Kamis, 09 Agustus 2018

SEJARAH NUSAK DI PULAU ROTE


Bab 1
Pendahuluan

 
A.     Letak Geografis
Pulau Rote adalah pulau yang letaknya paling selatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indo-nesia dan termasuk bagian Provinsi Nusa Tenggara Timur dari Kepulauan Sunda Kecil. Pulau ini memiliki luas ± 1.200 km² yang berjarak ± 500 km dari timur laut Australia dan ± 170 km timur laut dari Kepulauan Ashmore dan Cartier (Australia). Pulau ini secara geo-grafis, terletak di barat daya pulau Timor yang sebe-lah utara berbatasan dengan Laut Sawu, sebelah selatan berbatasan dengan adalah Laut Timor, sebe-lah barat berbatasan dengan Laut Sawu dan Samu-dera Hindia, serta sebelah timur berbatasan dengan pulau Timor dan Laut Timor. Pulau Rote sendiri terletak di antara 10,27º LS – 10,56º LS dan 122,47º BT – 123,26º BT (Gyanto, 1958:50). Kota utama di pulau ini adalah Ba'a yang terletak di bagian utara dan sekarang menjadi ibukota Kabupaten Rote Ndao.
Pada tahun 2002, pulau Rote dan pulau-pulau sekitarnya dibentuk menjadi sebuah kabupaten yaitu Kabupaten Rote Ndao yang secara geografis terletak di antara 10,25º LS – 11,00º LS dan 121,49º BT – 123,26º BT. Kabupaten ini merupakan kabupaten ke-pulauan yang terdiri dari 96 pulau dan 7 pulau di antaranya sudah dihuni yakni pulau Rote, Ndao, Nuse, Landu, Nusa Manuk, Usu dan Ndana sedang-kan 89 pulau lainnya tidak berpenghuni. Berdasarkan data primer Rote Ndao (2014) bahwa kabupaten ini dibagi dalam 10 (sepuluh) kecamatan yaitu:
1.     Kecamatan Lobalain dengan ibukota Baa
2.     Rote Tengah dengan ibukota Fe’apopi
3.     Pantai Baru dengan ibukota Olifuliha’a
4.     Rote Timur dengan ibukota E’ahun
5.     Landu Leko dengan ibukota Daeurendale
6.     Rote Selatan dengan ibukota Oele
7.     Rote Barat Daya dengan ibukota Batutua
8.     Rote Barat dengan ibukota Nemberala
9.     Rote Barat Laut dengan ibukota Busalangga
10.  Ndao-Nuse dengan ibukota Oli (BPS Rote Ndao 2014).
Gambar 1. Peta Pulau Rote dan Kecamatan


B.    Keadaan Alam dan Iklim
Berdasarkan letaknya, pulau ini memanjang dari sebelah timur laut menuju ke arah barat daya. Di tengah pulau ini terdapat daerah perbukitan dan batuan kapur. Di tepi pantai terdapat dataran yang luas serta di sepanjang pesisir pantai laut terdapat banyak teluk (Stibbe dkk dalam Soh dan Indrayana, 2008:2). Pesisir pantai bagian selatan dikelilingi oleh tebing dan batu karang sedangkan di bagian utara terdapat banyak pantai dengan rangkaian pasir putih yang panjang.
Secara umum, pulau ini disusun oleh dataran rendah, dataran tinggi dan daerah perbukitan. Pada dataran rendah terdapat dua sumber mata air utama yaitu Nii Oen yang terletak di Rote Timur dan Oe Mau yang terletak di bagian barat. Terdapat sebuah gunung.
Pulau Rote pada dasarnya merupakan pulau yang telah rusak oleh erosi dan abrasi, serta keadaan alamnya sangat gersang. Pulau Rote beriklim tropis semi ringkai yaitu musim hujan lebih pendek yaitu pada bulan Desember sampai Maret dan musim kemarau atau musim panas lebih panjang yakni pada April sampai November. Pada musim kemarau, terdapat angin musin timur yang kering dan antara bulan Juni sampai Agustus, cuaca di pulau ini sangat dingin (pada malam hari) sedangkan pada musim hujan, terdapat angin muson barat yang bertiup sangat kencang (Soh dan Indrayana, 2008:5-6).
Pada umumnya pulau Rote ditumbuhi oleh pohon lontar (tua). Selain itu terdapat beberapa jenis pohon yang banyak tumbuh di pulau ini antara lain pohon aren (tula), bidara (kok), jawi-jawi (kekasinak), beringin (nunuk), jati (dati), lamtoro (ai ulek), kelapa (no), kesambi (kole), tambering (ninilu), dadap (delas), kelumpang (nitas) dan lain-lainnya.
Namun dalam mata pencaharian masyarakat selalu beradaptasi dengan keadaan iklim ini sehingga walaupun terdapat musim kemarau yang panjang tetapi masyarakat selalu berusaha untuk mencari nafkah seperti menyadap pohon lontar (yang meng-hasilkan banyak pada musim panas). Namun kehidu-pan masyarakatnya sangat kaya akan keragaman mata pencaharian. Sebagian besar orang Rote meru-pakan petani, sedangkan yang lainnya bergerak di bi-dang peternakan (peternak), perikanan (nelayan), dan perdagangan hasil bumi lainnya. Dalam bidang eko-nomi, kehidupan orang Rote bergantung pada hasil penyadapan pohon lontar (tua) yang dalam tradisi dianggap sebagai pohon kehidupan. Dalam hal ini, seluruh bagian pohon lontar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kelangsungan hidupnya.
Dalam hal berprofesi sebagai petani, tanaman yang umum ditanam adalah padi (hade), jagung (pelak), kacang hijau (fufue lutu), kacang tanah (fufue dae), kacang nasi (fufue ina), turi (tulis), wijen (lena), dan lain-lain yang dapat dikelola untuk menjadi bahan makanan sehari-hari. Sedangkan dalam hal peterna-kan, masyarakat biasanya memelihara kerbau (kapa), sapi (sapi), babi (bafi), anjing (busa), ayam (manu), domba (bi’i lopo), kambing (bi’i aek), dan kuda (ndala).

C.    Lontar sebagai Pohon Kehidupan
Orang Rote secara umum lebih banyak meman-faatkan berbagai hasil dari pohon lontar untuk me-menuhi kebutuhan hidupnya. Pohon lontar berbunga dua kali dalam satu tahun dan untuk menyadap pohon lontar jantan biasanya tunas mayang yang sedang terkulai dipotong ujungnya sesudah berkuncup dan bagian yang bersabut dihancurkan agar mulai menge-luarkan nira. Sedangkan untuk menyadap pohon lontar betina, mayang harus diremas dengan kuat dengan pengapit (kakabik) dan dipotong ujungnya sebelum berbuah.
Nira dari pohon lontar dikumpulkan oleh penya-dap dua kali sehari di dalam wadah yang disebut sambak ‘wadah yang terbuat dari daun lontar’. Setiap pengumpulan nira, ujung mayang lontar harus diiris tipis dengan tujuan niranya dapat mengalir terus-menerus. Dalam setahun, penyadapan dua kali yaitu antara bulan April sampai bulan Juli yang disebut dengan musim tua timu dan antara bulan Agustus sampai November yang disebut musim tua fanduk. Pohon lontar mempunyai banyak manfaat untuk kehidupan keseharian orang Rote.
1.     Daun Lontar (tua dok)
Daun lontar selain digunakan untuk atap rumah, juga dapat digunakan untuk membuat tikar (nene’ik), kipas (nggenggefuk), payung (seu), bakul (buas), keranjang (lokak), topi (ti’ilangga) dan mbili (topi yang digunakan untuk bertani), dan lain-lain. Selain itu, daun lontar dapat ditekuk menjadi wadah timba se-perti seseluk (wadah timba kecil), sasalik (wadah timba besar), kokondak/kuneuk (wadah timba sedang yang biasa digunakan untuk tempat untuk mengambil nira di atas pohon lontar), mbisak/kapisak (keranjang yang digunakan untuk tempat penampungan nira di atas pohon lontar). Pucuk daun lontar dapat dihalus-kan untuk digunakan sebagai kertas rokok (modo sosongga). Salah satu kegunaan daun lontar adalah bahan dasar membuat sasando.
2.     Tangkai Lontar (tua beba)
Tangkai lontar dapat digunakan untuk bahan membuat pagar (mba’a beba). Selain itu, tangkai lontar dibelah dan dibuat tali pengikat (beba hehe-nggek). Manfaat lain dari tangkai lontar adalah dapat digunakan sebagai bahan perapian rumah tangga.
3.     Batang Lontar (tua huk)
Batang lontar dibelah dan dilubangi untuk diguna-kan sebagai peti jenazah (kopa tua) dan tempat ma-kan hewan peliharaan (ha’o). Selain itu, batang lontar juga dapat dibentuk menjadi bahan-bahan bangunan seperti dinding (lindi tua) dan bahan membuat tempat duduk (loa tua).
4.     Buah Lontar (saiboa)
Buah lontar yang masih muda (saiboa nulak) di-gunakan sebagai bahan makan yang lesat. Sabut dari buah lontar (saiboa seeseek) digunakan untuk men-gerat pada penampungan air gula dalam proses penyulingan arak. Tunas dari biji (saiboa numbuk) lontar digunakan sebagai makanan hewan.
5.     Nira Lontar (tua matak)
Nira lontar digunakan untuk membuat gula merah, gula lempengan (tua batuk), gula air (tua nasu), dan juga sebagai bahan membuat lalu (arak yang diren-dam) dan ala (arak yang disuling).

D.    Sejarah Nama Pulau Rote
Pada jaman sebelum penjajahan, pulau Rote disebut Kale. Masyarakat Rote lainnya menyebut pu-lau ini dengan nama Lolo Deo do Tenu Hatu yang artinya pulau yang gelap. Ada juga yang menyebut Nes do Male yang artinya pulau yang layu/kering (Otta, 1990:10). Pada daerah lain juga terdapat sebu-tan lain yaitu Lino do Nes yang berarti pulau yang sunyi (Naladay, 1988:14).
Nama pulau Rote dalam dokumen Portugis pada abad ke-16 dan ke-17 tercantum berbagai nama. Pu-lau itu dikenal dengan nama Rotes. Dalam peta Belanda, mula-mula pulau Rote disebut Rotthe, yang oleh ahli peta kemudian dikutip secara salah menjadi Rotto. Namun dalam salah satu peta dari awal abad ke-17, pulau ini disebut dengan nama pribumi Noessa Dahena (Nusa Dahena) yang berasal dari dialek Rote bagian timur secara harafiah berarti ‘Pulau Manusia’.
Menurut sejarahnya, pada bulan Februari 1522 pertama kalinya pulau Rote ditulis dengan nama Rote oleh sisa awak kapal Magelhan yang singgah di pulau Rote (Fox, 1996:25-27). Pada pertengahan abad ke-17, Persatuan Dagang Hindia Belanda (VOC) dalam dokumen-dokumennya menggunakan nama Rotti dengan tiga ejaan yang berbeda yaitu Rotti, Rotty, dan Rotij. Sebutan resmi ini terus dipergunakan sampai pada abad ke-20 dan diubah menjadi Roti.
Dalam kebiasaan adat suku bangsa, masyarakat Rote masih terus mengakui bahwa nama pulau ini adalah nama yang diberikan oleh Portugis. Demikian pula, nama Roti adalah perubahan bahasa Melayu dari Rote suatu perubahan yang menimbulkan suatu permainan kata yang tidak berarti dan sudah usang dari kata roti, yang kebetulan dalam bahasa Indonesia artinya makanan yang dibuat dari tepung terigu. Pen-duduk setempat masih lebih suka menggunakan Rote, akan tetapi hal ini merupakan persoalan pula karena /r/ dan /l/ digunakan berganti-ganti dalam dialek-dialek daerah yang terdapat di pulau ini.
Oleh karena itu, sebagian dari penduduk menye-but Lote. Dalam bahasa sastra, pulau ini disebut dengan nama lengkap Lote do Kale (dalam bahasa Ritual disebut Lote Daen do Kale Oen). Sebutan ini menggabungkan nama asli pulau dan nama yang diberikan oleh orang Belanda dan atau Portugis.
Di Indonesia dewasa ini, hampir semua dokumen-dokumen resmi yang berasal dari pulau ini meng-gunakan nama Rote, sebagian besar dokumen-doku-men dari pemerintah pusat memakai Roti. Nama inilah yang digunakan dalam peta-peta dunia, dan tampak lebih diterima dalam kalangan yang luas (Fox, 1996:25-26).
Penamaan pulau Rote versi lain menurut data De Clercq tahun 1878, bahwa penamaan pulau Rote sebenarnya berasal dari kata roti dari bahasa Melayu yang berarti penganan dari tepung terigu. Awalnya di ujung timur pulau Rote terdapat sebuah tempat yang bernama Pantai Rote termasuk dalam nusak Landu. Pendaratan pertama kali di pulau Rote pada tempat itu sehingga terjadi salah pengertian dari awak kapal yang mendengar bahwa tempat itu adalah Roti, sehingga pulau ini kemudian dinamai pulau Roti.
Sementara itu Soh dan Indrayana (2008:1) mengutip sebuah buku berbahasa Belanda yang ber-judul Land Taal & Volkenkunde Van Nederlands Indie (1854) yang hampir sama dengan data De Clercq yaitu dinyatakan bahwa pada kurang lebih 3 abad se-sudah penduduk mendiami pulau Rote, di sebelah utara timur laut pulau Rote muncul kapal-kapal Por-tugis sedang buang jangkar dan mereka turun ke darat karena membutuhkan air tawar untuk minum di atas kapal. Di pantai, mereka bertemu dengan se-orang nelayan dan bertanya, “pulau ini bentuknya bagaimana?” Nelayan ini menyangka bahwa mereka menanyakan namanya, nelayan ini menjawab, Rote (Rote is Mijn Naam). Nahkoda kapal Portugis itu menyangka bahwa bentuk pulau itu Rote, segera ia menamakan pulau itu Rote. Demikian seterusnya pulau ini disebut Rote. (Een Landschen School Mes-ster, 1854-4). Sayangnya, Soh tidak mengungkapkan secara lengkap sumber acuan pertama, karena itu, apa yang dikemukakan oleh Soh dalam bukunya patut diragukan tingkat kebenarannya, kecuali Soh menye-butkan sumber acuannya secara lengkap, terutama sumber pertama yang menjelaskan tentang dialog antara nahkoda Portugis dan nelayan Rote, minimal ada nama dari kedua orang tersebut, dan atau tanggal kejadian bisa disebutkan.
Menurut Gyanto (1958:80-81) bahwa pada jaman dahulu ada seorang bernama Rotte yang tinggal di Ringgou. Orang itu bertemu dengan sebuah kapal Portugis dan kapten kapal itu menanyakan nama pulau namun karena tidak mengerti bahasa yang digunakan kapten kapal itu sehingga ia mengira kapten itu menanyakan namanya sehingga ia men-jawab “Rotte”. Setelah itu, nama Rotte dibawa kemana-mana. Orang Rote pun mengaitkan nama itu dengan kata Kale sehingga disebut Rotte do Kale.
Dalam dunia internasional, pulau ini lebih dikenal dengan nama Roti. Tetapi, orang Rote maupun warga Nusa Tenggara Timur pada umumnya telah lama menggunakan nama Rote. Di pihak lain, bagi dialek-dialek yang mengenal /l/ (dalam perubahan bunyi /r/) menyebut Lote adalah nama pulau Rote dalam bahasa Rote sedangkan nama Rote merupakan nama dalam bahasa Melayu (Indonesia).

