Rote
digunakan di pulau Rote dan beberapa tempat di pulau Timor yang merupakan
tempat pemukiman orang Rote yakni Kota Kupang, Tarus, Oesapa, Babau, Oesao, Nun-kurus, Pariti, Sulamu,
Camplong, Soe, Tuakau, Naus, Naikliu, Oepoli, Kefa, Atapupu, dan Lifao di Timor
Lester (Fox dalam Ingguoe, 2015:4).
Bahasa Rote
merupakan bahasa variatif yang ter-diri
dari dialek-dialek. Dalam hubungannya dengan nusak-nusak di Rote, bahasa Rote dibagi dalam beberapa dialek yang
pembagiannya disesuaikan dengan nusak-nusak
di pulau ini. Berdasarkan faktor sejarahnya, bahasa Rote di setiap nusak telah menghasilkan berbagai
keragaman dalam hal situasi linguistik yaitu bahwa 1) masing-masing nusak di Rote menyatakan bahwa memiliki
dialek bahasa Rote sendiri. Meskipun pernyataan ini melebih-lebihkan keragaman
linguistik pulau itu, tetapi memang ada variasi dialek yang amat berdekatan; 2)
orang Rote memiliki bahasa ritual yang memerlukan suatu penyu-sunan frase puitis yang
paralel dari semua ujaran dan dipergunakan untuk situasi-situasi interaksi
formal. Sampai pada batas-batas tertentu, bahas ritual ini bertindak sebagai
faktor pemersatu yang mengatasi beberapa kecenderungan ke arah diferensiasi
dialek; 3) orang Rote mempergunakan dan mengenali tiga ragam bahasa Melayu yang
berbeda-beda yaitu:
a.
Bahasa
Melayu tinggi seperti yang dipergunakan untuk menerjemahkan Kitab Injil pada
abad ke-sembilan
belas;
b.
Bahasa
Indonesia baku yang kini diajarkan di se-kolah
dan dipergunakan dalam berurusan dengan pemerintah; dan
c.
Bahasa
Melayu sehari-hari yang dikenal sebagai Bahasa
Kupang yang telah berkembang di Kupang sejak kota itu didirikan pada abad
ketujuh belas (Fox, 1986: 10-12).
Bahasa Rote
sendiri mempunyai dua ragam yang digunakan dalam kehidupan sosial masyarakat
yaitu:
1.
Bahasa
Rote yang digunakan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Ragam ini secara
potensial dapat dianggap sebagai bahasa Rote baku yang penuturannya dilakukan
secara non-formal.
2.
Bahasa
Rote yang digunakan dalam upacara-upacara adat. Biasanya ragam ini ditemukan
dalam acara-acara adat masyarakat dan atau dalam situasi-situasi formal dan
dianggap sebagai bahasa Rote tidak baku. Dalam penuturannya, raga mini bersifat
puitis dan mengandung sistem paralelisme.
B. Sejarah
Penulisan Bahasa Rote
Bahasa Rote
yang dikenal oleh masyarakat sebe-lum
masa penjajahan Belanda adalah Bahasa Rote Lisan. Artinya bahasa Rote hanya
dapat dituturkan secara turun-temurun dan belum ditulis. Penuturan-nya terdapat di dalam
cerita-cerita rakyat, syair-syair dan penuturan lainnya dalam acara-acara adat.
Oleh karena itu, pada awal abad ke-17 yaitu masa pen-jajahan Belanda di Rote,
muncullah Bahasa Rote tertulis. Sejarah penulisan bahasa Rote oleh Belanda dan
beberapa masyarakat pribumi telah dimuat dalam jurnal Belanda yaitu Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde.
Pada umumnya, bahasa Rote telah ditulis dalam terjemahan bahasa Belanda dan
bebe-rapa
artikel yang masih dijelaskan dalam bahasa Melayu. Berikut ini dirincikan
sejarah penulisan bahasa Rote yang diawali sejak abad ke-17 adalah sebagai
berikut:
a)
G.
Heijmering; pada tahun 1842 menulis tentang adat-istiadat orang Rote yang
berjudul Zeden en Gewoonten op het Eiland
Roti yang dimuat dalam Tijdschrift
voor Nederlandsch-Indie Vol. 5:531-549; 623-639; Vol. 6:353-367. Dalam
tulisan ini, bahasa Rote digambarkan dalam beberapa ba-hasa ritual serta dalam
artikel lainnya menjelas-kan
tentang perbedaan dialek yang digunakan di pulau Rote.
b)
D.P.
Manafe; tahun 1889 menulis tentang variasi dialek bahasa nusak-nusak di Rote dengan judul Akan Bahasa Roti yang terdapat di dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 38:634-648. Dalam
artikel ini, Manafe menjelas-kan
tentang variasi dialek yang digunakan dalam bahasa Rote.
c)
H.
Kern; tahun 1890 menulis daftar kosa kata dalam bahasa Rote-Melayu dengan judul
Rotti-neesche-Meleische
Woordelijst dalam
jurnal Bij-dragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 39:1-26. Tahun 1893, Kern kembali
menulis artikel yang berjudul Nederlandsch-Rottineesche
Samenspraken dalam Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 42:71-102. Dalam artikel-artikel ini, Kern
membuat jenis leksikon ba-hasa
Rote terjemahan bahasa Belanda serta daftar kalimat dan idiom yang juga
diterjemahkan dalam bahasa Belanda.
d)
J.
Fanggidaej; Tahun 1892 menulis tata bahasa Rote yang masih dalam terjemahan
bahasa Be-landa
dengan judul Rottineesche Spraakkunst yang
dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde Vol. 41:554-571, dan selanjutnya dilengkapi oleh
Jonker dengan judul yang sama dan diterbitkan tahun 1915 oleh E.J. Brill,
Leiden - Belanda. Tahun 1894, Fanggidaej menulis artikel dengan judul Beberapa Tjeritera Peroempamaan Tersalin
Kepada Bahasa Rotti Yang Dinamai Tutui Nakasasamak-ala dan dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
Vol. 44:450-460; 662-771. Tahun 1895, Fanggidaej menerjemahkan Injil Lukas
dalam bahasa Rote dan diterbitkan di Belanda dengan judul Het Evangelie van Lucas Vertaald in Het Rottinees-che.
e)
J.C.G.
Jonker; Tahun 1905 menulis kumpulan cerita dongeng dalam bahasa Rote dengan
judul Rottineesche Verhalen yang
dimuat dalam Bijdra-gen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde Vol.