E.     Asal-Usul Orang Rote
Cerita kedatangan leluhur dari Pulau Seram ke Pulau Timor dan Pulau Rote terletak jauh dalam sejarah sebelum kedatangan orang Portugis ke pulau Rote. Dalam syair-syair orang Rote (bini) disebutkan bahwa orang-orang Rote datang dari Sera Sue do Dai Laka (Sera Laka). Kata Sera Laka dapat dibanding-kan dengan negara Sri Lanka dan nama leluhur itu adalah Mandapai Bulan. Sementara dalam kata Sera atau Sela disamakan dengan kata Seram (Pulau Seram) dan Sue rupa-rupanya merupakan nama suatu tempat yang berada di pulau Seram. Sedang-kan kata Dai Laka, merujuk pada Laka/Loko atau Meloko yang menunjuk pada nama suatu tempat yang terdapat di Maluku. Sedangkan dalam syair-syair Rote diceritakan bahwa leluhur orang Rote pertama kali datang dari Selandulu dan Dailaka. Leluhur yang datang bernama Pau Balo dan Bola Lungi (Mboeik dkk, 1985:94-96).
Konon, para emigran yang datang dari Sela Sue dan Dai Laka ke selatan tidak menggunakan perahu, tetapi dengan potongan kayu-kayu kering yang oleh gelombang di bawah ke arah timur. Beberapa di antaranya mendarat di pulau Kesar (Kisar) dan kemu-dian baru pergi ke pulau Timor. Sesudah berdiam beberapa lama di sana, mereka berlayar lagi ke Rote dengan potongan kayu. Karena arus gelombang, maka beberapa di antaranya tiba di Ende (Flores) sedangkan yang lain mendarat di Ndao, dan yang lain lagi mendarat di Sabu.
Nenek moyang pertama yang keluar dari Seram bernama Sera. Ia mendarat di pulau Timor (tepatnya di Belu) dan tinggal di sana dengan daftar keturunan-nya yaitu Sera menurunkan Liurai Sera; Liurai Sera menurunkan Bessi Liurai; Bessi Liurai menurunkan Mau Bessi; Mau Bessi menurunkan Belu Mau, Thi Mau, Savu Mau, dan Lote Mau.
Cerita tentang genealogi Thi Mau sebagai leluhur orang Thie dan Lote Mau diungkapkan dalam tulisan F. H. Van de Wetering (1925) bahwa leluhur pertama yang keluar dari pulau Seram bernama Sera dengan daftar silsilah adalah Sera menurunkan Liurai Sera; Liurai Sera menurunkan Besi Liurai; Besi Liurai menurunkan Mau Besi; Mau Besi menurunkan Belu Mau (perempuan), Thi Mau, Savu Mau, dan Lote Mau.
Berdasarkan cerita sejarah yang dikenal orang orang tua Rote bahwa Mau Bessie bersama keturu-nannya tinggal di Belu tepatnya di Suai Kama. Belu Mau menetap di sana dan menjadi leluhur orang Belu.[1] Thi Mau kemudian pindah ke Pulau Timor bagian barat tepatnya di sebuah gunung di Amfoang Selatan yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Timau. Savu Mau pergi ke Pulau Sabu dan menjadi leluhur sebagian orang Sabu. Sedangkan Lote Mau pergi ke Pulau Rote.
Menurut cerita para tua adat bahwa Thi Mau pindah ke Amfoang Selatan sekitar tahun 1123. Sete-lah tinggal di sana beberapa waktu, Thi Mau bersama keluarganya menuju selatan dan akhirnya tiba di Pulau Rote. Awal kedatangannya di Rote, tinggal di Landu tepatnya di Karafao (salah satu nama tempat di Landu) dan pada tahun 1130 pindah sebuah pulau kecil di ujung barat pulau Rote lalu diberi nama pulau itu Landu. Setelah itu, Thi Mau bersama keturunannya pindah ke Pulau Rote yaitu di Rene (salah satu tempat dekat Olikambaoek). Tinggal beberapa waktu, mereka pindah lagi ke Taratu Lain atau Inggurak yang berada di desa Lekik, Thie. Raja Thie waktu itu bernama Saku Nara (generasi ke-9 dari Thi Mau) dan mulai membagi masyarakat Thie dalam dua suku besar yaitu Suku Taratu dan Suku Sabarai.
Lote Mau pindah ke Rote bagian timur, di sebuah tempat bernama Pantai Rote yang terletak di nusak Landu. Dari sini sebagian dari mereka pergi ke Ringgou, di mana sampai sekarang masih ada se-buah suku yang bernama Suku Rote yang terdiri dari subsuku Roteanabako, Rotelamalu, Roteanakai, Ro-tetutudila, dan Roteanalaso (Soh dan Indrayana, 2008:81).
Selain itu, leluhur yang bernama Loma Fuliha dan Ola Fuliha datang dari Ende (Flores). Loma Fuliha berdiam di Ba’a, di mana telah ada tiga suku yaitu, Kunan, Suki, dan Modok. Mereka berasal dari Ende, rupanya disimpulkan dari nama suku-suku (raja) ke-empat dari Ba’a bernama Ene. Orang kedua, Ola Fuliha tinggal di Korbaffo. Nenek moyang orang Termanu datang dari Timor, namanya Tela Talamanu. Leluhur orang Beluba datang dari Belu. Di-laporkan oleh A. C. Kruyt bahwa ketika orang-orang Rote mau meninggalkan Belu, orang-orang Belu bertanya Belu ba ia be? artinya orang-orang Belu kemanakah anda pergi? Yang ditanya menjawab kami pergi ke selatan ke pulau Rote. Kemudian mereka menduduki sebidang tanah di Rote Timur dan menamakannya Beluba, sesuai dengan kata Belu ba, dua kata pertama yang diajukan oleh mereka yang tinggal yang sekarang disebut Bilba (Beluba).
Leluhur orang di nusak Dengka adalah Mengge Bula datang dari daerah Amanuban (Pulau Timor). Sebagian penduduk nusak Loleh datang dari Seram. Leluhur mereka bernama Okke Mai, yang mendarat di pantai No Ne do Hundi Hitu (no ‘kelapa’, ne ‘enam’, hundi ’pisang’, hitu ‘tujuh’, dan do ‘atau’).
Para leluhur nusak Delha dan Oenale dari Molo, Timor Tengah di pulau Timor. Inoama Leki, leluhur orang Keka datang dari nusak Oenale ialah “tuan tanah” Keka. Leluhur orang Keka yang lain datang dari Termanu namanya Bela Solu, dan anaknya bernama Malelak Belan. Dia adalah raja pertama dari nusak Keka. Leluhur orang Diu adalah Biliama Tine dan Amatae Songgo, yang berpindah dari Loleh ke Diu (Rote Timur).
Menurut K. F. Hole dalam salah satu artikel yang ditulis tahun 1882 bahwa orang-orang meninggalkan pulau Seram, mungkin karena diusir oleh orang-orang Portugis atau orang-orang lain, ada seorang laki-laki yang mendarat di Fatu Leo (Fatu-batu, Leo-Pemali). Orang itu bernama Tuku Tassi. Ia mengambil se-bidang tanah menjadi miliknya dan tinggal di situ. Dalam daftar keturunan-nnya menurunkan Okke Mai pada generasi ke-4 dan menjadi leluhur orang Loleh.
Menurut Jermias Mbado (62) bahwa Lote Mau menurunkan Okke Lote, Okke Lote menurunkan Rama Okke yang merupakan leluhur sembilan nusak di Rote bagian timur dan Henda Okke yang merupa-kan leluhur sembilan nusak di Rote bagian barat. Henda Okke menurunkan Lalo Henda, Lalo Henda menurunkan Pako Lalo, Pako Lalo menurunkan Tasi Pako dan Pele Pako. Tasi Pako yang merupakan turunan subsuku Mbesa di Loleh, Pele Pako merupa-kan turunan sub suku Lebo di Loleh.
Dalam struktur genealogi orang Rote, terdapat seorang leluhur yang dikenal oleh seluruh masyarakat Rote yaitu Bula Kai. Dalam beberapa daftar silsilah bahwa Bula Kai menurunkan 13 orang yaitu 1) Laka-mola Bula (ke Bilba); 2) Patola Bula (ke Bokai, Baa, Lelain, Thie, Dengka, Loleh dan Ndao); 3) Loma Bula (ke Oenale, Talae, Baa, Thie dan Dengka); 4) Liu Lai Bula menurunkan Makapedu Liu Lai (ke Dengka), Laihamek Liu Lai (Bilba, Keka, Talae, dan Loleh), Lamaketu Liu Lai (ke Rote bagian timur), Henda Oke Liu Lai (ke Rote bagian barat); 5) Mengge Bula (ke Dengka); 6) Ma Bula (ke Termanu); 7) Ndu Bula (ke Baa dan Dengka); 8) Besi Bula (ke Thie dan Lelain); 9) Batu Bela Bula (ke Ringgou); 10) Makasene Bula (nikah dengan putra raja Ndana); 11) Lai Bula (ke Korbaffo); 12) Leteba Bula (ke Landu); dan 13) Ba Bula (ke Loleh) (Izaac, 1990 dan Dethan, 1996).

F.     Sifat Orang Rote
Pada umumnya orang Rote sendiri merasa bangga dengan adanya perbedaan. Mengungkapkan hal-hal yang kecil seperti perbedaan cara bicara dan gaya pakaian daerah, nuansa dalam hukum adat, dan upacara adat untuk menonjolkan bahwa kehidupan sosial dan politik berbeda-beda. Perbedaan itu cende-rung ditonjolkan dan dibesar-besarkan jika dilakukan sebuah kerjasama maka akan menghasilkan suatu pertengkaran (Fox, 1996:116). Pertengkaran ini akan diungkapkan dalam hal berbicara dan seni berdebat. Hal ini merupakan sifat dasar orang Rote yang tidak ingin dihakimi dan diperintah oleh siapa pun.
Berbicara merupakan sesuatu hal yang menarik dan menyenangkan bagi orang Rote sehingga dalam menyelesaikan suatu perselisihan dengan kekerasan dianggap sebagai suatu tanda bagi seorang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara.
Orang Rote beranggapan bahwa keterangan mengenai kekayaan bukan suatu hal yang dibicara-kan dengan terbuka. Tidak ada orang Rote yang membicarakan harta miliknya. Menghindari pertanya-an mengenai kekayaan bukan suatu kemampuan yang unik bagi orang Rote, tetapi merupakan suatu keahlian yang dengan pandai telah dikembangkan. Demikian pula, bukan hanya merupakan suatu keah-lian yang dikembangkan untuk menghindarkan penye-lidikan dan campur tangan dari luar, tetapi merupakan suatu hal yang mendasar dalam gagasan orang Rote. Untuk kawasan penduduk Indonesia Timur, orang Rote terkenal sebagai penduduk yang paling dapat menghindarkan campur tangan dari luar (Fox, 1996: 4-5).
Bagi orang Rote, bicara adalah suatu daya tarik dalam kehidupan dan perdebatan merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan. Orang Rote bicara me-lantur mengenai soal yang tidak berarti dan dianggap hal itu disebabkan karena sifat orang Rote yang suka bicara, menimbulkan setiap pertengkaran, tentunya memberikan bahan untuk berbicara.
Keahlian bicara orang Rote diuji dalam sebuah perdebatan. Seseorang yang menghadapi sebuah perselisihan pendapat dengan kekerasan dianggap sebagai orang yang tidak pandai berbicara. Oleh karena itu, kebiasaan dalam sebuah upacara perka-winan menjadi barometer pengukuran kepandaian berbicara orang Rote. Misalnya ketika seseorang menjadi juru bicara mempelai perempuan atau laki-laki maka ketangkasan dan kelihaian menyampaikan gagasan menjadi salah satu hal yang menarik untuk ditonjolkan kepada masyarakat umum.
F.J. Ormeling, bekas Direktur Institut Geografi Jakarta yang mengadakan penelitian di Timor pada awal tahun 1950-an dengan cermat mencatat sifat orang Rote (1956:225) yaitu keengganan masyarakat Rote untuk mematuhi perintah-perintah resmi ter-utama tampak pada waktu perhitungan pajak ta-hunan. Banyak orang Rote yang tidak di tempat pada waktu musim kemarau, ketika petugas pajak ber-keliling untuk memperkirakan panen agar dapat menentukan pendapatan tahunan dari penduduk. Di dalam daftar pajak, nama-nama kampung di Rote seringkali diikuti dengan catatan lari (tidak pernah ditemui ketika diadakan daftar pajak). Orang-orang Rote yang dapat ditemui dan kepadanya diajukan pertanyaan-pertanyaan biasanya dengan cara yang sangat cerdik menyatakan dirinya melarat dan tidak beruang.
Kehidupan sosial orang Rote selalu mengutama-kan sebuah filosofi sederhana yaitu kedi deifo mala musu ‘cara untuk menaklukan musuh adalah menipu’. Hal ini menjadi sebuah prinsip dasar orang Rote ketika menghadapi orang lain sehingga biasanya mereka dikenal sebagai penipu. Menurut pandangan orang lain bahwa orang Rote adalah orang yang tidak bisa dipercaya karena dengan keahlian berdebatnya mampu meyakinkan orang lain walaupun keterangan yang diberikan tidak sesuai dengan kenyataan. Bahkan dalam pergaulan orang Rote di luar pulau Rote dikenal sebuah image yang dapat mengganggu pikirian orang Rote pada umumnya yaitu bahwa semua orang yang banyak bicara atau membesar-besarkan hal-hal kecil serta orang-orang yang suka menipu dianggap sebagai Otak Rote.
Otak Rote disejajarkan dengan sifat orang Rote yang suka menipu dan memutarbalikkan fakta atau membenarkan hal yang salah serta suka menjatuhkan orang lain dari cara bicaranya. Selain itu, sebuah kata yang diidentikan dengan otak Rote adalah penggu-naan kata tehu ‘tetapi’ dalam setiap perdebatan. Dalam hal ini, setiap alasan selalu diterima dengan baik ketika berdekat dan untuk menunjukkan perbe-daan pendapat biasanya digunakan kata tehu ‘tetapi’. Keterangan yang bertolak belakang dengan panda-ngan orang lain yang menggunakan kata tehu ‘tetapi’ itu menjadi senjata yang paling berbahaya dalam sebuah perdebatan bagi orang Rote.
Kehidupan orang Rote yang pandai dalam hal berbicara juga dapat digambarkan dalam tuturan adat atau syair yang seolah-olah mengandung pembo-rosan kalimat untuk menjelaskan sebuah maksud atau gagasan seperti dalam kutipan syair nai faik ia dalen ma nai ledok ia tein ‘di dalam hati hari ini dan di dalam perut matahari ini’ yang bila dimaknai hanya mengungkapkan makna “pada hari ini”. Pemborosan kalimat ini menjadi salah satu adat-istiadat yang secara teratur berlaku dalam kehidupan orang Rote. Penuturan syair adat ini merupakan simbol keahlian orang Rote dalam hal mengungkapkan sebuah cerita atau gagasan.

*************


Bab 2
Gambaran Umum Nusak
 







A.     Konsep Nusak
Pulau Rote sejak awalnya telah mengenal pem-bagian masyarakat yang dapat disejajarkan dengan sistem pembagian kasta dalam kehidupan masya-rakat Hindu-Budha di India. Pengelompokan masyara-kat di pulau Rote diartikan sebagai sebagai kategori-sasi sosial yang diidentikan dengan sistem pemerin-tahan sebuah kerajaan yang menurut orang Rote disebut nusak. Dalam hal ini, nusak dianggap sebagai struktur pemerintahan asli orang Rote yang paling tinggi.
Secara etimologis, istilah nusak berasal dari kata nusa ‘pulau atau daerah’ dan diberi sufiks penentu /-k/ menjadi kata ‘nusak’ untuk menunjukkan suatu pulau atau suatu daerah tertentu. Menurut Fox (1986:176) nusak dapat mengacu pada wilayah, tetua, desa tempat tinggal atau pengadilan. Dalam pandangan orang Rote, nusak dapat diartikan sebagai sebuah kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu merupakan suatu wa-dah pengadilan tertinggi di pulau ini. Alasan yang mendasari nusak sebagai kerajaan adalah bahwa setiap nusak dipimpin oleh seorang manek ‘raja’. Menurut Jonker bahwa nusak adalah sebuah wilayah kekuasaan atau daerah swapraja (wilayah yang memiliki pemerintahan sendiri) secara lokal dibentuk untuk sebuah daerah otonomi di pulau Rote (Jonker, 1908:409).
Definisi nusak secara umum menurut Balukh, 2013 adalah sebagai berikut:
1)     Nusak bermakna pulau, sehingga orang Rote menyebut pulau Rote sebagai Nusa Lote dan pulau Ndao sebagai Nusa Ndao;
2)     Nusak bisa berarti negeri atau negara;
3)     Nusak merujuk pada wilayah kekuasaan inde-penden yang disebut kerajaan;
4)     Nusak merujuk pada daerah dimana raja mene-tap. Beberapa tempat dinamai Nusak Lain, seperti di Termanu dan Ba’a. Daerah-daerah tersebut berada di tempat ketinggian, misalnya Fe’apopi di Termanu dan Nusak Lain di Ba’a. Pemilihan wilayah ketinggian sebagai tempat tinggal raja karena alasan keamanan, sehingga tidak mudah mendapat serangan;
5)     Nusak juga adalah tempat khusus untuk pelak-sanaan persidangan atau pengadilan. Di situlah tempatnya raja dan para anggota dewannya menggelar berbagai kasus hukum, yang disebut dede’a nusak ‘perkara umum (yang harus diketa-hui oleh semua orang di daerah tersebut)’.
Nusak adalah wilayah kekuasaan yang masing-masing terdiri dari seorang penguasa. Pembagian nusak ini didasarkan pada penggunaan dialek yang berbeda, letak geografis, dan kehidupan masyarakat yang tidak pernah ingin bersatu  (Fox, 1986:4). Pengakuan nusak oleh Belanda dipicu oleh penaf-siran tentang adat, misalnya orang Rote mengenal adanya frase tentang anak adat. Lebih-lebih lagi disebutkan adanya dae langak atau penguasa bumi yang masing-masing nusak memelihara tradisi ritual dan adatnya sehingga suatu nusak memiliki hak untuk menentang keputusan manek ‘raja’ apabila keputusan itu bertentangan dengan kebiasaan, karena akan ber-pengaruh pada kepercayaan tentang kesuburan bumi dan kehancuran negeri.
Penguasa sebuah nusak disebutkan oleh Belanda dengan istilah koning, regent, atau radja, sedangkan orang Rote menyebutnya dengan istilah manek ‘raja’. Kata manek berasal dari kata dasar mane ‘laki-laki’, sehingga sebuah nusak harus  dipimpin oleh seorang laki-laki yang memiliki sikap keperkasaan, kekuasaan, kepemimpinan, dan ketegasan. Setiap manek me-mimpin pengadilannya sendiri yang dihadiri oleh pemimpin yang ditunjuk oleh Belanda yang dikenal dengan nama fetor, atau dalam bahasa Rote disebut mane-feto (pemimpin wanita) dan juga dibantu oleh pemimpin-pemimpin klen yang dikenal dengan nama manesio (pemimpin sembilan) untuk mewakili klen-klen yang membentuk sebuah nusak. Selain itu, dalam pengadilan yang dipimpin oleh seorang manek juga dihadiri oleh orang-orang tua dari setiap marga yang tergabung di dalam sebuah leo ‘suku’ (Fox, 1996:117).

B.    Struktur Pemerintahan Nusak
Dalam konteks kehidupan masyarakat Rote selain ada pemimpin manek ‘raja’ dan pendamping manek yang disebut fettor atau mane-feto, terdapat pula jabatan-jabatan lain yang diberikan kepada individu-individu tertentu sesuai dengan tugas dan perannya masing-masing. Hal ini merupakan upaya untuk membangun dan mengatur kehidupan masyarakat Rote melalui sebuah sistem kemasyarakatan yang baik melalui sistem sosial yang terintegrasi dalam setiap nusak. Kesatuan hidup masyarakat dalam kerangka hubungan sosial menghasilkan suatu kerangka dasar kehidupan yang berkaitan dengan aspek konsep, perilaku dan wujud nyata dari sebuah tatanan kebersamaan adalah sebuah pranata budaya dalam masyarakat yang bertujuan memenuhi kebutu-hannya untuk mengatur kehidupan secara berkelom-pok.
Dalam stuktur pemerintahan setiap nusak di Rote, terdapat berbagai jabatan yang memiliki fungsi dan perannya berbeda-beda. Secara umum, manek ada-lah jabatan tertinggi dalam setiap nusak dan dibantu oleh seorang fettor. Dalam menjalankan tugas se-orang manek didukung oleh seorang hakim yang membantu dalam mengurus perkara-perkara nusak yang disebut mane dope. Selain itu terdapat jabatan-jabatan lain yang secara berkesinambungan menjalin kerjasama dalam memimpin sebuah nusak. Berikut ini struktur pemerintahan yang terdapat dalam sebuah nusak adalah sebagai berikut:
a)  Manek (Raja)
Seorang manek ‘raja’ secara struktur adat me-mimpin sebuah nusak. Dalam pemerintahanya ber-tindak seperti seorang raja dalam sebuah kerajaan. Kekuasaan manek terbatas pada urusan penga-dilan dan merupakan seorang hakim daripada se-orang penguasa mutlak. Manek dapat memak-sakan kekuasaannya hanya melalui pengadilan tetapi meskipun demikian pelaksanaan kekuasaan itu dibatasi dengan syarat bahwa keputusan itu sesuai dengan nasihat para pemimpin pengadilan lainnya. Seorang manek ditentukan berdasarkan dinasti sebelumnya yang memerintah atau ditentu-kan oleh manek sebelumnya sebagai sebuah ka-dernisasi.
b)  Fettor
Fettor adalah pendamping raja atau pembantu manek. Namun dalam tugasnya dipercaya sebagai tangan kanan manek. Seorang fettor tidak memiliki garis komando secara langsung namun menge-palai sebuah wilayah yang terdiri dari gabungan kampung-kampung yang disebut dengan kefetoran. Seorang fettor memimpin kumpulan beberapa dae-rah manesio dan beberapa rumpun suku maneleo (Soh dan Indrayana, 2008:19). Fettor dipilih oleh manek.
c)  Mane Dope
Istilah mane dope secara harafiah dapat diartikan sebagai laki-laki pisau (mane ‘laki-laki’ dan dope ‘pisau’). Dalam struktur pemerintahan nusak, ber-fungsi sebagai seorang hakim agung. Syarat men-jadi seorang mane dope yaitu harus memiliki pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan atau memutuskan sebuah perkara adat dan dalam hu-kum adat, serta berfungsi menyampaikan hasil musyawarah yang telah diambil oleh masyarakat luas melalui seorang dae langgak.
d)  Manesio
Manesio dalam struktur pemerintahan nusak men-jalankan tugasnya seperti seorang kepala desa dalam sebuah desa. Seorang manesio diangkat oleh manek dan dalam tugasnya dapat berkonsul-tasi dengan maneleo untuk mengetahui fakta yang terjadi di dalam masyarakat atau dalam sebuah rumpun keluarga. Seorang manesio memimpin kumpulan beberapa maneleo yaitu gabungan bebe-rapa pemimpin leo atau suku.
e)  Dae Langgak
Dae langgak atau tuan tanah tidak memiliki tugas dalam sistem pemerintahan nusak. Seorang dae langgak memimpin bagian pertanahan dan per-tanian dalam sebuah nusak. Dae langgak memim-pin gabungan beberapa langgamok serta dipilih oleh mane dope.
f)   Maneleo
Maneleo adalah seorang tokoh adat yang mem-punyai kemampuan melindungi sebuah suku atau leo. Seorang maneleo hanya memimpin satu suku atau leo yang terdiri dari gabungan marga-marga atau sub-leo. Seorang maneleo dipilih langsung oleh masyarakat (leo inggu).
g)  Langgak
Langgak atau kepala kampung memimpin sebuah kampung yang terdiri dari gabungan beberapa wilayah lasin (dusun). Langgak dipilih langsung oleh manek.
h)  Langgamok
Seorang langgamok bertugas sebagai penegak hu-kum dalam bidang pertanian dan bertanggung jawab terhadap dae langgak. Langgamok memim-pin sebuah kebun pertanian yang disebut lala yang dimiliki oleh masyarakat luas. Dalam sebuah nusak terdapat beberapa lala yang dikenal dengan osi nusak ‘kebun umum’. Seorang langgamok dipilih oleh masyarakat yang memiliki areal pertanian di dalam kebun atau lala tersebut. Dalam proses pemilihannya dapat difasilitasi oleh seorang dae langgak.
i)    Lasin
Istilah lasin dapat disejajarkan dengan seorang dusun atau seorang RT dalam sistem pemerin-tahan sekarang.
j)    Leo Inggu
Leo inggu adalah masyarakat umum yang terbagi dalam suku-suku atau leo-leo di dalam setip nusak.

Dalam sebuah persidangan di tingkat nusak, biasa-nya dihadiri oleh manek, fetor, manesio, dae langgak, dan mane dope yang berperan dalam diskusi tentang adat-istiadat (hadak). Selain itu, terdapat juga maneleo. Walaupun tidak memiliki posisi resmi dalam persidangan, namun maneleo memiliki pengaruh yang sangat diperhitungkan. Dalam persidangan itu, semua elemen memiliki perwakilan baik dari manek ‘raja’ maupun sampai masyarakat awam (leo inggu).

*************
Bab 3
Hubungan Nusak dan Belanda

 







A.     Perjanjian Dagang Belanda
Orang Belanda datang menjajah Indonesia dengan mewakili sebuah persekutuan dagang yang sangat ketat dan teratur di Belanda yang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Adapun perjanjian yang dibuat oleh VOC ketika masuk di wilayah Kepulauan Timor dan sekitarnya adalah seba-gai berikut:
a.     Para raja atau pemimpin daerah harus menye-rahkan upeti, yang sebenarnya merupakan suatu bentuk perdagangan elite.
b.     Para raja harus menyerahkan pasukan bersenjata bilamana diperlukan.
c.      Para raja harus menolak mengadakan perda-gangan dengan kekuasaan yang lain, khususnya orang Portugis, dan umumnya semua pedagang yang tidak sah, termasuk pedagang Cina dan orang-orang Indonesia dari pulau-pulau lain.
d.     Para raja harus menyelesaikan semua perseli-sihan di dalam daerahnya menurut arbitrasi yang ditunjuk oleh Kompeni (Belanda). Sebagian dari masalah-masalah dalam daerah diserahkan ke-pada raja masing-masing untuk diselesaikan me-nurut hukum adat yang berlaku di daerah setempat.
Perjanjian di atas secara khusus diperlakukan di pulau Rote untuk dapat mengatasi banyak kerajaan yang ditemui oleh Belanda pada waktu itu. Setiap kerajaan mengakui Belanda sebagai Kompani atau dengan istilah yang lebih menyanjung disebut Ina-Ama Kompani. Dalam hal ini secara tidak langsung setiap kerajaan yang dibentuk Belanda telah menga-kui kekuasaan Belanda dan takhluk kepada pemerin-tahan Belanda di pulau Rote.

B.    Kedatangan Belanda di Pulau Rote
Belanda dalam masa penjajahannya di Rote menghadapi berbagai persoalan antar raja serta per-tikaian antara nusak yang satu dengan yang lain. Ber-beda dengan Belanda di pulau Timor yang hanya menghadapi raja Sonba’i di Kupang, namun di Rote terdapat banyak raja yang berkuasa atas nusak-nusak sehingga mengakibatkan Belanda mengalami kesu-litan dalam menjalin kerja sama di pulau Rote. Hu-bungan awal Belanda dengan orang Rote adalah ketika terlibat dalam perebutan daerah Timor dan beberapa daerah di pulau Rote yang menjadi sasaran penyerbuan Belanda.
Dengan kedatangan Belanda di Rote memuncul-kan berbagai pola yakni dengan sikap selalu sedia dan siap bertindak, karena menyangka bahwa setiap perlawanan timbul karena hasutan dari Portugis, Belanda dengan cepat dan efektif mengakhiri per-musuhan di Rote. Pada abad berikutnya, Belanda mengadakan perdamaian di antara berbagai kerajaan sehingga pada tahun 1756, walaupun masih terjadi peperangan dan hanya sekali-kali timbul perselisihan antara daerah-daerah setempat. Keterlibatan Belanda yang berbeda-beda di setiap pulau itu mengakibatkan terpecah belahnya daerah-daerah di pulau Rote (Fox, 1996:114). Perpecahan ini kemudian secara bertahap diakui oleh Belanda yang merupakan pembagian wilayah kekuasaan yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat Rote.
Salah satu laporan Belanda yang paling awal tentang Rote tahun 1656, telah menyebutkan bahwa sejumlah daerah setempat, yang kemudian muncul dan resmi diakui oleh Belanda sebagai daerah yang mempunyai kekuasaan sendiri dan dikepalai oleh keturunan dinasti tertentu. Dari catatan berikutnya, jelas bahwa pada waktu tiba di pulau ini Belanda menghadapi pemimpin-pemimpin setempat yang berkuasa atas daerah-daerah yang diperebutkan. Me-reka ini disebut sebagai ‘wakil’ dari daerah-daerah itu dan kemudian diangkat raja ketika daerah tersebut mendapat pengakuan sebagai sebuah kerajaan (Fox, 1996:117).
Sejak awal Belanda mengadakan perjanjian dengan para raja di Rote yaitu bersekutu dan ber-dagang dengan kerajaan baru yang timbul kemudian karena bagi Belanda, mencabut hak kekuasaan seorang raja Rote adalah hal yang tidak mungkin. Hal ini dikarenakan di pulau Rote, Belanda menghadapi sistem pemerintahan setempat dengan politiknya yang picik yang kadang-kadang sangat menjengkel-kan namun tradisi pemerintahannya dapat dipahami oleh orang-orang asing dan terbuka bagi campur tangan dari luar.