58:369-464. Tahun 1906, Jonker menulis artikel dengan judul Over de Eind-Medeklinkers in het Rottineesche
en Timoreesch ‘Konsonan penutup dalam bahasa Rote dan bahasa Timor’ yang
dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde Vol. 59:263-343. Tahun 1908, Jonker menerbitkan Kamus
Rote-Belanda oleh E.J. Brill di Belanda dengan judul Rottineesche-Hollandsch Woordenboek. Hasil karya Jonker lainnya
adalah Rottineesche Teksten en Vertaling diterbitkan
oleh E.J. Brill tahun 1911; Bijdrage tot
de Kennis de Rottineesche Tongvalen ‘Sum-bangan Pengenalan Bahasa Rote’ dalam Bijdra-gen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 68:521-622 tahun 1913; dan Rottineesche Spraakkunst ‘Tata Bahasa
Rote’ tahun 1915.
f)
James
J. Fox; tahun 1971 menulis paralelisme dalam bahasa ritual orang Rote yang
berjudul Semantic Parallelism in Rotinese
Ritual Language yang dimuat dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 127:215-255; tahun 1986 diterbitkan
buku Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan
Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti yang terdiri dari kumpulan beberapa
makalah Fox yaitu 1) Standing in time and
place; 2) Retelling the past. The
Communicative Structure of a Rotinese Historical Narrative; 3) Semantic Parallelism in Rotinese Ritual
Language; 4) Our Ancestors Spoke in
Pairs: Rotinese Views of Language, Dialect, and Code; 5) On Binary Categories and Primary Symbols:
Some Rotinese Perspectives; dan 6) Roman
Jakobson and the Comparative Study of Parallelism yang diter-jemahkan oleh Sapardi Djoko
Damono dan Ratna Sapatari dan diterbitkan oleh Djambatan Jakarta. Hasil karya
Fox yang lain adalah Rotinese Ritual Langauge:
Texts and Translation (manuskrip tahun 1972); dan Dictionary of Rotinese Formal Dyadic Language (manuskrip tahun
1972).
g)
Mboeik
dkk; tahun 1985 meneliti tentang bahasa ritual dan sastra lisan dalam bahasa
Rote dengan judul Sastra Lisan Rote dalam
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur.
h)
A.M.
Fanggidae, dkk; tahun 1998 meneliti bahasa Rote dengan judul Morfologi Bahasa Rote dalam Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur.
i)
T.Y.
Kumanireng, dkk; tahun 2000 melakukan penelitian bahasa Rote dengan judul Sintaksis Bahasa Rote dalam Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur.
j)
Jermi
I. Balukh; tahun 2007 menulis buku Pela-jaran Bahasa Rote Untuk SD Kelas
3 yang
diterbitkan oleh UPTD Bahasa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Selanjutnya melalui program UPTD Bahasa NTT kembali melakukan
penelitian Pemetaan Bahasa Daerah di
Kabupaten Rote-Ndao tahun 2012. Selain itu terdapat beberapa artikel yang
dimuat dalam jurnal-jurnal yaitu Konstruksi
nana—k da-lam
Bahasa Rote: Antara Pasif dan Antikausatif dalam Linguistika Vol. 16 tahun 2008; Aspectual
Properties in Rotinese yaitu makalah yang dipresentasikan pada Workshop on Tense, As-pect, Mood, and
Evidentiality of Langauges in Indonesia di Tokyo, Jepang tahun 2011.
k)
Paul
A. Haning; tahun 2010 menulis Bahasa dan
Sastra Rote yang diterbitkan oleh CV. Kairos Kupang.
l)
Leksi
S. Y. Ingguoe; tahun 2015 menulis
tentang Tata Bahasa Rote yang diterbitkan
oleh Deepub-lish
(Grup Penerbitan CV. Budi Utama) Yogya-karta.
Selain beberapa
penulis di atas, bahasa Rote sudah banyak ditulis dan diteliti baik oleh para
maha-siswa di
berbagai sekolah tinggi dan universitas maupun oleh para dosen yang hasil penelitiannya
dipublikasi dalam tulisan-tulisan ilmiah dan jurnal-jurnal lokal.
C.
Dialek
Bahasa Rote
merupakan bahasa variatif yang terdiri dari berbagai ragam dan dialek yang
tersebar di setiap nusak di Rote.
Dalam hal pembagian dialek, setiap nusak menganggap
bahwa memiliki bahasanya sendiri namun secara umum variasi ini dalam nusak sangat berdekatan bahkan terdapat nusak yang sama dalam menggunakan bahasa
dan ragamnya. Oleh karena itu, laporan de Clerq tanggal 20 November 1873 yang
berjudul Alerlei Het Einland Roti
membagi bahasa Rote dalam 6 (enam) dialek yang mengga-bungkan beberapa nusak dalam sebuah dialek yaitu 1) Thie,
Loleh, dan Ba’a’ 2) Termanu, Keka, dan Talae; 3) Korbaffo; 4) Landu, Ringgou,
Oepao, Bilba, Diu, Lelenuk, dan Bokai; 5) Delha dan Oenale; 6) Dengka dan
Lelain. Sedangkan dalam artikel D.P. Manafe tahun 1889 yang berjudul Akan Bahasa Roti mengelompokan bahasa
Rote dalam 9 (Sembilan) dialek yaitu:
a.
Ringgou,
Oepao, dan Landu;
b.
Bilba,
Diu, dan Lelenuk;
c.
Korbaffo;
d.
Termanu,
Keka, dan Talae;
e.
Bokai;
f.
Ba’a
dan Loleh;
g.
Thie;
h.
Dengka
dan Lelain;
i.
Delha
dan Oenale;
Dalam
penelitian-penelitian bahasa Rote pada abad ke-19 dan ke-20 digunakan
penggolongan dialek oleh Manafe karena berdasarkan segi linguistik bisa
diterima sebagai bagian dari variasi bahasa Rote. Penelitian bahasa Rote
selanjutnya oleh Fanggidae dkk dalam Morfologi
Bahasa Rote tahun 1998 mela-kukan
penggolongan dialek berdasarkan penggo-longan
kecamatan yaitu 1) dialek Rote Timur (Keca-matan
Rote Timur dan Pantai Baru), 2) dialek Rote Tengah (Kecamatan Rote Tengah, Rote
Selatan dan Lobalain), 3) dialek Rote Barat Laut, dan 4) dialek Rote Barat
Daya.
Penggolongan
dialek bahasa Rote akhirnya diteliti yaitu oleh Jermi Balukh tahun 2012 dalam Pemetaan Bahasa Daerah di Kabupaten Rote
Ndao yang menyatakan bahwa bahasa Rote terdiri dari 5 (lima) dialek yaitu
sebagai berikut:
1)
Delha,
Oenale, Dengka dan Lelain
2)
Thie,
Ba’a dan Loleh
3)
Termanu,
Keka dan Talae
4)
Korbaffo,
Bokai, Lelenuk, Diu, dan Bilba
5)
Landu,
Oepao dan Ringgou
Penggolongan
dialek oleh Balukh walaupun sudah merupakan hal yang mendekati sebuah kebe-naran, namun berdasarkan
kenyataan dalam penggu-naan
bahasa yang digunakan dalam setiap nusak,
terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam setiap dialek kecuali dialek
Termanu, Keka dan Talae. Sebagai contoh, dialek Delha, Oenale, Dengka dan
Lelain dikelompokan dalam sebuah dialek namun terdapat perbedaan secara
fonologis yaitu Delha dan Oenale secara umum menggunakan bunyi [r] sedangkan
Dengka dan Oenale menggunakan bunyi [l]. Atas dasar perbedaan ini maka Manafe
menggo-longannya
menjadi 2 (dua) dialek yaitu dialek Delha-Oenale dan Dengka-Lelain. Selanjutnya
dialek Thie-Ba’a-Loleh juga terdapat perbedaan fonologis yang sama yaitu Thie
menggunakan bunyi [r] dan Ba’a-Loleh menggunakan bunyi [l] sehingga Manafe
memisahkannya menjadi dialek Thie dan dialek Loleh-Ba’a.
Secara umum,
penggolongan ini dapat diterima sebagai klasifikasi dialek bahasa Rote yang
mungkin akurat karena dalam penelitian ini sudah melalui perhitungan prinsip
dialektomentri. Selain itu, Balukh juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan
isolek antara nusak yang satu dengan nusak yang lain sehingga bahasa Rote
memiliki 18 (delapan belas) isolek sesuai dengan jumlah nusak yang ada di Rote.
D.
Variasi Dialek
Dalam peta
semantik, Fox
memetakan data bahasa yang digunakan oleh Rote Timur dan Rote Barat;
Rote Timur Rote Barat Arti
daehena hataholi orang
luak leak gua
nafa li ombak
pela longge menari
lain ata langit
-lo -nggou memanggil
pu oku menjerit
bali seok campur
tenga
nggama ambil
pada bata melarang
(Fox,
1986: 184-186)
Dalam analisis
perubahan bunyi dalam bahasa Rote, Ingguoe (2015:29-33) menjelaskan bahwa terdapat
beberapa variasi bunyi yang dimiliki dalam bahasa Rote yang menunjukkan
diferensi sebuah dialek yaitu sebagai berikut:
a.
Variasi
bunyi [r] dan [l]. Bunyi [r] digunakan di Thie, Oenale, Delha, Ringgou, Oepao,
dan Landu sedangkan bunyi [l] digunakan di Dengka, Lelain, Ba’a, Loleh,
Korbaffo, Bokai, Bilba, Diu, Lelenuk, Termanu, Keka dan Talae. Misalnya dalah
contoh kata dero dan delo ‘jeruk’, hara dan hala ‘suara’, rose dan lose ‘hapus’, reke dan leke ‘hitung’, sira dan sila ‘mereka’.
b.
Variasi
bunyi [d], [l], dan [r]. Bunyi [d] digunakan di Ba’a, Loleh, Termanu, Keka,
Talae, Thie, dan Korbaffo; bunyi [l] digunakan di Bokai, Bilba, Diu, Lelenuk,
Dengka, dan Lelain; bunyi [r] digunakan di Ringgou, Oepao, Landu, Oenale, dan
Delha. Misalnya dulu/lulu/rulu
‘timur’, dua/lua/rua ‘dua’, nade/nala/nara ‘nama’, dan ledo/lelo/relo ‘mata-hari’.
c.
Variasi
bunyi [r], [l], [n], dan [nd]. Bunyi [r] digunakan di Ringgou, Landu, Oepao;
bunyi [l] digunakan di Bilba, Diu, Bokai, Lelenuk; bunyi [n] digunakan di
Korbaffo, Termanu, Keka, Talae; dan bunyi [nd] digunakan di Loleh, Ba’a, Thie,
Dengka, Oenale. Misalnya bara, bala, bana
dan banda ‘hewan’; fora, fola, fona dan fonda ‘rampas’; dan faruk, faluk, fanuk dan fanduk ‘musim kemarau’.
d.
Variasi
bunyi [nd], [l], dan [r]. bunyi [nd] digunakan di Ba’a, Loleh, Thie, Termanu,
Keka, Talae, Dengka, Lelain, Delha dan Oenale; bunyi [l] digunakan di Bilba,
Diu, Lelenuk dan Bokai; serta bunyi [r] digunakan di Ringgou, Landu dan Oepao.
Misalnya ndefa/lefa/refa ‘rebah’; nduk/ lu’/ru’ ‘bintang’; dan nde (ndia)/le (lia)/re (ria) ‘di’.
e.
Variasi
bunyi [ngg], [ng], dan [k]. Bunyi [ngg] digunakan di Loleh, Ba’a, Thie, Dengka,
Oenale, Lelain dan Delha; bunyi [ng] digunakan di Termanu, Keka, Talae, Bokai,
Korbaffo, Bilba, Diu dan Lelenuk; sedangkan bunyi [k] digunakan di Ringgou,
Landu dan Oepao. Misalnya sangga/ sanga/saka
‘mencari’; hengge/henge/ heke
‘ikat’; dan sunggu/sungu/suku ‘tidur’
f.
Variasi
bunyi [b] dan [f]. Bunyi [b] digunakan di Loleh, Thie, Ba’a, Rote Tengah dan
timur sedang-kan bunyi [f] digunakan di Dengka, Lelain, Delha dan Oenale.
Misalnya bulu/fulu ‘bulu’ bafi/fafi ‘babi’; bulak/fulan ‘bulan’; dan bini/fini
‘bibit’.
g.
Variasi
bunyi [mb], [p], dan [mp]. Bunyi [mb] digunakan di Loleh, Thie, Dengka dan
Oenale; bunyi [p] umumnya digunakan di Rote bagian tengah dan timur; sedangkan
bunyi [mp] diguna-kan di Ba’a. Misalnya mbunuk/punuk/
mpunuk ‘sabut kepala’; bumbu/bupu/bumpu
‘tawon’; kamba/kapa/kampa ‘kerbau’;
dan mba/pa/ mpa ‘daging’.
h.
Variasi
bunyi [k] dan [‘]. Bunyi [k] digunakan di sebagian besar nusak di Rote sedangkan bunyi [‘] digunakan di Ringgou, Oepao,
Landu, Oenale, Delha dan Dengka. Misalnya kada
dan ‘ada ‘hanya’; kala dan ‘ala ‘kalah’; taka dan ta’a ‘kapak’; serta suik dan sui’ ‘selam’.