C.    Perlawanan Nusak Terhadap Belanda
Sebelum kedatangan Belanda di Rote, orang Rote sudah mempunyai hubungan dengan Portugis. Pada tahun 1620 sampai 1630, tampaknya golongan Dominikan yang dibawa oleh Portugis dan Jesuit yang dibawa oleh Belanda saling bersaing dalam usahanya menyebarkan agama Kristen di pulau Rote. Namun, kehadiran Portugis di pulau itu tidak berlangsung lama dan tidak berhasil. Setelah kedatangan Belanda, orang Portugis mulai mengadakan pemberontakan dengan cara menghasut orang Rote untuk mengusir Belanda, terutama di daerah-daerah seperti Bilba dan Ringgou namun usaha Portugis untuk mengusir Belanda dari pulau itu tidak satu pun berhasil bahkan banyak raja Rote berusaha melibatkan Belanda demi kepentingan mereka sendiri, dengan dalih bahwa kerajaan lain atau kelompok masyarakat setempat bersekongkol dengan Portugis, atau tidak setia ke-pada Belanda. Saling manipulasi adalah cara terbaik untuk menyatakan sifat hubungan antara Belanda dan Rote sepanjang masa sejarah (Fox, 1996:131).
Menurut sejarah, pertengahan abad ke-17 sampai petengahann abad ke-18, orang Rote mengadakan perlawanan terhadap campur tangan Belanda namun tidak pernah berhasil. Dalam tahun 1653, Belanda mengalahkan beberapa nusak yaitu Landu, Oepao, Ringgou, dan Bilba serta dalam tahun yang sama Belanda mampu mengalahkan nusak Korbaffo. Per-lawanan terhadap Belanda masih terus dilakukan oleh nusak Termanu pada tahun 1681, tahun 1724, dan tahun 1746. Belanda terus menyerang nusak-nusak di Rote antara lain salah satu nusak pada waktu itu yaitu nusak Leli yang dipimpin oleh Raja Pelokila dan akhirnya dapat dikuasai oleh Belanda. Tahun 1724 terjadi perlawanan nusak Bokai, Hoiledo dan Termanu dan akhirnya dapat dikalahkan oleh Belanda (Koe-huan dkk, 1983:159-163). Kedua nusak kecil yaitu Leli dan Hoiledo akhirnya tidak diakui oleh Belanda tetapi disatukan dalam pengakuan nusak Termanu.
Sejak awal hubungan Belanda dan orang Rote, Belanda telah terlibat dalam permusuhan antara raja-raja Rote yang saling iri dan bersaing. Bagi Belanda yang kekuatannya terbatas, berurusan dengan kera-jaan-kerajaan kecil itu pun merupakan suatu keun-tungan, karena tidak satu pun dari kerajaan-kerajan kecil itu yang mampu mengadakan perlawanan sendiri terhadap Belanda. Beberapa raja Rote ber-usaha untuk bersekutu dengan Belanda, yakni pada tahun 1653, raja-raja dari 4 kerajaan di bagian timur (Landu, Oepao, Ringgou dan Bilba) bersumpah setia kepada Kepala Kompeni Ter Horst. Pada tahun 1654, Ter Horst memimpin ekspedisi bersenjata ke Rote untuk memperkuat sekutu-sekutunya terhadap mu-suh-musuh mereka. Ekspedisi itu menyerang dan menghancurkan nusak Korbaffo, yang dikatakan telah bersekutu dengan Portugis.
Belanda kemudian membagi kerajaan-kerajaan di Rote menjadi 2 (dua) kelompok yaitu nusak yang bersekutu dengan Belanda dan nusak yang bersekutu dengan Portugis. Dari 12 sekutu Belanda, sepuluh nusak di sebelah timur dan dua nusak di berada selatan pulau Rote. Sedangkan nusak yang bersekutu dengan Portugis adalah Dengka, Ba’a, Loleh dan Bau Dale (suatu daerah yang kemudian digabungkan dengan perbatasan barat Termanu). Pada tahun 1656 dan 1658, nusak Dengka, Loleh, Ba’a dan Bau Dale diduduki dan dipaksa untuk membayar denda berupa emas kepada Belanda dan akhirnya tahun 1660 kelima nusak pemberontak Belanda itu dibakar, dibe-rantakan dan dihancurleburkan oleh Belanda.
Nusak Loleh bersama nusak Dengka kembali mengumpulkan pasukan untuk melawan Belanda se-hingga pada tanggal 19 Oktober 1661, Belanda dengan pasukan yang terdiri dari 900 tentara, pelaut dan orang-orang Timor yang bersekutu dengan Belanda menyerbu nusak Loleh dan membunuh kira-kira 500 orang dalam 1 (satu) hari. Sementara itu, Raja Dengka yang berada di luar pulau Rote, anaknya bergabung dengan raja-raja yang lain dan bersumpah untuk menghancurkan nusak Ba’a, Thie, Termanu dan Landu yang memulai perlawanannya dengan menyerang kerajaan Thie yang lebih dekat. Pada waktu yang bersamaan, keluhan mengenai tindakan-tindakan kerajaan Bilba di sebelah timur pulau Rote mulai menunjukkan kebenciannya terhadap Belanda. Oleh karena itu, Belanda menganggap bahwa orang Rote adalah orang-orang yang tidak dapat dipercaya sehingga pada tahun 1662, Belanda membuat sebuah perjanjian yang ditandatangani secara resmi oleh para raja di Rote. Perjanjian pada tahun 1662 terdiri dari 7 pasal dan nama raja-raja yang tercantum dalam perjanjian itu hanya raja nusak Dengka, Termanu, Korbafo dan Bilba. Perjanjian itu tidak berdasarkan prinsip-prinsip yang umum, tetapi terutama mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan hubungan antara Belanda dan Rote.
1.     Pasal pertama: menghentikan permusuhan antara raja-raja yang menandatangani perjanjian itu.
2.     Pasal kedua: membatasi perdagangan, hanya dengan pihak yang disetujui oleh Belanda; pen-duduk Rote dilarang berdagang baik dengan Portugis maupun pedagang pribumi lainnya dari Solor, Bima atau Makasar tanpa izin dari Belanda.
3.     Pasal ketiga: dilarang pula berlayar ke pulau-pulau Timor atau Solor yang penduduknya ber-musuhan dengan Belanda.
4.     Pasal keempat: mengembalikan semua budak yang melarikan diri kepada majikan masing-masing di berbagai nusak ‘kerajaan’.
5.     Pasal kelima: mendesak raja-raja tersebut untuk berunding di antara mereka sendiri dan menye-lesaikan masalah pencurian ternak.
6.     Pasal keenam: meminta agar raja Demgka, Termanu, dan Korbafo melaporkan setiap permin-taan ternak dari orang yang tidak berwenang, atas nama Kepala Kompeni.
7.     Pasal ketujuh: memerintahkan raja Bilba untuk mengembalikan tawanan dari daerah Bokai. (Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum dalam Fox, 1996:134).
Perjanjian di atas tidak mengakhiri semua perse-lisihan di Rote. Sebaliknya, perselisihan antara nusak-nusak setempat mulai bermunculan, walaupun tidak memerlukan campur tangan dari Belanda. Dengan bantuan-bantuan yang strategis dari raja-raja utama di sebelah timur, barat dan tengah, Belanda berhasil mengatasi permusuhan yang paling sengit di pulau itu.
Pada tahun 1663, Belanda mendapat berita bahwa raja Dengka secara diam-diam telah menga-dakan perdagangan dengan kapal yang datang dari Lamakera di Pulau Solor. Perdagangan yang sede-mikian itu tetap menjadi masalah selama 10 tahun sampai tahun 1676, Belanda dalam sebuah ekspedisi dilancarkan kepada nusak Dengka dan Loleh serta sekutu-sekutunya dan sekali lagi dihancurkan oleh Belanda.
Pada tahun 1681, nusak Thie, Dengka dan Oenale mengancam akan menyerang Lelain dan Termanu. Hal ini dianggap sebagai suatu ancaman langsung terhadap Belanda, karena selama bertahun-tahun, Termanu telah menjadi sekutu Belanda yang paling tetap sehingga suatu ekspedisi yang terdiri dari 26 tentara Belanda, dengan 500 atau 600 orang Timor dari kerajaan-kerajaan Amabi dan Sonbai di Kupang, dikirim dengan beberapa kapal Termanu, dan bersama dengan sejumlah orang Rote, menyerang nusak Thie, Dengka dan Oenale. Tragedi ini adalah tragedi paling sadis dalam sejarah Rote, yaitu pasukan pribumi mengamuk dengan ganas dan semua orang dipenggal kepalanya tanpa mem-bedakan laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Kapal-kapal yang kembali ke Kupang membawa 96 laki-laki, 158 wanita dan 18 anak-anak untuk dijual sebagai budak. Akhirnya nusak Dengka dihukum untuk membayar denda sebanyak 150 orang budak dan 10 kati emas, nusak Thie harus menyerahkan 100 orang budak dan 8 kati emas, sedangkan oleh karena Oenale telah kehilangan dua per tiga dari penduduknya, maka nusak itu dibebaskan dari pembayaran budak kepada Kompeni (Daghregister dalam Fox, 1996:135-136). Penyerbuan ini meru-pakan peristiwa terakhir yang dipimpin oleh Belanda di Rote.

*************
Bab 4
Sejarah Pengakuan Nusak

 







A.     Pendahuluan
Pengakuan terhadap sebuah nusak di pulau Rote oleh Belanda didasarkan atas tujuan melancarkan kerja sama antara orang Rote dengan Belanda yaitu setiap raja atas daerah di Rote menandatangani kontrak kerja sama dengan Belanda. Dalam penga-kuan itu mulai timbul hak otonomi atas daerah yang luasnya kira-kira dapat ditentukan dan hak untuk mengadakan pengadilan sendiri dengan segala sesuatu yang termasuk di dalamnya serta penge-sahan garis berdasarkan keturunan raja-raja dari se-tiap daerah.
Bagi orang Rote, pengakuan terhadap sebuah nusak bukanlah suatu hadiah politik tetapi disadari bahwa di samping nusak-nusak yang memperoleh pengakuan, terdapat pula sejumlah daerah yang tak pernah berhasil memperoleh pengakuan. Pengakuan itu terjadi karena adanya pergolakan setempat atau pemisahan dari nusak yang lebih besar yang sudah diakui oleh Belanda. Pergolakan yang sedemikian itu, mula-mula dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap raja-raja yang sudah disahkan oleh Belanda. Pemimpin-pemimpin nusak yang berhasil, diangkat menjadi raja sedangkan raja yang gagal dianggap sebagai pemberontak dan sering kali ditangkap lalu dijual sebagai budak.
Dalam usaha Belanda untuk bersekutu dan mem-berikan pengakuan kepada para raja, dilakukan suatu proses yang sulit dihindarkan yaitu harus menghadapi segala permasalahan dan pertengkaran yang terjadi antar nusak di seluruh pulau Rote. Dalam proses ini, apabila Belanda tidak ikut campur, maka masalah kedaulatan di pulau Rote akan diselesaikan dengan peperangan atau melalui proses penggantian dinasti nusak yang lebih rumit, karena di antara nusak-nusak itu, raja-rajanya saling bersekutu dan mengadakan hubungan perkawinan satu sama lain.
Dalam cerita-cerita rakyat orang Rote, dapat di-ketahui bahwa beberapa raja di bagian tengah nusak Termanu, berturut-turut telah menaklukan sebagian besar daerah antara nusak Bilba di sebelah timur dan nusak Dengka di sebelah barat. Dalam mencegah peperangan dan mengawasi penggantian dalam se-tiap nusak, keadaan yang selalu bergolak itu me-maksa Belanda untuk mengakui daerah yang bagaimana pun kecilnya berdasarkan kesepakatan rakyat untuk menjadi sebuah nusak. Hal itu me-rupakan suatu hal yang ironis karena Termanu sebagai salah satu nusak yang setia kepada Belanda harus kehilangan lebih banyak daerahnya dari pada nusak yang lain, bahkan dengan bantuan Termanu, sebagai latar belakang dari perkembangan politik selama masa pengawasan Belanda di pulau Rote, dapat dilihat ketegangan antara dua prinsip penge-sahan yang saling bertentangan. Sebagai akibatnya, seringkali timbul perebutan kekuasaan di antara daerah yang sudah mendapat pengakuan dengan daerah yang belum atau sedang berjuang untuk men-dapat pengakuan Belanda.

B.    Perjanjian Pengakuan Nusak
Pada tahun 1620 Portugis masuk ke Pulau Rote, kemudian diikuti oleh Belanda tahun 1650. Pada tahun 1653, Belanda membentuk sistem kerajaan berdasarkan nusak dengan tujuan untuk memecah-belah masyarakat Rote agar dapat menguasai pulau itu.
Dalam menjalin kerja sama di Rote, Belanda di-wakili oleh VOC menandatangani kontrak kerja sama antara raja-raja di Rote untuk mendukung kolonia-lisme Belanda di pulau ini, maka setiap raja harus menandatangani kontrak dengan Belanda. Dalam hal ini untuk menjadi sebuah wewenang yang mutlak dalam menjalankan visi Belanda di Rote maka setiap daerah yang mempunyai penguasa sendiri harus diakui oleh Belanda agar memudahkan teken kerja sama Belanda. Oleh karena itu, Belanda secara bertahap dapat mengakui daerah-daerah di Rote sebagai sebuah nusak kerajaan’.
Perjanjian kontrak pertama dengan para raja nusak di Rote ditandatangani pada tahun 1662. Perjanjian-perjanjian yang lain kemudian ditanda-tangani dalam tahun 1690, 1700, dan 1756. Dengan perjanjian-perjanjian resmi ini dan dengan beberapa persetujuan yang dibuat sesudah tahun 1756, pulau ini secara bertahap dibagi menjadi 18 wilayah kekuasaan (nusak) yang masing-masing mempunyai penguasanya sendiri.
Terdapat 4 (empat) perjanjian resmi yang dibuat oleh Belanda dalam hal pengakuan nusak di Rote yaitu 1) Perjanjian tahun 1662; 2) Perjanjian tahun 1690; 3) Perjanjian tahun 1700; dan 4) Perjanjian tahun 1756. Keempat perjanjian ini merupakan sejarah pengakuan setiap nusak yang ada di pulau Rote.
1.     Perjanjian Pertama Tahun 1662
Pada tahun 1662, dalam perjanjian Belanda yang pertama setelah menjalin hubungan dengan Rote adalah diakui beberapa nusak yaitu Dengka, Termanu, Korbaffo dan Bilba. Tetapi dalam Kenya-taan, Belanda selalu menghadapi sejumlah nusak lain, seolah-olah mereka sudah mendapat penga-kuan.
2.     Perjanjian Tahun 1690
Pada perjanjian kedua tahun 1690, Belanda mengakui secara resmi nusak Landu, Ringgou, Oepao, Ba’a, Lelain (Ossipoka), Thie, Loleh, dan Oenale sehingga sampai tahun 1690, pulau Rote sudah terdiri dari 12 nusak. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tahun 1690-1691, kekeliruan ini dilarat dengan memperbarui beberapa pasal dari perjanjian sebelumnya. Ditambah pula dengan beberapa pasal khusus yang bertujuan meng-hentikan perselisihan di antara nusak tertentu, dan satu pasal penting yang menentukan agar selanjut-nya, setiap perselisihan diselesaikan di dalam pengadilan di Kupang.
3.     Perjanjian Tahun 1700
Dalam perjanjian ketiga tahun 1700, nusak Diu dibagi antara Korbaffo dan Termanu walaupun kedua nusak itu terus berperang dengan nusak Bilba untuk merebut Diu dan Bokai. Untuk meng-akhiri peperangan itu, dengan perjanjian tahun 1756, Diu diakui sebagai sebuah nusak dan Bokai sebagai Regional Komisionaris diakui oleh Para-vicini diberikan kepada seorang Rote yang memim-pin pasukan Belanda yang terdiri dari penduduk asli orang Rote untuk menjadi nusak. Bokai adalah sebuah nusak kecil yang disebut dalam cerita kisah kutukan dewa laut terhadap penduduk asli nusak ini. Kutukan ini membatasi jumlah penduduk asli hanya sampai 30 orang dan sampai sekarang penduduk asli nusak Bokai hanya 30 orang.
4.     Perjanjian Tahun 1756
Pada tahun 1756, perjanjian keempat menga-kui sejumlah nusak di Rote sehingga menjadi 14 nusak yaitu: 1) Dengka, 2) Termanu, 3) Korbaffo, 4) Bilba, 5) Landu, 6) Ringgou, 7) Oepao, 8) Ba’a, 9) Lelain, 10) Thie, 11) Loleh, 12) Oenale, 13) Diu, dan 14) Bokai.
Pada tahun 1772, nusak Lelenuk memisahkan diri dari nusak Termanu dan tahun 1895 diakui sebagai daerah otonomi nusak, Keka dipisahkan dari nusak Termanu dan Talae dipisahkan dari nusak Termanu serta di bagian barat. Di sisi lainnya, pada tahun 1800 nusak Delha memisahkan diri dari nusak Oenale dan pada tahun 1895 diakui sebagai sebuah nusak. Nusak Delha disebutkan dalam catatan awal Belanda me-rupakan nusak terakhir yang mendapat pengakuan Belanda atas keterpisahannya dari Oenale sebagai nusak sehingga akhirnya pulau Rote dibagi menjadi 18 nusak ‘kerajaan’.
Berikut ini nama-nama nusak yang diakui Belanda di pulau Rote:
1.  Landu
2.  Ringgou
3.  Oepao
4.  Bilba
5.  Diu
6.  Korbaffo
7.  Lelenuk
8.  Bokai
9.  Termanu
10.  Keka
11.  Talae
12.  Ba’a
13.  Loleh
14.  Lelain
15.  Thie
16.  Dengka
17.  Oenale
18.  Delha
Gambar 2. Peta Nusak-Nusak di Pulau Rote

C.    Pembentukan Kerajaan Empat
Kerajaan Empat dibentuk pada tahun 1898 oleh Belanda dengan menggabungkan nusak Loleh, Keka, Talae dan Bokai. Dalam perkembangannya, Kerajaan Ampat tidak bertahan lama karena masalah pemilihan raja (manek). Ketika raja dipilih dari salah satu nusak yang ada di dalam Kerajaan Ampat maka nusak yang lain menolaknya dan sebaliknya sehingga tahun 1906 Kerajaan Ampat dibubarkan karena nusak Keka, Talae dan Bokai mengadu kepada Belanda atas ketidakadilan kepemimpinan raja (manek) yang hanya berasal dari nusak Loleh sehingga keetiga nusak (Keka, Talae, dan Bokai) kembali berdiri sebagai dae-rah otonomi.
Pada tahun 1910, Belanda kembali mengaktifkan Kerajaan IV (Kerajaan Empat) yaitu nusak Keka, Talae dan Bokai bergabung dengan nusak Loleh. Dalam pemilihan manek ‘raja’, Belanda memilih pemimpin dari nusak lainnya yaitu dari nusak Diu yang bernama Ch. Manafe untuk memerintah Kera-jaan IV. Pada tahun 1916 diganti oleh raja dari nusak Termanu dan akhirnya bubar juga karena ketidak-berterimaan nusak-nusak di dalam Kerajaan IV ter-hadap raja yang berasal dari nusak lainnya.