*************
Bab 9
Agama Nusak
|
A. Agama Suku Orang Rote
Agama yang
dianut oleh orang
Rote jaman dahulu sebelum masuknya agama Kristen adalah halaik
yaitu kepercayaan terhadap kekuatan gaib, roh-roh halus serta roh-roh nenek
moyang. Sebutan bagi orang-orang yang menganut agama halaik
adalah dinitiu (Jonker, 1908:89).
Agama suku halaik ini merupakan
kepercayaan animisme-dinamisme. Setiap suku
terdapat uma nitu sebagai tempat pemujaan kepada para
dewa. Mereka percaya bahwa
segala sesuatu yang ada berasal dari illah yang mereka sembah. Dan untuk
meminta sesuatu dari allah yang mereka sembah maka dilakukan berbagai ritual dengan mempersembahkan ternak berupa kerbau, ayam dan babi sebagai korban.
Dalam kehidupan dinitiu
jaman dahulu, mereka mempercayaai orang-orang tertentu yang dianggap memiliki
kemampuan gaib yang dikenal dengan manasonggo untuk membaca
mantera dan doa-doa
dalam kegiatan halaik. Misalnya dalam
pembukaan ladang baru, atau kelahiran baru dalam satu keluarga, manasonggo dipanggil
untuk membacakan doa-doa atau mantera-matera sebagai awal agar ladang yang dikerjakan dapat
memberi
hasil
yang baik demikian juga dengan anak yang baru lahir dapat sehat dan terhindar
dari gangguan roh-roh jahat.
Pemujaan
terhadap dewa dalam agama suku halaik sangat
rutin dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dewa yang biasa dikenal dalam agama ini adalah Dewa
Nutu Bek (dewa untuk pertanian), dewa Nade Dio (dewa pemberi kemak-muran) dan dewa Timu Dulu (dewa yang membawa angin pada musim semi
yang membuat pohon lontar mengeluarkan
mayangnya).
Konsep wujud tertinggi dalam agama halaik disebut
Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu wujud tertinggi. Wujud tertinggi
terdapat sebuah cerita asal Loleh yaitu
Telukaman Lailona dan Hakaman Nepedae. Telukaman Lailona dipercaya sebagai
wujud tertinggi. Dalam pemaknaannya, Telu Ama atau tiga bapak yang disebut dengan Manaduk sebagai pencipta, Manafe sebagai pengasih
dan Manasula Uak (penentu nasib).
B. Sistem Upacara Agama Halaik
Ada pun sistem upacara yang dikenal dalam agama suku halaik adalah sebagai berikut:
1) Ritual Kelahiran
Sebelum kelahiran ada ritual yang dilakukan yaitu pada saat
janin berumur 7 bulan. Ritual ini dinamakan Nggenggeso
tei/Nemba tei. Ritual ini dilakukan pada saat janin berumur 7 bulan karena
orang tua menyadari bahwa pada umur 7 bulan janin ini sudah lengkap anggota
tubuhnya. Dan ritual ini diadakan pada saat bulan purnama dan hanya dilakukan untuk kehamilan anak
pertama/anak sulung. Ritual ini dilakukan di rumah orang tua istri. Suami-istri
wajib membawa seekor domba jantan yang belum dikebiri dan orang tua istri
menyiapkan seekor babi. Tujuan dilakukannya ritual ini yaitu memohon
perlindungan Tuhan terhadap ibu dan janin. Dalam ritual kelahiran ini terdapat beberapa tahapan ritual yaitu: ritual
saat persalinan/bonggi, ritual
mengeluarkan plasenta, ritual
pemberian nama (babae a’ana), ritual fua huni atau penyimpanan
plasenta, ritual
bayi yang berselaput (a’ana masolo), ritual netola nala (pemberian nama pada bayi), ritual tunu dala
(panggang) dan ritual
fila a’ana (menyapih anak).
2) Ritual Adat Perkawinan
Nama upacara adat perkawinan bagi orang
Rote adalah sasaok atau hada sasaok (adat perkawinan). Ritual
adat terkait perkawainan dalam masyarakat diawali dengan perkenalan antara
orang tua para mempelai. Biasanya dalam proses ini keluarga perempuan menentukan
besaran mahar yang harus di bawa keluarga mempelai pria dalam proses
peminangan. Ritual
yang berhubungan dengan upacara adat perkawinan adalah:
a. Songgo
lais
Ritual ini dilakukan ketika ada
perkawinan. Sebelum memindahkan seorang perempuan (istri) ke rumah seorang
laki-laki (suami) maka ritual ini harus dilaksanakan, ritual ini dikenal dengan
istilah e’o feto ma lali te’o
(memindahkan saudari perempuan dan atau te’o).
b. Ndolo
te-tafa
Dua orang bertugas ndolo te-tafa (te artinya tombak dan tafa artinya parang). Kedua utusan
tersebut datang dengan membawa te dan
tafa atau bisa juga diganti dengan uang 1 sen dan ½ sen. Te senilai 1 sen dan tafa senilai ½ sen. Kalau untuk sekarang
digantikan dengan uang kertas.
3) Ritual Adat Kematian
Dalam ritual kematian, terdapat beberapa tahapan yaitu lo’o kopak artinya potong peti atau pembuatan peti jenazah, nadiu
oe artinya memandikan mayat, kali bolok
artinya menggali lubang kubur, natoi atau menguburkan
jenazah, kota latek
(menyusun batu pada kubur), nggafu neak atau menggulung
tikar, songo aok
(bersihkan diri si istri dari pengaruh suami yang meninggal atau sebaliknya). Terdapat beberapa ritual yang berhubungan dengan ritual
kematian adalah sebagai berikut:
a. Songgo
ao falu
Tujuan dilakukannya ritual ini adalah agar suami atau istri yang
ditinggalkan tidak mengalami penderitaan berupa sakit dan bahkan mereka percaya
bahwa kalau tidak mengadakan ritual ini maka suami/istri yang telah meninggal
tidak akan berpisah dengan suami/istri yang ia tinggalkan, sehingga walupun
tubuhnya tidak ada lagi namun rohnya tidak berpisah dengan suami/istri yang
ditinggalkan.
b. Mole bingga
Ritual ini dilakukan dengan tujuan
supaya keluarga yang ditinggalkan tidak mengalami sakit penyakit. Ritual ini
masih tetap berlaku sampai sekarang.
4) Ritual Adat Pertanian
Ritual yang
berhubungan dengan pertanian adalah ritual membuka kebun baru
a.
Ritual buka kebun baru; ritual membuka kebun baru dalam
masyarakat Rote Timur disebut Sai Nura.
b.
Ritual hu’a lasi; ritual ini dilakukan sebelum penebangan pohon dan
pembersihan hutan untuk dijadikan kebun/ladang baru.
c.
Ritual ma’asufu afu; ritual ini dilakukan setelah pembersihan hutan untuk
membuka kebun baru.
d.
Ritual menanam benih.
e.
Ritual menjaga/merawat tanaman; sebagai
contoh ritual dalam hal merawat tanaman padi. Dalam hal ini terdapat beberapa
tahap yaitu ritual menegakkan padi yang rebah (ne’e fefela ale) dan ritual mengusir hama ulat padi (songgo
ula).
f.
Ritual yang terkait dengan panen; Dalam
masyarakat Rote Timur disebut Sai Pa Mina.
Selain itu terdapat ritual hauhu yang
dilakukan sebelum panen, yaitu pada saat tanaman mulai berbunga/berbuah dan ritual
jerami padi (fua u’a) yang dilakukan
setelah selesai panen.
g.
Ritual yang terkait dengan ucapan
syukur atas panen yaitu ritual se’se
yang dilakukan setelah panen menunjukkan hasil yang memuaskan.
h.
Ritual yang terkait dengan penyadapan
lontar; Penyadapan lontar pada umumnya terjadi pada bulan September-Nopember,
dan musim ini sering disebut fai fandu.
i.
Ritual membuat tungku masak gula (tamba leta tua)
5) Ritual Ternak Peliharaan
a.
Ritual perlindungan hewan besar (songgo banda sele); ritual ini bertujuan
untuk melindungi ternak piaraan, seperti kerbau, kuda, domba dan kambing.
b.
Ritual memandikan ternak domba (songgo safe bibi); ritual ini bertujuan
untuk meng-hindarkan hewan ternak dari penyakit.
C. Sejarah Masuknya Agama Kristen
Pada
awal abad ke-17, tepatnya pada tahun 1729 ketika Foe Mbura diangkat dan
dilantik menjadi Raja Thie, ia merencanakan dan berupaya
agar rakyatnya dapat hidup sehat,
aman, damai, sentosa, makmur serta dapat mengenal huruf, bisa membaca, menulis,
berhitung dan percaya adanya Tuhan
Allah Tri Tunggal.
Program
yang direncanakan oleh Foe Mbura adalah sangga
ndolu sio ma tungga
lela falu yang arti harafiahnya adalah mencari ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan
serta hikmat.
Atas dasar pemikiran ini maka pada pertengahan tahun 1729, Foe Mbura berupaya membuat sebuah perahu sehingga ia
memberikan tugas kepada seorang bernama Nafi Long untuk membuat sebuah perahu
dengan meniru konstruksi perahu-perahu Makassar yang datang dari Namosain pada
waktu itu. Akhirnya Nafi Long dapat menyelesaikan perahu tersebut. Perahu itu
diberi nama Sangga Ndolu. Nama itu diberikan oleh seorang anak bernama Resi
Boru.
Pada tahun 1730, berangkatlah Foe Mbura bersama 27 wakil dari leo-leo di Thie termasuk Ndi’i Hu’a (Raja Loleh), Tou
Dengga Lilo (Raja
Ba’a) dan Ndara
Naong (Raja
Lelain) serta
Pandi Mbura (saudara Foe Mbura) ke Batavia.[14] Pandi
Mbura tidak melanjutkan perjalanan ke Batavia tetapi singgah di pulau Sabu dan tinggal bersama
saudaranya Nuku Mbura yang sudah lebih dahulu menetap di Sabu.
Konon,
sebelum keberangkatan, diadakan ritual dan dipersembahkan seorang gadis bernama
Pingga Ngga (anak dari Ngga Pandi). Setelah itu rombongan itu berangkat dari
pelabuhan Namo Linok (Oemasik) yang sekarang diubah namanya menjadi pelabuhan
Sangga Ndolu.
Setelah
perjalanan kurang lebih dua bulan, akhir-nya rombongan Foe Mbura tiba di
Batavia dan mendapat pendidikan serta pelatihan selama dua tahun lamanya. Pendidikan
yang diajarkan adalah pendidikan agama Kristen dan ilmu pengetahuan. Terdapat
beberapa orang yang tidak mengikuti pendidikan sehingga dipulangkan yaitu Mina
Mbaru (wakil dari leo Musuhu), Semu
Lolo (wakil dari leo Kanaketu), dan
Foi Soru (wakil dari leo Su’a).
Setelah pendidikan,
terdapat lima orang di antara mereka minta untuk dibaptis menurut agama Kristen
yaitu Foe Mbura dibaptis dengan nama Benyamin Messakh, Mbate Moi dengan nama
Johanis Mooy, Tule Fatu dengan nama Daniel Fatu, Nafi Long dengan nama Nitanel
Lon, dan Resi Boru dengan nama Matias Boru. Sebelum rombongan kembali ke Rote,
Foe Mbura sebagai pemimpin rombongan mendapat sebuah tongkat berkepala emas dan
bertuliskan “Benyamin Messakh Raja Van Thie 1732”.
Pada tahun
1732, rombongan Foe Mbura dengan dua buah perahu kembali ke Rote. Perahu
pertama ditumpangi oleh Mbate Moi sedangkan perahu kedua (Sangga Ndolu)
ditumpangi oleh Foe Mbura. Sesampai di Rote, satu-satunya anak laki-laki Foe
Mbura yaitu Henu Foeh meninggal dunia (Haning, 2013: 17-21).
Foe Mbura
dan rombongannya dari Batavia (Jakarta sekarang) membawa sejumlah Kitab Injil,
Kitab Mazmur dan Buku Nyanyian, Kitab Kidungan, kitab tulis, kertas, pensil,
dan perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu, batu dan besi (Soh dan
Indrayana, 2008:51). Menurut Haning (2013:23) bahwa rombongan Foe Mbura dari
Batavia membawa sebuah lonceng gereja, sebuah Kitab Perjanjian Lama, sebuah
Kitab Perjanjian Baru, sebuah Kitab Nyanyian Mazmur, sebuah buku Nyanyian yang
disebut Mazmur Batavia (karangan H. Hoveker), buku-buku bacaan dan alat tulis.
D. Penyebaran Agama Kristen
Raja Rote yang pertama dibaptis dalam agama Kristen
adalah Mbura Messah (ayah Foe Mbura) dengan nama Yeremias Messakh pada tahun
1726 (Soh dan Indrayana, 2008:50).
Setelah pulang dari Batavia pada tahun 1732, Foe Mbura mendirikan
sekolah pertama di Fiulain pada tahun
1734. Tugas sekolah lebih mengutamakan
membaca, menulis, berhitung dan agama Kristen. Sebagai
raja Kristen, permintaan Benjamin Messakh (Foe Mbura) yang
pertama adalah seorang guru. Guru pertama yang dikirim ke Thie adalah seorang
Kristen dari Kupang yang bernama Johannes Senghadje.