D.    Nusak Yang Tidak Diakui
Selain nusak-nusak yang sudah diakui oleh Be-landa, terdapt pula beberap daerah yang memak-sakan diri untuk diakui status otonominya sebagai nusak yaitu sesudah tahun 1772, sebuah desa di perbatasan selatan Termanu dengan Keka dan talae yaitu Leli, Ingu Fao, dan Hoi Ledo.
Leli adalah sebuah kerajaan suku yang menjadi bawahan dari raja Pelokila dan Namodale adalah pelabuhan dari kerjaan Leli. Manek dari kerjaan suku ini adalah Leli Lalai yang merupakan keturunan dari Lalai (orang pertama yang mendiami nusak Ter-manu). Namun raja Pelokila dan manek Leli Lalai bermusuhan karena tahta yang diduduki oleh Pelokila adalah tahta Leli Lalai yang berhasil direbutnya. Pada tahun 1653, Belanda dibantu oleh nusak Korbaffo menyerang Leli dari arah timur. Karena tidak mendapat bantuan dari raja Pelokila sebagai pusat, maka Leli berhasil dikalahkan hanya dalam beberapa jam saja.
Ingu Fao mulai bergerak untuk memisahkan diri yang dimulai oleh kelompok kekerabatan dari ketu-runan bekas raja Termanu yaitu Ndaomanu. Selanjut-nya diikuti oleh Hoi Ledo, sebuah desa dekat perbatasan Termanu dengan Ba’a yang juga me-nuntut hak otonomi. Untuk menghadapi tuntutan otonomi dari daerah-daerah di dalam nusak Termanu, juga perselisihan antara nusak Delha dan Oenale mengenai kekuasaan setempta maka Belanda melalui pemimpinnya Hazaart pada tahun 1816 mulai memindahkan penduduk Ingu Fao (sekitar 300-400 orang) ke luar pulau Rote yaitu di desa Babau dan tahun 1818-1819 Hazaart memindahkan penduduk Hoi Ledo ke Pariti.

E.     Penyatuan Nusak
Pada tahun 1910, nusak Ba’a kehilangan status otonominya dan digabungkan dengan nusak Termanu dengan nama Lomakati. Akhinya tahun 1917, terjadi penggabungan nusak yang dilakukan oleh Belanda tanpa adanya pergantian raja (manek). Tahun 1917 Belanda berbicara terbuka dengan para raja nusak di Rote termasuk Ndao untuk membagi pulau Rote dalam tiga bagian yaitu Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat. Wilayah Rote Timur meliputi nusak Ringgou, Landu, Oepao, Bilba, dan Diu yang disebut dengan Lote Dae Dulu. Wilayah Rote Tengah meliputi nusak Korbafo, Lelenuk, Bokai, Talae, Keka, Loleh, Termanu, dan Ba’a yang disebut dengan Lote Talada. Wilayah Rote Barat meliputi nusak Lelain, Dengka, Oenale, Delha, Thie, dan Ndao. Dalam masa per-alihan ini, maka:
1)     Raja Termanu memimpin Rote-Talada yang me-liputi nusak Termanu, Lelenuk, dan Korbaffo;
2)     Raja Diu memimpin Dae-Dulu yang meliputi nusak Diu dan Landu;
3)     Raja Oepao memimpin Nusalai yang meliputi nu-sak Oepao dan Ringgou;
4)     Raja Dengka memimpin Loahulu yang meliputi Dengka dan Lelain;
5)     Raja Delha memimpin Bolahulu yang meliputi nusak Delha dan Oenale.
Setalah masa penjajahan, pemerintahan nusak dibubarkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1962 dan digabungkan dalam beberapa kecamatan. Namun dalam pengurusan adat, masyarakat Rote mengakui adanya keberadaan nusak.

F.     Pembentukan Kabupaten Otonom
Pada tahun 1958, pulau Rote dan sekitarnya dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah Pemerintahan Keca-matan yaitu: 1) Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerintahan di Eahun; 2) Kecamatan Rote Tengah dengan pusat Pemerintahan di Baa; dan Kecamatan Rote Barat dengan pusat Pemerintahan di Oelaba.
Kemudian pada tahun 1963 terjadi pemekaran kecamatan maka wilayah pemerintahan Rote Ndao dimekarkan menjadi 4 (empat) wilayah kecamatan yaitu: 
1.     Kecamatan Rote Timur beribu kota di Eahun
2.     Kecamatan Rote Tengah beribu kota di Baa
3.     Kecamatan Rote Barat beribu kota di Busalangga
4.     Kecamatan Rote Selatan beribu kota di Batutua.
Selanjutnya setelah berjalan empat tahun lama-nya, maka terjadilah pemekaran wilayah untuk mem-bentuk sebuah kabupaten otonom bagi pulau Rote dan sekitarnya guna memenuhi persyaratan yang dibutuhkan yaitu sebuah daerah kabupaten paling sedikit harus didukung oleh enam kecamatan admi-nistratif, maka empat kecamatan yang telah ada dibagi menjadi delapan kecamatan pada tahun 1967 yakni:
1.     Kecamatan Rote Timur dengan pusat Pemerin-tahan di Eahun
2.     Kecamatan Pantai Baru dengan pusat Pemerin-tahan di Olafulihaa
3.     Kecamatan Rote Tengah dengan pusat Pemerin-tahan di Feapopi
4.     Kecamatan Lobalain dengan pusat Pemerintahan di Baa
5.     Kecamatan Rote Barat Laut dengan pusat Peme-rintahan di Busalangga
6.     Kecamatan Rote Barat Daya dengan pusat Peme-rintahan di Batutua
7.     Kecamatan Rote Selatan dengan pusat Pemerin-tahan di Daleholu
8.     Kecamatan Rote Barat dengan pusat Pemerin-tahan di Nemberala.
Berhubung situasi keuangan negara tidak me-mungkinkan sehingga pembentukan kabupaten oto-nomi pulau Rote dan sekitarnya belum dapat di-lakukan, maka sebagai jalan keluar untuk memenuhi tuntutan keinginan masyarakat, Gubernur Nusa Tenggara Timur mengeluarkan Surat Keputusan ter-tanggal 11 April 1968 menyatakan bahwa wilayah Rote dan sekitanya dibentuk sebagai wilayah koor-dinator schap Rote Ndao dalam wilayah hukum Kabu-paten Daerah Tingkat II Kupang dan menunjuk Bapak D.C. Saudale sebagai Bupati diperbantukan dengan Surat Keputusan Gubernur tertanggal 1 Juli 1968.
Sesuai perkembangan di bidang pemerintahan, maka pada tahun 1979 terjadi perubahan status Wi-layah Koordinator Schap Rote Ndao menjadi wilayah pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, ber-dasarkan Keputusan Gubernur Nomor 25 tahun 1979 tanggal 15 Maret 1979, tentang Pembentukan Su-sunan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao, yang telah disahkan pula oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri dalam Nomor 061.341.63-114 tertanggal 8 April 1980.
Sesuai perkembangan dan dinamika masyarakat maka tahun 2000 timbulnya keinginan kuat dari mas-yarakat Rote Ndao mengusulkan pembentukan Wila-yah Pemerintahan Pembantu Bupati Rote Ndao di-tingkatkan menjadi daerah kabupaten definitif se-hingga pada tanggal 10 April 2002 oleh Pemerintah Pusat dan DPR-RI menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabu-paten Rote Ndao di Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Adapun para pejabat yang memimpin di Wilayah Koordinator Schap Rote Ndao maupun di Wilayah Pembantu Bupati Kupang untuk Rote Ndao serta di Kabupaten Rote Ndao adalah sebagai berikut:
a.  Periode 1968-1974 adalah D. C. Saudale sebagai Koordinator Schap Rote Ndao.
b.  Periode 1974-1977 adalah DRS. R. Chandra Hasyim sebagai Koordinator Schap Rote Ndao.
c.   Periode 1977-1984 adalah DRS. G. Th. Herma-nus sebagai Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
d.  Periode 1984 – 1988 adalah DRS. G. Bait seba-gai Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
e.  Periode 1988 – 1994 adalah Drs. R. Izaac seba-gai Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
f.    Periode 1994 – 2001 adalah Benyamin Messakh, BA sebagai Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao.
g.  Periode 2003 – 2008 adalah Christian Nehemia Dillak, SH sebagai Bupati Rote Ndao.
h.  Periode 2009-Sekarang adalah Drs. Lens Haning, M.M sebagai Bupati Rote Ndao.

*************



Bab 5
Nama-Nama Nusak

 







A.     Nama Adat Nusak
Setiap nusak di pulau Rote memiliki nama adat dalam bahasa Rote. Nama adat ini dalam Soh dan Indrayana (2008:61) serta Adoe (2013:69) disebut sebagai nama julukan nusak. Konon, seluruh daerah di Rote sejak dahulu sudah memiliki nama yang menurut orang Rote sendiri disebut sebagai nade makahulun ‘nama prasejarah’. Penamaan nama dae-rah-daerah ini didasarkan pada hal-hal berikut:
a.  Nama berdasarkan letak geografis
1.  Rene Langga do Tada Iko (nusak Thie)
2.  Tada Muri do Ana Kona (nusak Delha)
3.  Pia Feok do Unu Kabi (nusak Keka)
b.  Nama berdasarkan jenis tumbuhan yang banyak tumbuh
1.  Bola Tena do Sori Mori (nusak Landu)
2.  Koso Mara do Buna Huka (nusak Lelain)
3.  Henda Heti do Ningga Lada (nusak Loleh)
4.  Pena Pua do Maka Lama (nusak Ba’a)
5.  Sele Ti do Tande Bau (nusak Oepao)
c.   Nama berdasarkan tradisi atau sifat atau kebiasaan
1.  Kedi Kode do So Meo (nusak Termanu)
2.  Pengo Dua do Hilu Telu (nusak Bilba)
3.  Lenu Petu do Safe Solu (nusak Lelenuk)
4.  Pila Suek do Nggeo Deta (nusak Talae)
5.  Pele Pou do Ngafu Deta (nusak Bilba)
6.  Deta Manuk do Huru Bibi (nusak Oenale)
d.  Nama berdasarkan keadaan alam
1.  Oe Luat do Laba Oe (nusak Dengka)
2.  Londa Lusi do Batu Bela (nusak Ringgou)
3.  Medi Oe do Ndule Oe (nusak Bokai)
4.  Tungga Oli do Namo Ina (nusak Korbaffo)

B.    Nama Nusak dalam Legenda
Gambaran nama suatu tempat atau lokasi di pulau Rote dalam sejarahnya berubah berdasarkan kejadian-kejadian penting yang pernah terjadi dalam lingkungannya atau telah membuat suatu hubungan baru dalam masyarakat (Fox, 1986:22-24). Penamaan suatu daerah di Rote merupakan sebuah ciri khas yang sudah melekat dalam kehidupan masyarakat Rote sendiri. Hal ini dibuktikan dengan kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat yang memiliki setiap nama daerah baik dari tingkatan sebuah nusak hingga nama lokasi letak sebuah rumah tangga.
Penamaan nusak di Rote berasal dari sebuah kisah atau peristiwa yang pernah terjadi dalam se-jarah sebuah nusak. Dalam perkembangannya, pena-maan nusak-nusak ini kemudian diceritakan secara turun-temurun dalam sastra lisan masyarakat Rote yang dituturkan dalam cerita rakyat dan menjadi se-buah legenda nama tempat.
Setiap nusak memiliki cerita tentang legendanya sendiri dan terdapat banyak versi dalam cerita legenda nusak. Di dalam buku ini, tidak memaparkan cerita legenda tentang nama semua nusak karena kurangnya para penutur (manahelo) sejarah dan legenda nusak serta hilangnnya beberapa cerita lege-nda suatu nusak. Beberapa legenda nama nusak yang masih dikenal dalam masyarakat Rote adalah sebagai berikut;
a.  Legenda Nama Bilba
Nama Bilba dahulunya adalah Pengo Dua do Hilu Telu. Menurut sejarahnya, leluhur orang Bilba berasal dari Belu. Dalam artikel Alb. C. Kruyt berjudul De Roteneezen mengemukakan legenda penamaan nusak ini berasal dari masa ketika leluhur yang datang dari Belu. Keberangkatan para leluhur itu ke Rote membuat orang-orang Belu bertanya “Belu ba ia be?” artinya orang Belu pergi kemana? Kemudian mereka menjawab “Belu ba na Rote” yang artinya orang Belu ke Rote.
Ketika para leluhur dari Belu tiba di Rote maka mereka menduduki dan mendiami sebuah tempat di Rote bagian timur. Untuk mengenang orang-orang yang ditinggalkan maka akhirnya tempat itu disebut Beluba. Nama Beluba dalam dokumen-dokumen Belanda disebut Bilba. Istilah ini merupa-kan sistem pengucapan orang Belanda dalam menyebut nama Beluba namun oleh orang Rote disebut Beluba.