Dalam sumber lain menyatakan bahwa Benjamin Messakh, Johannes Senghadje dan Raja Bilba
rupanya membentuk semacam kerajaan baru. Karena itu, Sanghadje dipecat dan
Messakh
ditahan tetapi kemudian diampuni. Setelah diangkat kembali pada tahun 1735,
Messakh
memperbarui permintaannya dan Belanda segera menunjuk seorang Ambon Kristen,
Hendrik Hendriks sebagai guru sekolah di Thie. Guru tersebut mula-mula didatangkan
dengan tujuan untuk mengajar agama Kristen. Dengan wibawa seorang guru, Thie
merupakan Kerajaan Kristen yang menjadi pusat dari kerajaan-kerajaan sekutu di
bagian selatan tengah pulau Rote. Ketika Thie diserang, Messakh segera menyatakan bahwa rakyatnya yang
beragama Kristen tidak seharusnya ditangkap oleh orang-orang yang tidak
beragama Kristen dari kerajaan-kerajaan lain. Pada waktu putera Ndaomanu
menyerang Kuli dan Loleh atas nama ayahnya, mereka yang tidak tertangkap
melarikan diri dari Thie. Dan pada waktu berada di Thie itulah raja Loleh
meminta ijin untuk dipermandikan sehingga dalam sebuah
surat tertanggal 26 Februari 1740 yang dikeluarkan
oleh Belanda berisi tentang orang Loleh meminta
untuk dibabtis atas nama Kristus. (Fox, 1996:147).
Pada tahun 1743, terdapat sebuah surat yang dikirim oleh
raja Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a) dan Ndara Naong (Raja Lelain) tertanggal 1
Oktober 1743. Dalam surat tersebut kedua raja memohon untuk dipermandikan dan
menerima agama kristen (Fox, 1996:149). Pada tanggal
10 september 1826 Raja Talae dibabtis (Soh dan
Indrayana, 2008:53). Pada tahun 1832, Heijmering berhasil membatis raja Termanu
(Soh dan Indrayana, 2008:54).
Penyebaran agama Kristen di Rote yang dirintis oleh Foe
Mbura dan dibantu oleh Belanda. Le Bruijn merupakan pendeta pertama yang
mengunjungi Pulau Rote setelah masuknya agama Kristen (Fox, 1996:174). Pada
tahun 1828, Le Brujn mengukuhkan J. K. Ter Linden di Thie (Danoheo)
menggantikannya untuk membantu penyebaran agama Kristen di Rote. Pada tahun
1832, Ter Linden meninggal dunia dan digantikan oleh Heijmering yang berhasil
membaptis-kan raja Talae dan membangun beberapa sekolah di Rote.
E.
Perkembangan
Agama Kristen
Perkembangan
agama Kristen setelah masuk tahun 1732 sangat cepat karena selain dibawa oleh
orang pribumi, juga dibantu oleh Belanda. Dalam perkembangannya tahun 1756
tercatat di pulau Rote terdapat 12 sekolah di 12 kerajaan. Masyarakat juga
sangat antusias menerima kehadiran agama kristen di Rote. dalam tahun yang sama
dijelaskan bahwa jemaat yang terbesar adalah Thie dengan jumlah 1.256 jiwa
sedangkan jemaat yang paling kecil adalah di Landu dengan jumlah 54 jiwa
sedangkan tahun 1760 terdapat 1.760 orang Kristen di Landu (Soh dan Indrayana,
2008:53).
Menurut L.
Y. Van Rhijn dalam Soh dan Indrayana
(2008:55) bahwa pada tahun 1857, jumlah penduduk Rote adalah kurang lebih
45.000 jiwa sedangkan yang memeluk agama Kristen hanya 7.000 jiwa sehingga tahun
1860, pekabaran Injil mulai dilakukan lagi di Rote dengan diutusnya seorang
pendeta bernama Jackstein (seorang pendeta buta) sehingga tahun 1871, sekolah
di Rote bertambah yaitu terdapat 18 sekolah pemerintah yang tersebar di setiap
kerajaan dan terdapat pula 16 sekolah desa.
Tahun 1893, Jackstein mendirikan sebuah gereja
yang bertempat di Menggelama, Ba’a. Jackstein kemudian digantikan oleh P. Y.
Pennings pada tahun 1877 namun karena sakit, ia dibawa ke Belanda dan diganti
oleh H. W. Van Malsen sehingga tahun 1882, dilakukan peletakan batu pertama
gereja Mengge-lama dan menjadi gedung gereja yang pertama dibuat dari batu.
Pada tahun
1885, Van Malsen meninggal di Makassar sehingga pada tahun 1890, ditunjuk G. J. H. Le Grand menggantikan Van Malsen. Dalam sejarah
Rote, satu-satunya penginjil yang menetap di Rote adalah G. J. H. Le Grand yang
tinggal dari tahun 1890 sampai 1900. (Fox, 1996:181). Le Grand mencetuskan beberapa
gagasan dalam pem-bangunan jemaat gereja yaitu membuka sekolah minggu (Zondagschool), membentuk perhimpunan
penyanyi atau paduan suara, membuka sekolah akil balig, merencanakan pembukaan
STOVIL di Rote. Le Grand bekerja selama 10 tahun di Rote. ia mem-baptiskan 35
orang setiap tahun.
Secara rinci, para pendeta yang pernah ditempat-kan di
Rote adalah sebagai berikut:
a) Hermanu
Sanders Zijlsma yang bertugas di Rote sekitar tahun 1742 dan tahun 1750-an
pindah dari Rote.
b) A.
Jackstein; merupakan seorang pendeta berke-bangsaan Jerman ditempatkan di Ba’a,
Tutukarlain pada tahun 1860 dan pensiun tahun 1874.
c) P.
Pennings ditempatkan di Ba’a tahun 1875 dan tahun 1880 dipindahkan ke Minahasa.
d) H.
W. Van Malsen, ditempatkan di Rote tahun 1880 dan meninggal dunia tahun 1882.
e) G.
J. H. Le Grand yang ditempatkan tahun 1890 di Ba’a, Menggelama.
f)
Bertolens Kiki; diangkat tahun 1885 dan
ditempat-kan di Ba’a melayani jemaat-jemaat di Ba’a, Lelain, Dengka, Oenale,
Thie dan Loleh.
g) Osias
L. Messakh; diangkat tahun 1897 dan ditem-patkan di Korbaffo. Melayani
jemaat-jemaat di Oepao, Ringgou, Landu, Korbaffo, dan Termanu.
h) Stefanus
Jusuf Merukh, diangkat tanggal 1 April 1898. Ditempatkan di Oelulu (Bilba) dan
melayani jemaat-jemaat di Bilba, Diu, Lelenuk, Bokai, Talae dan Keka.
i)
F. H. Van de Wetering; ditempatkan di
Rote tahun 1920.
j)
F. L.
O. Hasselholf yang dipindahkan dari Kupang ke Rote tahun 1931 untuk melayani
jemaat di Rote dan Sabu.
k) Geerlof Heijmering yang bertugas di
Rote tahun 1833 dan pensiun tahun 1859.
l)
Petrus
Dirk Pello, seorang guru di Babau, Kupang diangkat oleh L. J. Van Rhijn menjadi
pembantu pekabar Injil di Rote tahun 1847.