b.  Legenda Nama Lelenuk
Legenda nama Lelenuk menurut Jonker (905:399-401) bahwa pada jaman dahulu, ada seorang Cina berkulit hitam pergi menculik manusia di Soni Manu do Kokote untuk dijadikan sebagai budak di Kupang. Pada suatu hari orang Cina kulit hitam mendaratkan tujuh kapal di pela-buhan Soni Manu do Kokote. Kemudian orang-orang di dalam kapal turun ke darat untuk membujuk orang-orang di tempat itu naik ke atas kapal agar melihat pernak-pernik dengan ukiran yang sangat indah. Oleh karena itu, semua orang berbondong-bondong naik ke atas kapal untuk me-lihat pernak-pernik yang dibawa oleh kapal-kapal tersebut.
Pertama-tama, orang-orang kapal membawa raja dan semua laki-laki masuk ke kapal, kemudian disusul oleh para perempuan dan anak-anak. Ke-tika semua orang sudah naik di atas kapal maka pintu kapal ditutup lalu semuanya dibawa oleh ketujuh kapal itu ke Kupang.
Dalam penculikan masal ini, ternyata ketujuh kapal itu meninggalkan istri raja yang sudah mengetahui rencana penculikan yang dilakukan oleh orang-orang Cina berkulit hitam tersebut sehingga ia bersembunyi di dalam sebuah gua. Istri raja yang berparas cantik dan berrambut panjang it terus bersembunyi di dalam gua sampai hari men-jadi gelap. Ia mengintip dan memata-matai orang-orang di tempat itu tetapi tiada satu orang pun dilihat karena semuanya sudah dibawa oleh ketujuh kapal itu sehingga pada malam itu ia keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari menuju pinggir laut untuk mencari kapal-kapal itu namun ia tidak mendapatinya sehingga ia pun menangis dan duduk di atas pasir semalaman lamanya.
Kemudian ia kembali ke kampung itu namun tidak menemukan seorang pun yang ditinggalkan, maka ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setelah itu, ia berjalan menuju sebuah tebing yang sangat tinggi lalu melompat ke bawah namun rambutnya tersangkut pada pohon sehingga ia tidak jatuh sampai di tanah. Akhirnya jasad istri raja tersebut masih tergantung di pohon itu namun sudah menjadi batu.
Di sisi lain, orang-orang Bokai mendengar berita bahwa terdapat tujuh kapal berlabuh di Soni Manu do Kokote, namun mereka tidak mengetahui apa yang terjadi di sana sehingga orang-orang Bokai pergi melihat kapal-kapal itu namun se-sampai di sana sudah tidak satu kapal pun yang masih berlabuh di sana. Selain itu, mereka pergi ke dalam kampung ingin menanyakan tujuan keda-tangan ketujuh kapal itu kepada orang-orang di sekitarnya namun mereka tidak menemukan se-orang pun yang masih tinggal di tempat itu. Di Soni Manu do Kokote hanya terdapat kambing-kambing yang mengembik, ayam-ayam berkokok dan anjing-anjing. Kemudian orang-orang Bokai terus mencari keberadaan penduduk namun tidak dite-mukan seorang pun dan mereka hanya menemu-kan jasad istri raja yang sudah menjadi batu.
Kemudian orang-orang Bokai baru menyadari kehadiran ketujuh kapal itu lalu berkata satu sama yang lain “Kalauk ofa kahituk sila lelenu lala Soni Manu do Kokote lao-lao te ta ela hataholi esa boe” yang artinya ‘ternyata ketujuh kapal itu mem-bersihkan Soni Manu do Kokote sampai bersih sehingga tidak tersisa seorang pun’. Pada saat itu juga, orang-orang menyebut Soni Manu do Kokote dengan nama Nusa Nanalelenuk ‘Daerah Yang Dibersihkan’ kemudian disingkat menjadi Lelenuk ‘Pembersihan/ Pencucian’.
c.   Legenda Nama Termanu
Nama Termanu mempunyai banyak versi. Salah satunya menurut Fox (1986:26) bahwa sebelum dikenal nama Termanu terlebih dahulu orang menyebutnya Kedi Kode do So Meo dan Koli Oe do Buna Oe yang disingkat Koli do Buna. Konon, raja pertama nusak ini bernama Tola Manu dan menyumpahi (padak) rakyatnya agar melaku-kan pembunuhan terhadap orang-orang Belanda. Kemudian masyarakat menyebut nusak ini dengan istilah nusak nanapadaknusak yang disumpah’ yang kemudian disingkat menjadi Pada. Masya-rakat Rote pada umumnya menyebut nama nusak ini dengan nama Pada yang berasal dari sumpah raja yaitu padak.
Nama Pada hanya dikenal oleh orang Rote namun dalam dokumen-dokumen Belanda dan dalam sistem pemerintahan resmi, nama nusak ini disebut Termanu. Menurut cerita bahwa istilah Termanu berasal dari kata Tala ‘adu’ dan Manu ‘ayam’ yang pertama kalinya disebut oleh orang Ndao. Konon, pada jaman dahulu, Koli do Buna adalah sebuah pelabuhan besar dan banyak pe-rahu dagang tidak pernah berhenti mengunjungi Roti serta mereka biasanya berlabuh di sebuah kota di Termanu yang bernama Leleuk. Orang-orang yang mengunjungi pulau Rote berasal dari Buton, Makasar, Solor, Sawu dan Ndao untuk menyelenggarakan adu ayam (lakatatalak manu). Di sisi lain, orang Ndao yang sedang mengerjakan emas di Dengka dan Thie mendengar bahwa terdapat pertandingan adu ayam di Leleuk (Termanu) sehingga mereka datang namun ketika dalam perjalanan, mereka menjumpai orang Rote dan bertanya “mau kemana orang Ndao?” karena mereka tidak memahami bahasa Rote dengan baik maka mereka tidak mengatakan bahwa kami akan mengadu ayam (ami miu makatatalak manu yang dalam dialek Thie adalah makatatarak manu fa), tetapi mereka mengatakan tara manu (beradu ayam). Setelah itu, orang menyebut nusak ini adalah nusak yang menyelenggarakan adu ayam (nusa makatatala manuk) tetapi orang Ndao menyebutnya nusak matara manunusak beradu ayam’ yang dalam bahasa Melayu disebut negeri Tarmanu.
Menurut cerita lain dikatakan bahwa leluhur pertama Pada datang dari Amfoang (Timor) dan di sebuah tempat  yaitu Lelogama terdapat sebuah sungai yang sampai sekarang disebut Termanu sehingga ketika leluhur datang menetap di Rote maka tempat itu kemudian dinamakan Termanu yang diambil dari nama sungai tempat asal leluhur orang Termanu.
d.  Legenda Nama Talae
Legenda nama Talae menurut A. Zacharias dalam Mboeik dkk (1985:129-132) bahwa pada jaman dahulu ada 2 (dua) orang Keka yang bernama Pena Ngeu dan Dui Lepa tinggal di suatu tempat bernama Oenadale yang sekarang disebut Pepena’ain. Pada suatu hari, Pena Ngeuk dan Dui Lepa melihat seekor kerbau betina dan seekor babi jantan milik raja Keka berada di dalam sebuah danau. Keduanya karena takut kemudian berkata “talai” yang artinya “mari kita lari”. Kemudian mereka berlari ke arah timur dan tiba di nusak Ingguoe yang kemudian nusak itu diganti namanya menjadi Talae yang berasal dari kata talai ‘mari kita lari’.
e.  Legenda Nama Loleh
Menurut A. Zacharias dalam Mboeik dkk (1985:116-124) bahwa dahulu Loleh bernama Henda Heti do Ningga Lada. Namun karena raja pertama nusak ini bernama Loleh Tosu yang memerintah dengan kerendahan hati dan dapat menyejahterakan masyarakat di nusak ini, se-hingga raja Loleh Tosu sangat disayangi dan dise-gani oleh masyarakat. Untuk memperingati nama-nya maka nusak ini kemudian dinamakan Loleh yang adalah nama dari raja pertama nusak ini.
f.    Legenda Nama Thie
Berdasarkan hasil wawancara A. Zacharias dalam Mboeik dkk (1985:124) bahwa nama Thie adalah Tada Muri do Rene Kona yang kemudian dikenal dengan nama Thie. Nama Thie diambil dari nama leluhur pertama orang Thie yaitu Thi Mau yang merupakan anak dari Mau Bessie yang menetap di Belu dan merupakan saudara dari Belu Mau, Savu Mau dan Lote Mau. Oleh karena itu, nusak ini kemudian dinamakan Thie.
g.  Legenda Nama Lelain
Legenda nama Lelain menurut A. Zacharias dalam Mboeik dkk (1985:125-126) bahwa nama Lelain berasal dari para penjaring udang dan pen-cari kepiting pada jaman dahulu ketika mereka memperoleh hasil tangkapannya, lalu menyimpan-nya di atas sungai (le lain ‘di atas sungai’) untuk dibersihkan setelah itu baru dimasukan ke dalam tempat penyimpanan mereka. Oleh karena itu tempat itu kemudian disebut Lelain.
Legenda Lelain dalam versi lainnya bahwa nama itu berasal dari kata lelaik ‘berlari’. Menurut ceritanya, orang-orang Lelain datang dari Bokai namun karena mereka ingin merampas kedudukan raja (manek) sehingga mereka diusir oleh raja Bokai sekitar 30 laki-laki. Kemudian mereka pergi kea rah barat dan tiba di nusak Dengka dan seijin raja Dengka, mereka menetap di So’edale namun karena di sana terdapat banyak nyamuk sehingga mereka kembali meminta raja Ba’a untuk diberikan tempat tinggal. Kemudian raja Ba’a memberikan sebuah tempat di nusak Ba’a bernama Osipoka. Nama Osipoka kemudian diganti menjadi Lelain karena sesuai dengan sejarah perjalanan orang-orang Lelain yang sering berlari (lelaik) dari satu nusak ke nusak yang lain.
h.  Legenda Nama Oenale
Legenda nama Oenale menurut A. Zacharias dalam Mboeik dkk (1985:127) yaitu disebutkan bahwa Oenale dahulunya bernama Deta Manu do Huru Bibi. Dikenal nama Oenale karena dahulu ada 2 (dua) orang tinggal di daerah itu yaitu yang bernama Nalle Pandik dan Suka Losik. Nalle Pandik adalah seorang peramal masa depan (manadeta nalek) sedangkan Suka Losik adalah pencari mata air (manalosi oe). Dalam kese-hariannya Suka Losik mampu menemukan sumber mata air tanpa melakukan penggalian (losi oe) sedangkan Nalle Pandik mampu menafsirkan nasib keberuntungan atau masa depan seseorang (deta nalek). Oleh karena pekerjaan mereka yang semakin dikenal oleh seluruh nusak, maka kemu-dian tempat tinggal kedua orang itu disebut Oenale yaitu oe ‘air’ dari Suka Losik dan nale ‘keber-untungan’ dari Nalle Pandik.

C.    Nama Sindiran Nusak
Penggunaan nama sindiran setiap nusak mem-berikan kesan yang negatif terhadap masyarakat, karena dianggap merupakan sebuah pelecehan ter-hadap kehormatan nusak dan mencederai ego nusak sentries jika penggunaannya tidak pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, dibutuhkan kehati-hatian dalam menggunakan nama sindiran sebuah nusak. Berikut nama-nama sindiran nusak dan arti harafiah serta implikasi kehidupannya.
a.     Thie
Nama sindiran Thie adalah Thie manaboke Boa ‘orang Thie biasanya masuk ke hutan bakau’. Penamaan ini didasarkan pada sikap orang-orang Thie ketika menghadapi sebuah serangan dari nusak lainnya yakni ketika orang Thie dikepung oleh musuh maka salah satu jalan yang ditempuh untuk menghindari serangan adalah bersembunyi di dalam hutan bakau yang dalam kenyataannya orang tidak mungkin bisa masuk ke dalam sebuah hutan bakau. Oleh karena itu, mereka kemudian dijuluki sebagai manaboke boa (turun ke hutan bakau).
b.     Dengka
Nama sindiran Dengka adalah Dengka Tafa Na’ak ‘orang Dengka dimakan pedang’. Sejak dahulu, orang Dengka dikenal sebagai salah satu nusak yang suka berperang. Kebiasaan ini kemudian dikecam oleh orang-orang di nusak lainnya sehingga mereka disumpahi bahwa pada suatu saat orang Dengka mati karena pedang atau dimakan pedang (tafa na’ak).
c.      Delha
Nama sindiran Delha adalah Delha Mana’a No ‘orang Delha pemakan kelapa’. Delha merupakan salah satu daerah penghasil kepala di pulau ini. Kebiasaan umum masyarakat Delha dalam hal mengelola kepala adalah tidak mementingkan membuat olahan kelapa namun buah kelapa yang masih muda selalu diambil dan dimakan, sehingga mereka dijuluki sebagai pemakan kelapa (mana’a no).
d.     Oenale
Nama sindiran Oenale adalah Oenale Nafi Teik ‘orang Oenale pemakan isi perut teripang’. Kebiasaan masyarakat di daerah ini umumnya bermata pencaharian sebagai pelaut/nelayan. Ha-sil utama dari nelayan di daerah ini adalah teripang (nafi). Keseringan mengonsumsi teripang membuat masyarakat di daerah ini kemudian dijuluki sebagai hataholi nafi teik ‘orang yang biasa makan isi perut teripang’.
e.     Lelain
Nama sindiran bagi orang-orang yang berada di Lelain adalah Lelain da’a Tuak ‘orang Lelain kikir tuak’. Istilah ini diberikan kepada orang-orang Lelain karena pada dasarnya lontar merupakan satu-satunya mata pencaharian penunjang hidup di daerah ini sehingga kebanyakan orang secara rutin memanfaatkan lontar untuk memenuhi kebu-tuhan hidupnya seperti membuat gula merah, gula lempengan, gula air dan arak. Untuk memperoleh hasil yang banyak dibutuhkan perjuangan untuk mengelolah lontar yang besar sehingga mereka sendiri tidak pernah membagi-bagikan hasil lontar kepada orang lain selain melalui proses jual-beli. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai kikir nira (da’a tuak).
f.       Ba’a
Nama sindiran Ba’a adalah Ba’a Su’u De’ek ‘orang Ba’a pemakan biji sukun’. Ba’a merupakan nusak yang banyak ditumbuhi pohon sukun (su’uk). Buah sukun banyak dimanfaatkan seba-gai bahan makanan namun bagi orang-orang Ba’a selain buahnya (su’u boak), biji sukun (su’u de’ek) juga dapat dijadikan sebagai makanan yang dijadikan sebagai makanan. Dalam prosesnya, biji sukun diambil dan dibakar atau direbus untuk dimakan sehingga orang-orang Ba’a kemudian dijuluki sebagai biji sukun (su’u de’ek).
g.     Termanu
Nama sindiran orang Termanu adalah Termanu Pada Hena Boak ‘orang Termanu pemakan buah pandan’. Secara umum, nusak ini ditumbuhi banyak pohon pandan (henak). Buah pandan (hena boak) juga dapat dimanfaatkan oleh mas-yarakat sebagai makanan. Buah pandan yang sudah diturunkan dari pohonnya dibelah dan di-ambil isinya untuk dimakan. Oleh karena itu, orang-orang di nusak ini kemudian dijuluki seba-gai buah pandan (hena boak).
h.     Keka dan Talae
Nama sindiran kedua nusak ini adalah Keka Manalepa Bongo ‘orang Keka pemikul Bongo’ dan Talae Manalepa Bongo ‘orang Talae pemikul Bongo’. Kedua nusak ini mempunyai kebudayaan dan kebiasaan atau adat-istiadat serta dialek ba-hasa yang sama. Kebiasaan membawa gula dan air yang diisi di dalam buah pohon maja (bongo) ketika melakukan suatu perjalanan menjadikan kedua nusak ini kemudian dijuluki sebagai mana-lepa bongo ‘pemikul bongo’.
i.       Loleh
Nama sindiran terhadap orang-orang di Loleh adalah Lole Ba’u Ngge ‘orang Loleh pemikul makanan’. Istilah ini berdasar pada kebiasaan orang-orang Loleh yang selalu membawa bekal berupa makanan dan minuman ketika melakukan perjalanan baik dalam jarak dekat maupun jarak jauh.
j.       Daeduluk (Bokai, Korbaffo, Bilba, Lelenuk, Diu, Oepao. Ringgou dan Landu)
Nama sindiran nusak-nusak yang terdapat di Rote Timur adalah Daedulu Manana’a Lamak ‘orang Rote timur pemakan belalang’. Nama sindiran ini diberikan pada beberapa nusak ini karena kebia-saan mengonsumsi belalang (lamak) yang tidak dikonsumsi oleh nusak-nusak di bagian barat pulau Rote. Hal ini sesuai dengan sejarahnya bahwa pulau Rote dibagi dalam dua bagian yaitu lamak anan ‘manusia pemakan belalang’ yaitu orang-orang Rote bagian timur dan henak anan ‘manusia pemakan pandan’ yaitu orang-orang Rote yang berada di bagian barat.