*************
Daftar Pustaka
|
Adoe, Johanis F. 2013. Rote
Ndao Selayang Pandang. Kupang: Kreasi.
Balukh, Jermi I. 2012. Pemetaan Bahasa Daerah di Kabupaten Rote
Ndao. Kupang: UPT Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata Nusa Tenggara Timur.
De Boer, D.W.N.
1936. Jalannya Pemerintahan Rote di Bawah Kekuasaan Belanda sampai
Didirikan-nya Pemerintahan daerah Rote di Bawah suatu Pemerintahan dengan Satu
Kepala Daerah dan Ditetapkannya Sistem Daerah Tata Praja. Diterjemahkan oleh
Piet Y. Francis tahun 2004. Dokumentasi
Perpustakaan Daerah Nusa Teng-gara Timur.
De Boer, D.W.N.
1925. De gorzaken van het verzet-derhalve de bezwaren van hoofden en bevolking
– tegen de hui dige bestuur sorganisa tie op Roti. Diterjemahkan oleh Ben
Parera tahun 2005. Do-kumentasi
Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Timur.
De Clerq. 1878.
Serba Serbi Mengenai Pulau Rote. Diterjemahkan oleh Piet Y. Francis tahun 2004.
Dokumentasi Perpustakaan Daerah Nusa
Teng-gara Timur.
Dethan, J.A. 1996.
Silsilah Marga Dethan. Surabaya: Sebuah Laporan yang tidak Dipublikasikan.
Fox, James J.
1971. A. Rotinese Dynastic Genealogy: Structure and Event. Dalam T.O. Beidelman
(ed), The Translation of Culture: essays
to E.E. Evans-Pritchard: 37-77. London: Tavistock.
__________. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan
Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.
__________. 1996. Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam
Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sabu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
_________. 1997. Genealogy
and Topogeny: To-wards and Ethnography of Rotinese Ritual Place Names in The Poetic Power of Place pp. 89-100.Canberra: ANU E Press.
Gyanto. 1958. Pulau Roti: Pagar Selatan Indonesia. Bandung: Ganaco N. V.
Haning, Paul A.
2009. Bahasa dan Sastra Rote. Kupang:
CV. Kairos.
_________. 2013. Ti Mau: Leluhur Orang Thie. Kupang: CV.
Guntur.
_________. 2013. Foe Mbura: Raja, Pendidik, dan Penginjil. Kupang:
CV. Guntur Berisi Pustaka.
Heijmering, G.
1843. De Heidensche Godsdienst der Rottineezen. Diterjemahkan oleh Ester
Janssen tahun 2005. Dokumentasi
Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Timur.
Ingguoe, Leksi S.Y. 2015. Tata Bahasa Rote. Yogya-karta: CV. Budi Utama (Deepublish).
Izaac, R. 1990.
Kumpulan Sejarah Mengenai Masya-rakat Rote.
Baa: Sebuah Laporan yang tidak Di-publikasikan.
Jonker, J.C.G.
1905. Rottineesche Verhalen. Bij-dragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Vol. 58:369-464.
___________. 1908.
Rottineesche–Holandsch Woor-denboek. Leiden:
E. J. Brill.
___________. 1913.
Bijdrage tot de kennis der Rottineesche Tongvallen. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 68:521-622.
Mboeik, S. J. dkk. 1985. Sastra
Lisan Rote. Program Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah NTT,
Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Messakh, Benjamin.
2007. Silsilah Suku Mburala’e. Rote: Sebuah
Manuskrip yang tidak diterbitkan.
Naladay, A.Z.
1983. Aneka Kebudayaan Suku Bangsa Rote. Kupang:
Museum Nusa Tenggara Timur.
Otta, C.E. 1990. Rote
Nusa Sasando. Media Edisi November 1990.
Soh, Andre Z. dan Maria
N.D.K. Indrayana. 2008. Rote Ndao:
Mutiara Dari Selatan. Jakarta: Ke-lopak.
Wetering, F.H.
1925. Het Huwelijk op Rote. Diter-jemahkan oleh Ben Parera tahun 2005. Doku-mentasi Perpustakaan Daerah Nusa
Tenggara Timur.
*************
Tentang Penulis
|
|
Melki O. Lalay
|
Melki
Oktofianus Lalay lahir pada tanggal 5 Mei 1982 dari pasangan Bapak Jonatan
Lalay dan Ibu Sarci Amelia Lalay–Tungga di Kampung Liuk, Desa Ingguinak
Kecamatan Rote Barat Laut Kabupaten Rote Ndao. Tahun 1987 memulai pendidikannya
pada SD
GMIT Ingguinak dan tamat tahun 1993. Me-lanjutkan
pendidikannya pada tingkat SLTP Negeri 1 Rote Barat Laut dan tamat tahun 1996
kemudian melanjutkan pendidikan pada SMA Negeri 1 Rote Barat Laut dan tamat
tahun 1999.
Setelah
tamat pendidikan SMA, pindah ke Kupang dan melanjutkan pendidikan S-1 pada Universitas Nusa Cendana Program Studi Pendidikan
Sejarah dan tamat pada tahun 2007 dengan judul skripsi “Pelaksanaan Upacara
Adat Limbe di Desa Boni Kecamatan
Rote Barat Laut Kabupaten Rote Ndao”.
Setelah menamatkan pendidikan S-1nya, melanjutkan
pendidikan S-2nya pada Universitas Nusa Cendana pada Jurusan Pendidikan IPS dan
memperoleh magister tahun 2012 dengan judul penelitian Studi Geohistory tentang penerapan sistim patrilineal dan penyebaran
geneologis dalam Rumpun Takatein suku Roti di Pulau Rote. Karier terakhir
adalah Dosen pada Universitas PGRI Nusa Tenggara Timur dan menjabat sebagai
Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah. Buku “The History of Nusak in Roti
Island” ini menjadi awal dari kecintaan
terhadap sejarah Pulau Rote.
*************
|
Yusuf H.A. Adoe
|
Yusuf H. A. Adoe
lahir di Kupang tanggal 5 April 1972. Mengawali pendidikan dasarnya pada SD
Tunfeu, Kabupaten Kupang dan tamat pada tahun 1985, selanjutnya melanjutkan
pada SMP Negeri 4 Kupang, Kota Kupang dan tamat pada tahun 1988. Kemudian
melanjutkan pendidikannya pada SPG Negeri Kupang dan tamat pada tahun 1991.
Setelah menamatkan
pendidikan pada SPG, melanjutkan pada Universitas Nusa Cendana Kupang dan
memperoleh gelar sarjananya pada tahun 1996 dengan judul skripsi “Nilai-Nilai
Pancasila dalam Budaya Adat Belis di Desa
Tunfeu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang”.
Kariernya menjadi
guru pada SMP negeri 3 Rote Barat daya dari tahun 1998 sampai 2011, kemudian
diangkat menjadi Kepala Sekolah pada SMP Negeri 4 Lobalain dari tahun
2011-2015. Jabatan terakhir adalah Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Lobalain dari
tahun 2015 sampai sekarang.
Terdapat beberapa
prestasi yang diraih di antaranya Juara Lomba Diskusi P4 antar perguruan tinggi
tingkat provinsi se-NTT tahun 1996 dan finalis lomba diskusi P4 antar perguruan
tinggi tingkat Nasional tahun 1996.
Dalam kesibukan sebagai abdi negara, beberapa kali
menulis artikel yang termuat dalam beberapa media cetak yang berisi tentang
motivasi. Selain itu, kecintaannya terhadap sejarah dan kebudayaan Rote membuat
mengawali kariernya sebagai penulis buku dan buku “The History of Nusak in Roti Island” ini menjadi buku
pertamanya.
*************
|
Leksi S.Y. Ingguoe
|
Leksi
Sudi Yandri Ingguoe dilahirkan tanggal 13 Agustus 1985
di Bandu. Sebuah kampung kecil di selatan Pulau Rote, yang termasuk dalam Desa
Bebalain, Kecamatan Lobalain. Tahun 1991 memulai pendidikan dasarnya pada SD
Inpres Bandu dan tamat tahun 1997. Kemudian melanjutkan pendidikan-nya di SLTP N
2 Rote Tengah (sekarang SLTP N 1 Rote Selatan) dan tamat pada tahun 2000.
Setelah itu, ia pindah ke Kupang
untuk melanjut-kan pendidikan pada SMU Diakui PGRI Kupang, lalu tamat tahun 2003.
Pada tahun 2005 kuliah pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan
Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Nusa Cendana. Pada bulan Februari 2012 menye-lesaikan
skripsinya berjudul “Konkordansi Bahasa Rote Dialek Loleh”.
Niatnya untuk melestarikan kebertahanan bahasa Rote
membuatnya terus mempelajari bahasa Rote dan variasi dialek-dialeknya. Alhasil pada Febuari 2015 berhasil
menerbitkan buku pertamanya yang berjudul “Tata
Bahasa Rote”. Buku “The History of Nusak in Roti Island” ini merupakan buku keduanya tentang sejarah,
budaya dan bahasa di Pulau Rote.
*************
[1] Belu Mau sebagai lambang
perempuan sampai sekarang adat perkawinan di Belu menggunakan adat kawin masuk
(laki-laki mengikuti perempuan).
[2] Dalam Fox, 2006:144
menjelaskan bahwa masa pemerintahan Raja Ndaomanu Sinlae sampai tahun 1727. Hal
ini dibuktikan dengan pemberontakan salah satu maneleo di Termanu bernama Baa Mai terhadap raja Ndaomanu Sinlae
dan kejadian itu terjadi pada tahun 1727.
[3] Raja Daniel Petrus
Zacharias adalah raja Loleh yang memerintah Kerajaan Empat pada tahun 1896-1905
yang di dalamnya termasuk Keka.
[4] Dasar penafsiran tahun
kepemimpinan Ndi’i Hu’a dilihat dari masa hidupnya bersama Raja Thie, Foe Mbura
yang memerintah dari tahun 1729-1747.
[6] Mungkin yang dimaksud
dengan Naho Dali atau Nau Dale oleh Fox adalah raja Ndara Naong karena dalam
penjelasannya, Fox menggambarkan permohonan para raja Kristen untuk
mendatangkan guru agama Kristen ke Rote kepada Belanda adalah raja Thie
Benyamin Messakh, raja Loleh Zacharias Ndi’ihua, raja Ba’a Toudeka Lilo
(Toudengga Lilo) dan raja Lelain Naho Dali (Nau Dale). Para raja ini sebagai
perintis kedatangan agama Kristen dalam sejarah agama Kristen di Rote. Raja
yang dikenal dalam perjalanan ke Batavia mengikuti ajaran agama Kristen adalah
raja Thie Benyamin Messakh (Foe Mbura), raja Loleh Ndi’i Hua, raja Ba’a
Toudengga Lilo dan raja Lelain Ndara Naong.
[11] Messakh, 2007 menyatakan
bahwa Nale Mesah memerintah dari tahun 1660-1690 sedangkan menurut Soh dan
Indrayana, 2008:287 bahwa masa pemerintahan Nale Mesah antara tahun 1697-1717.
[12] Menurut Soh dan
Indrayana, 2008:287 bahwa Mbura memerintah tahun 1718-1728 sedangkan Messakh,
2007 bahwa masa pemerintahan Mbura Mesah adalah 1690-1730.
[14] Dalam perjalanan ke
Batavia, Foe Mbura (raja Thie) membawa pengetahuan Agama Kristen, Ndi’i Hu’a
(raja Loleh) membawa pengetahuan pendidikan, Tou Dengga Lilo (raja Ba’a)
membawa pengetahuan proses penyulingan nira lontar menjadi arak dan Ndara Naong
(raja Lelain) membawa pengetahuan pandai besi.
terimakasih
BalasHapusTerima kasih Atas Informasi Yang Sangat Berharga Buat Kami Perantau Sehingga Kami Bisa Belajar Tentang Sejarah Tanah Asal.
BalasHapusApakah Saya Bisa Copy Untuk Simpan Di Blog Saya Dengan Mencantumkan Nama Blog Bapak?
Terimakasih kasih Banyak pak. Karena semua informasi yang saya dapatkan dari blok Bapa sangan berguna untuk menambah informasi bagi Karya Ilmiah saya. Sodamole
BalasHapusterima kasih atas karyanya pak.... suksek selalu,,
BalasHapusbangga sekali bisa tau sejarah tentang nenek moyang saya.... "sangga ndolu sio ma tungga lela falu"
sodamolek.
Terima kasih, izin repost dengan mencantumkan sumber di blog saya
BalasHapussoda molek untuk semuanya.....
BalasHapusMantap bapa le'i
BalasHapus