*************





Bab 6
Raja-Raja Nusak
 





Masyarakat Rote pada dasarnya telah dibentuk dalam sebuah daerah swapraja sejak kedatangan Belanda ke pulau ini. Daerah swapraja ini disebut nusak dan dapat disejajarkan dengan kerajaan. Setiap nusak memiliki pemimpinnya sendiri yang disebut manek ‘raja’. Berikut ini, raja-raja yang pernah memerintah di setiap nusak di Pulau Rote yang dibagi berdasarkan wilayah yaitu: wilayah Rote Timur, Rote Tengah dan Rote Barat.

A.     Raja-Raja Nusak di Wilayah Rote Timur
Wilayah Rote Timur meliputi nusak Ringgou, Landu, Oepao, Bilba, dan Diu yang disebut dengan Lote Dae Dulu.

1.     RINGGOU
Data tentang raja yang memerintah Ringgou atau Rikou tidak tercatat namun dalam beberapa sumber menyatakan bahwa raja-raja yang pernah memerintah Ringgou adalah Baai Ama Toulima (1830-1873), Nahum Leli (1874-1877) dan Tu’u Toulima Daud (1878-1888). Raja Petrus Mesak Daudale (raja Talae) pernah memerintah yang masa pemerintahannya berakhir tahun 1911 (Soh dan Indrayana, 2008:30).
Raja N. D. Daud yang berkuasa di Ringgou sekitar tahun 1911 sampai 1949 dan digantikan oleh raja St. Daud yang berkuasa tahun 1949. Dalam sumber lain menyatakan adanya raja Christian D. J. Daud yang juga pernah memerintah di Ringgou namun tidak disebutkan masa pemerintahannya.

2.     LANDU
Menurut catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:28) bahwa raja yang pernah memerintah Landu adalah Paulus Daylafo (1851-1854), Geolima Yohannis (1855-1870), Abraham Yohannis (1871-1874), Yohanes Yahannis (1875-1883), Yosep Willem Yohannis (1884-1905), Daud Yohannis (1906-1908), Lazarus Yosep Willem Yohannis (1908-1916).
Dalam lampiran Soh dan Indrayana (2008:286) tercatat raja yang memerintah Landu pada tahun 1673 adalah Meno Balo. Masa pemerintahannya sampai tahun 1703. Setelah itu diganti oleh Belkamo yang memerintah dari tahun 1703-1725. Pada tahun 1725, Belkamo digantikan oleh anak Meno Balo yaitu Dale Meno dan memerintah sampai tahun 1732. Kemudian Dale Meno diganti oleh saudaranya, Angi Meno yang memerintah dari tahun 1732 sampai 1736.
Angi Meno digantikan oleh anak Belkamo yaitu Geolima Belkamo dan berkuasa dari tahun 1736 sampai 1756. Setelah masa pemerintahan raja Geolima Belkamo, raja-raja yang pernah memerintah Landu adalah Bane Dale (1757-1775), Bane Dailafa (1775-1783), Nai Lasa Bane (1784-1790), Ba Bane (1790-1792), Suzas Bane (1792-1803), Adi Bane (1803-1832), Ndu Adi (1832-1883), Dale Bane atau Yusuf Wilem Johannis (1883-1905), Daud Willem Johannis (1906-1908), Lasarus Yusuf Willem Johannis (1908-1916), Matheos Yusuf Willem Johannis (1916-1960), Marthen Matheos Johannis (1960-1966).

3.     OEPAO
Dalam sejarah Oepao, daftar tentang kekuasaan raja tidak banyak diperoleh. Raja-raja yang pernah berkuasa adalah raja Simon Sijoen yang berkuasa dari tahun 1844 sampai 1868, raja Yosef Sijoen yang berkuasa dari tahun 1869 sampai 1886, dan raja Hendrik Sijoen yang masa pemerintahannya mulai dari tahun 1887 sampai 1912.

4.     BILBA
Bilba telah diakui oleh Belanda dalam perjanjian pertamanya yaitu pada tahun 1662. Menurut Soh dan Indrayana (2008:25) bahwa raja yang pernah memerintah Bilba adalah 1) Lenggu Saba (1830-1868); 2) Pieter Lenggu (1869-1870); 3) David Lenggu (1870-1873); 4) Pieter Lenggu (1874-1884); 5) Alexander Nero Lenggu (1885-1886); 6) Pedaana Mangaloe Saba (1886-1895); 7) Alexander Nero Lenggu (1896-1908); dan 8) Solaiman Saba (1909-1927).
Menurut Mesakh M. Lona (61) bahwa raja pertama yang memerintah Bilba adalah adalah sebagai berikut: 1) Solu Tupa; 2) Balube; 3) Teo Baluk; 4) Saba Teon; 5) Lengu Saba; 6) Sisa Thelik; 7) Saba Lenggu; 8) Aok Lenggu; 9) Alexander Nero Lenggu; 10) Manafe Aok; 11) Soleman Pedaama Mangalae Saba; 12) Yusuf Saba; 13) M.J. Lenggu; 14) Abram Therik; 15) Marthen Lenggu; dan 16) Arnulus Thei.
Dalam sumber lain menyatakan bahwa raja pertama Bilba adalah Manggarai yang memerintah dari tahun 1660 sampai1662) dilanjutkan dengan raja Reti (1673-1677); dan Lase Reti (1677-1680). Lase Reti kemudian digantikan oleh Theon Manggarai (anak dari Manggarai) yang memerintah pada tahun 1691-1698). Theon Manggrai digantikan oleh sau-daranya Kappa Manggarai yang memerintah dari tahun 1698 sampai 1712. Raja Kappa Manggarai memerintah selama 13 tahun kemudian diganti oleh Balok Theon (anak Theon Manggarai) dan meme-rintah antara tahun 1712 sampai 1749.
Raja Bilba setelah Balok Theon adalah Jyu Solu (1749-1768); David Solu Tupa (1768-1783); Theon Balok (1783-1830); Lenggu Saba (1830-1868); Pieter Lenggu (1868-1868 dan 1874-1884); David Lenggu (1870-1874); Alexander Nero Lenggu (1884-1886 dan 1895-1908); Pedama Mangalai Saba (1886-181895); Soleman Pedama M. Saba (1908-1928); Yusuf Saba (1925-1926); Abraham Therik (1926-1936); Mathias Alexander Lenggu (1937-1948); dan Marten Lenggu (1948-1968). Data ini dimodifikasi dari Adoe, 2013:116 dan Soh dan Indrayana, 2008:288).

5.     DIU
Data tentang raja-raja pertama di Diu tidak diper-oleh tetapi dalam catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:26) bahwa raja-raja yang pernah memerintah Diu adalah Yakobus Manafe (1815-1857), Detan Manafe (1858-1879), Tafi Lio (1878-1884), Yakobus Paulus Manafe (1885-1887), dan Paulus David Manafe (1906-1911). Pada tahun 1917 Diu bergabung dengan Landu menjadi sebuah daerah swapraja baru yang disebut Dae Dulu ‘tanah timur’ yang dipimpin raja Diu yaitu Paulus David Manafe (1917-1950).

B.    Raja-Raja Nusak di Wilayah Rote Tengah
Wilayah Rote Tengah meliputi nusak Korbafo, Lelenuk, Bokai, Termanu, Keka, Talae, Loleh, dan Ba’a serta Kerajaan Empat yang disebut dengan Lote Talada.

1.     KORBAFFO
Dalam catatan L. J. Van Dijk dalam Soh dan Indrayana (2008:28) menyatakan raja-raja yang per-nah memerintah Korbaffo adalah Kaliaman Bibikote (1851-1852), Loekas Pakoeko (1853-1859), Yassok Manubulu (1860-1873), dan Soleman Isak Manubulu (1907-1918). Namun dalam lampiran Soh dan Indrayana (2008:285) mencatat genealogi raja Korbaffo dimulai dari raja Pelau yang memerintah tahun 1660 sampai tahun 1662. Selanjutnya adalah raja Ndun (1662-1690), Sadok (1690-1694), dan Pikatik (1692-1740). Pada tahun 1718 diangkat Leuana Angi menjadi raja tetapi dalam tahun yang sama diganti kembali oleh Pikatik dan memerintah sampai tahun 1740.
Raja-raja yang memerintah Korbaffo setalah Pikatik adalah Leuana Leuana (1740-1781), Lodong Dozain (1781-1800), Pelo Lodong (1800-1832), Leuana (1832-1851), Kaliaman Bibikote (1851-1852), Lukas Pakuleu (1853-1859), Yessak Manubulu (1860-1873), Soleman Isak Manubulu (1873-1922), Cornelis Izaak (1922-1926), dan Christian Paulus Manubulu (1926-1989).
Dalam sumber lain menyatakan bahwa raja yang pernah memerintah Landu adalah Pakuleo Noak yang memerintah sekitar tahun 1628 atau 1630 sampai tahun 1749. Pada tahun 1918, Korbaffo digabungan menjadi satu bagian Rote Talada.

2.     LELENUK
Data raja pertama yang memerintah di Lelenuk tidak ada namun Soh dan Indrayana (2008:29) menyebutkan beberapa raja yang pernah memerintah di Lelenuk yaitu Toka Laloe (1815-1852), Meloek Teloen (1853-1876), Hendrik Toka (1877-1885), dan Soleman Dayk (1886-1919). Pada tahun 1919 Lelenuk disatukan menjadi Lote Talada.

3.     BOKAI
Bokai diakui sebagai sebuah daerah otonomi oleh Belanda pada tahun 1756. Raja-raja yang pernah memerintah adalah Doepe Geo yang memerintah sampai tahun 1851. Doepe Geo digantikan oleh Doeloe Doepe yang memerintah antara tahun 1852 sampai 1868. Setelah itu, pemerintahan dilanjutkan oleh Sima Saede Kappa (1869-1875), Salomon Doeloe (1874-1877), Mateus Doeloe Doepe (1888-1892), Tan Todik (1894-1906), dan Tae Taka (1907-1911) (Soh dan indrayana, 2008:25-26).
Bokai menjadi salah satu anggota Kerajaan Empat dan dipimpin oleh raja-raj dari luar. Namun dalam artikel lainnya disebutkan bahwa raja terakhir yang memerintah Bokai adalah Herman Dupe yang masa pemerintahannya sekitar tahun 1949.

4.     TERMANU
Menurut Fox (1971:51-52) bahwa raja pertama yang memimpin Termanu adalah Ma Bula. Dalam struktur pemerintahan di Rote menggunakan sistem dinasti sehingga Ma Bula kemudian diganti oleh anaknya Muskanan Mak. Muskanan Mak digantikan oleh anaknya bernama Kila Muskanan. Selanjutnya raja Termanu berturut-turut adalah Kelu Kila, Leki Kelu, Amalo Leki, Tolamanu Amalo (Tola Manu) dan Seni Tola.
Selanjutnya raja yang dapat didata berdasarkan tahun kekuasaannya adalah Kila Seni (anak dari Seni Tola) tahun 1660-1681, Pelo Kila (1681-11691), Sinlae Kila (1700-1737), Ndaomanu Sinlae (1737-1746),[2] Fola Sinlae (1746-1771), Muda Fola (1771-1776), Sadok Ndaomanu (1776-1786), Amalo Muda (1786-1817), Mauk Amalo (1827-1832), Kiuk Pelo (1832-1851), Fanggidae Kioek (1851-1859), Pelo Keloeanan (1860-1875), Kila Muskanan atau Stefanus Paulus Amalo (1875-1887), Dama Balo atau Soleman Pella (1888-1892), Napu Keluanan atau Yohanes Yeremias Amalo (1892-1912), Funu Keluanan atau Yohanes Yeremias Michael Amalo (1912-1941), Gotlief Christian Jermias Michael Amalo (1942-1943), Albert Christian Jermias Michael Amalo (1944-1946), Ernest Johanis Jermias Michael Amalo (1947-1966).
Pada tahun 1912, Termanu digabungkan dengan Baa membentuk kerajaan baru yaitu Lomakoli yang pada tahun 1918 digabungkan lagi menjadi wilayah Rote Tengah di bawah pemerintahan Johanis Jermias Michael Amalo. Data ini dimodifikasi dari Fox, 1971:59; Soh dan Indrayana, 2008:283).

5.     KEKA
Raja-raja yang pernah memerintah Keka adalah Lole Malelak (1844-1873), Yosef Malelak (1874-1887), Laazar Malelak (1888-1895), Daniel Petrus Zacharias (1896),[3] dan Karel Ko’o Anak (1907-1911). Dalam data lain menyebutkan raja Karel leoanak Foeh pernah memerintah Keka namun tidak diketahui masa kepemimpinannya (Soh, 1996:34).

6.     TALAE
Masa pemerintahan raja-raja di Talae ditulis oleh L.J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:32) yaitu Pena Dethan (1830-1868), Yacob Pena Dethan (1869-1889), Ishak Yacob Pena Dethan (1890), dan Petrus Mesakh Saudale (berkuasa sampai tahun1911). Dalam sumber lainnya menyatakan bahwa raja M. M. Saudale pernah berkuasa di Talae pada tahun 1949.

7.     LOLEH
Cerita tentang raja pertama Loleh terdapat di dalam beberapa syair yang dikenal orang Rote. Raja pertama orang Loleh bernama Loleh Tosu. Dalam silsilah raja, Jermias Mbado (62) mengungkapkan silsilah raja yang berlangsung secara dinastik setelah masa pemerintahan Loleh Tosu adalah Silu Loleh, Ninggarai Silu, Silu Ninggarai, Mbesa Siluk, Manumbui Mbesa, Hu’a Manumbui, Suilima Hu’a, Hu’a Suilima dan Ndi’i Hu’a. Masa pemerintahan Ndi’i Hu’a di Loleh diperkirakan tahun 1740-an.[4]
Walaupun tidak ada terdapat data yang lengkap tentang raja pertama Loleh, namun sistem genealogi raja menjadi sebuah panduan yang secara potensial diyakini sebagai bukti sejarah para raja yang meme-rintah di Loleh.
Dalam catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:29) bahwa raja yang pernah memerintah Loleh adalah Yakobus Zacharias (1860-1863), Daniel Petrus Zacharias (1884-1906),[5] Paulus Soleman Zacharias (1906), Erasmus Yakobus Zacharias (1907-1910). Sedangkan dalam sumber lain menyatakan bahwa raja terakhir Loleh adalah Soleman Zacharias.

8.     BA’A
Ba’a diakui oleh Belanda pada tahun 1690 namun dalam berbagai sumber tidak disebutkan raja yang memerintah pertama kali di Ba’a. Namun dalam banyak sumber mengungkapkan bahwa raja yang pernah memerintah Ba’a adalah Tou Dengga Lilo yang masa pemerintahannya bersamaan dengan raja Foe Mbura di Thie dan raja Ndi’i Hu’a di Loleh. Menurut Soh dan Indrayana (2008:25) menyatakan bahwa raja-raja yang pernah memerintah Ba’a ada-lah:
1)     Moeskanan Pandi yang memerintah sampai tahun 1854).
2)     Yohannes Moeskanan yang memerintah antara tahun 1855 sampai 1862.
3)     Alexander yang memerintah pada tahun 1863 sampai 1873.
4)     Doen Moeskanan yang memerintah dari tahun 1874 sampai 1883.
5)     Loesia Detaq yang memerintah dari tahun 1884 sampai 1887.
6)     Yasaja Dae Pani yang memerintah dari tahun 1888 sampai 1895.
7)     Paulus Dae Pani yang memerintah dari tahun 1896 sampai 1905.
8)     Moeskanan Toele Foe yang memerintah dari tahun 1905 sampai 1911.
Dalam catatan lain bahwa raja Ba’a sebelum tahun 1957 adalah I. D. Panie yang diberhentikan pada tahun 1957. Sedangkan dalam dokumen Donald P. Tick yang dikutip Soh dan Indrayana (2008:34) bahwa salah satu raja yang memerintah Ba’a adalah Solaiman Detag yang masa pemerintahannya ber-samaan dengan raja Ch. P. Manubulu di Korbaffo, raja Matheos Yohannis di Landu, raja Alexander Paulus Tungga di Dengka, dan raja Christian Jermias Amalo di Termanu.
Menurut Adoe, 2013:118 bahwa raja terakhir Ba’a adalah Paulus Dae Pani yang memerintah dari tahun 1922 sampai tahun 1956. Pada tahun 1912 Ba’a digabungkan dengan Termanu dengan nama Loma-keti di bawah pemerintahan raja Termanu.

9.     KERAJAAN AMPAT
Kerajaan Empat terbentuk pada tahun 1898 terdiri dari Nusak Loleh, Keka, Talae dan Bokai yang di-pimpin oleh raja Loleh, Daniel Petrus Zacharias. Masa pemerintahan raja ini dari tahun 1898 sampai tahun 1905. Setelah itu diganti oleh Paulus Soleman Zacharias. Pada tahun 1906, kerajaan ini dibubarkan oleh Belanda karena pengaduan kerajaan lain karena ketidakadilan dalam pemilihan raja.
Pada tahun 1910, kerajaan ini dibentuk lagi dengan anggota nusak yang sama, namun pemimpin-nya diambil dari Termanu yaitu raja C. Manafe dengan masa pemerintahannya dimulai dari tahun 1910 sampai 1916. Pada tahun berikutnya, C. Manafe digantikan oleh Christian Michael Amalo dan meme-rintah sampai tahun 1918 ketika kerajaan ini diga-bungkan dengan Termanu, Korbaffo dan Lakimola menjadi Lote Talada.

C.    Raja-Raja Nusak di Wilayah Rote Barat
Wilayah Rote Barat meliputi nusak Lelain, Thie, Dengka, Delha, dan Oenale.

1.     LELAIN
Banyak sumber mengungkapkan raja yang per-nah memerintah Lelain bernama Ndara Naong yang masa kepemimpinannya bersamaan dengan raja Foe Mbura di Thie dan raja Ndi’i Hu’a di Loleh. Sedangkan dalam Fox, 1996: 149 mengungkapkan adanya raja yang pernah memerintah Lelain adalah Naho Dali (Nau Dale).[6]
Catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:28) bahwa raja-raja yang pernah memerintah Lelain adalah Markus Meoh (1855), Sangoe Besi (1855-1868), Thomas Markus Doengoe (1869-1877), Tesa Doengoe (1878-1879), Besi Doengoe (1880-1889), Thobias Marthinus Doengoe (1890-1905), Simon Besi (1906-1919). Dalam sumber lain disebutkan bahwa salah satu raja yang meme-rintah Lelain adalah Yunus Besi dan diyakini sebagai raja terakhir Lelain.

2.     THIE
Raja pertama yang memerintah Thie adalah Saku Nara (anak dari Nara Resi)[7] yang berasal dari Suku Taratu. Saku Nara memerintah dari tahun 1565 sampai tahun 1600. Saku Nara digantikan oleh Lunggi Helo dari Suku Tolaumbuk yang memerintah dari tahun 1600 samapi tahun 1625 (Haning, 2013:81-82). Setelah Lunggi Helo, raja-raja yang memerintah Thie adalah Pandi Tule dari suku Bibimane (1625-1638), Mbura La’e (1638-1639),[8] Mesah Mbura (1639-1657),[9] Henu Hani (1657-1660), Moi Mesah (1660-1665),[10] Nale Mesah (1665-1690),[11] Mbura Mesah (1690-1729),[12] Foe Mbura (1729-1747), Toukay Pa atau Daniel Toukay Pah (1747-1749), Mbura Toukay atau David Mbura Toukay (1749-1771), Beli Alu Pa atau Bastian Mbura Mesah (1771-1783),[13] Nggau Pandi (1783-1791), dan Pa Besi Alu (1791-1811), Kobi Pa atau Jakobis Messakh (1811-1816).
Setelah Kobi Pa memerintah, diangkatnya Pandi Foeh selama 3 bulan yaitu pada tahun 1816 setelah itu diganti oleh Baba Henu yang memerintah dari tahun 1816 sampai 1841. Raja-raja setelah masa pemerintahan Baba Henu adalah Ndu Kobi atau Thobias Messakh (1841-1861), Urai Ndu atau Paulus Messakh (1861-1882), Helo Ndu atau Jonas Nikolas Messakh (1882-1907), Modo Helo atau Salmun Jonas Messakh (1907-1917), Lani Helo atau David Jakobis Messakh (1917-1921), Foeh Moi atau Gabriel Mbate Mooy (1922-1927), Ndu Helo atau Thobias Arnoldus Messakh (1927-1931), Pa Helo atau Yermias Wilhelmus Messakh (1931-1943 dan 1946-1953), Welhelmus Mbatemooy menjadi raja selama 7 bulan yaitu pada tahun 1944.
Selain itu juga D. C. Saudale pernah diangkat menjadi raja ad interim Thie yang menggantikan Wilhelmus Mbatemooy yaitu pada tahun 1944 sampai tahun 1945. Pada tanggal 25 Mei 1945, dilantiknya Yusuf N. Messakh menjadi raja menggantikan D. C. Saudale. Kemudian diangkat kembali Yermias Wilhelmus Messakh menjadi raja dari tahun 1946-1953. Raja-raja sesudah itu adalah Loti Hani atau Hermanus Haning dari tahun 1953-1956, Jakobis Arnoldus Messakh dari tahun 1956-1962 dan Thobias A. Messakh dari tahun 1962-1970 (Haning, 2013:81-104; Soh dan Indrayana, 2008:287; Messakh, 2007).

3.     DENGKA
Berdasarkan catatan L. J. Van Dijk yang dikutip oleh Soh dan Indrayana (2008:27) tidak menyebutkan raja pertama yang memerintah Dengka namun menyebutkan beberapa raja yang pernah memerintah yaitu Tongah Kotek (1854-1858), Adoe Tongah (1859-1890), Paulus Adoe Toenggah (1891-1903), Alexander Toenggah (1904-1906), dan Alexander Paulus Toenggah (1907-1911).
Dalam lampiran Soh dan Indrayana (2008:285) tentang silsilah raja Dengka bahwa raja pertama yang memerintah Dengka adalah Tullia yang memerintah dari tahun 1662 sampai 1696. Selanjutnya raja yang memerintah secara berurutan adalah Henuk Kane (1697-1727), Manafe Henuk (1727-1779), Andreas Henuk (1779-1800), Pah Manafe (1800-1803), Doki Pah Manafe (1803-1832), Bauk (1832-1854), Tungga Koten (1854-1858), Adoe Tungga (1859-1890), Paulus Adoe Tungga (1891-1903), Alexander Tungga (1904-1906) dan Alexander Paulus Tungga (1907-1911).

4.     DELHA
Menurut Soh dan Indrayana dengan mengutip catatan L. J. Van Dijk bahwa raja-raja yang pernah memerintah Delha adalah Yeremias Ndoen (1884-1885) dan Yeremias Daniel Ndoen (1886-1911). Pada tahun 1911, Delha bergabung dengan Oenale membentuk daerah swapraja baru yang disebut Bola Holu.
Haning, 2013:47 menyebutkan raja Lelain yang memerintah dari tahun 1935 sampai 1966 adalah Abner Ndun. Raja ini adalah raja terakhir yang ber-kuasa di Lelain.



5.     OENALE
Informasi tentang raja-raja di Oenale tidak banyak diperoleh. Menurut L. J. Van Dijk yang dikutip Soh dan Indrayana (2008:30) bahwa raja-raja yang memerintah di Oenale adalah raja Mesak Giri yang memerintah dari tahun 1844 sampai 1868. Setelah masa kepemimpinan raja Mesak Giri, berturut-turut raja yang memerintah Oenale adalah Yacob Mesak Giri (1869-1895), Soleman Mesak Giri (1896-1901), dan Thobias Mesak Giri (1901-1911). Pada tahun 1916, Oenale disatukan dengan Delha membentuk swapraja baru yang bernama Bolaholoe.

Dalam rencana penyatuan kerajaan-kerajaan di Pulau Rote, maka pemerintah Hindia Belanda dalam Zelfbestuur Regeling Besluit Gubernemen tanggal 31 Oktober 1928 Nomor 27, diangkat J. S. Kedoh menjadi raja untuk Pulau Rote dan sekitarnya dan menjadi raja pertama Rote Ndao.

*************



Bab 7
Organisasi Sosial Nusak
 







A.     Konsep Leo
Masyarakat Rote mengenal adanya pembagian suku yang mendiami setiap nusak dan masing-masing dari nusak tersebut memiliki klasifikasinya sendiri-sendiri mengenai pembagian sukunya. Pembagian orang Rote dalam suku itu disebut leo. Pengertian leo secara umum adalah organisasi sosial masyarakat yang terdiri dari keluarga-keluarga batih yang lahir dari satu keturunan tertentu. Dalam sebuah leo ter-dapat beberapa marga yang memiliki hubungan ketu-runan yang sangat berdekatan dan dalam adat-istia-datnya tidak diperkenangkan untuk terjadi perkawinan dalam satu suku karena dianggap sebagai satu ke-luarga.
Berdasarkan tradisi orang Rote, leo merupakan sebuah organisasi sosial yang berasal garis ketu-runan dari laki-laki yang bersifat patrilinear mem-bentuk kerjasama antara kerabat dalam suatu ketu-runan dari leluhur. Sebuah leo atau suku hanya memiliki seorang pemimpin yang disebut maneleo ‘kepala suku’. Biasanya seorang maneleo adalah se-orang laki-laki yang dalam kehidupannya dipandang sebagai tua adat dan mempunyai kemampuan serta pengetahuan tentang adat-istiadat yang berlaku di dalam masyarakat.
Fungsi seorang maneleo dalam memimpin se-buah leo adalah sebagai berikut:
1.  Mengurus atau menangani berbagai upacara tradi-sional yang berhubungan dengan siklus kehidupan (kelahiran, perkawinan dan kematian) dalam ling-kungan leo.
2.  Mengurus atau menangani sengketa atau masalah secara kekeluargaan di dalam lingkungan leo.
3.  Mewakili anggota leo dalam menanganani seng-keta pada tingkat nusak.

B.    Penyebaran Leo Dalam Nusak
Berdasarkan tulisan De Clerq tertanggal 20 November 1878 yang berjudul Allerlei Over het Eiland Roti bahwa keturunan orang Rote disebut juga dengan istilah bobonggi/bobongi atau boboki. Istilah bobonggik disejajarkan dengan leo atau suku. Dalam tulisannya, De Clerq menjelaskan penyebaran leo di setiap nusak di pulau Rote yang pernah menjadi pasukan (tentara) bagi Belanda untuk berperang me-lawan Portugis dan melancarkan kolonialisme di pulau Rote.
Oleh karena itu, gambaran penyebaran leo ini dapat diukur berdasarkan bobonggik yang menempati kampung (nggolok/gorok/korok) di seluruh nusak di pulau Rote yaitu sebagai berikut:


1.     Ba’a
Beberapa leo atau bobonggik yang menetap di Ba’a yaitu 1) Ene menetap di Ba’a Dale, 2) Modok menetap di Tundaodale, 3) Kunak meneyap di Batu Kapa, dan 4) Suki menetap di Oeteas. Terdapat beberapa kampung yang didiami oleh beberapa suku di Ba’a adalah kampung Bunggama, Lolo’on, Takai, Ne’e, Oenoas, Oemaulain, Oegela, Tuanatu, Todan, Ndudale, Penapua Makalame, Menggilama, Lua’elain, Kokalain, Ndololite, Sukilain, Modok, Tanggalui, dan Oemaodale.
2.     Termanu
Leo yang pernah menghuni Termanu adalah 1) Masahuk menetap di Kolilain, 2) Meno menetap di Olain, 3) Leli menetap di Kotaleleuk, 4) Dodanga menetap di Olalain, 5) Kiukanak menetap di Hala, 6) Kotadeak menetap di Uno, 7) Sui menetap di Sosadale, 8) Ingondaus menetap di Tada Bolo, 9) Uluanak menetap di Ho’o, 10) Gofalaik menetap di Poliama, 11) Ingubeuk menetap di Polibongohu, 12) Deko menetap di Peladelelain, 13) Endae menetap di Oenitas, 14) Ingofao menetap di Lefemuni, 15) Boto Kameng menetap di Salpohi, dan 16) Ingonau menetap di Kodemanen. Nama-nama kampung yang pernah dihuni adalah Lefak, Kade, Busalate, Baubofa, Dudikun, Oelunggulain, Oengelan, Huledo, Gelama-lole, Pulai, Baudale, Leli, Hutu, Batungolo, Peto, Puwamata, Oendale, Oebolo, Nittonggoen dan Sibolo.


3.     Korbaffo
Leo yang menetap di Korbaffo adalah 1) Tanaggoi menetap di Mokdale, 2) Sani Raja menetap di Mamen, 3) Sani fetor menetap di Su’u hu, 4) Inggusudi menetap di Eohu, 5) Kanlain menetap di Okepado, 6) Kawama menetap di Kalafau, dan 7) Datik menetap di Lamatineoe. Beberapa kampung yang pernah dihuni adalah Umakapa, Kolobafolain, Ingguafolain, Daedaeosi, Kokadale, Oesinadale, Oenggae, Danodale, Olefa, Biuk, Deaoen, dan Dene-lain.
4.     Landu
Leo atau marga yang pernah menghuni Landu adalah 1) Dalama menetap di Pantai Rote, 2) Raipon menetap di Maeoe, 3) Ingguserik menetap di Oenalain. Kampung-kampung yang pernah dikenal di Landu adalah Oemalada, Oetutui, Kotadalek, Mata-ramok, Soaok, Ledulu, Oemila, Modalek, Batukoa, Oekak, Oendui, Oebatulain, Korodalek, Kenamaoin, Batuapahun, Oemasik, Nordalek, Oesuti, Oekae, baolain dan Ladulain.
5.     Ringgou
Leo atau marga yang menempati Ringgou adalah 1) Haontei menetap di Kekahu, 2) Dato menetap di Huruoin, 3) Maladatei menetap di Bapaiku, dan 4) Anakaitei menetap di Baramo. Kampung-kampung yang pernah dihuni adalah Ikura’a, Baeoe, Tokobatu, Busadaelain, Deteasa, Oebololain, Rarano, Hailea, Noli, Boidano, Oematalilo, Oepualain, Oeramata, Ta-boalain, Ikomanuhuoen, Iia, Masindale, Tuaraolain, Fa’a, Niyoe, La’aoe, Ikomanulain, Usulain, Ariranilain dan Pepela.
6.     Oepao
Leo atau sub-leo yang ada di Oepao adalah 1) Ina’ai menetap di Seleai-tarebu, 2) Fia menetap di Batuidu, dan 3) Ari menetap di Sotilai. Kampung-kampung yang pernah dihuni adalah Manuoe, Peti-daen, Ealai, Ornado, Mo’odale, Boa’e, Doearlain, Oefi, Ikurara, Mepei, Batusodan, Oedosole, Duile, Tokowatu, dan Foinuren.
7.     Bilba
Marga atau leo yang pernah menghuni Bilba adalah 1) Tarakoko menetap di Nunoe, 2) Lengomao menetap di Oesuti, 3) Manasea menetap di Oebao, 4) Kajoe menetap di Nulaina, 5) Mumuk menetap di Mamalu, 6) Sangi menetap di Fula’a, 7) Lako menetap di Oemata, dan 8) Kedati menetap di Oengeo. Kampung-kampung yang pernah dihuni ada-lah Susioe, Nesu, Longodale, Kimadale, Akekala, Palioe, Oehu, Haladain, Kailai, Tafakehu, Bu’eain, Manupulai, Oeinadale, Osekai, Po’eoe, Bafanoe, Oeluli, Pokowatu, Safuamaoin, Talitimon, Kelbukoe, Ngauselain, Lulipenalai, Bakoleten, Ingupola, Oelupu, Oesuku, Oehena, Usulain, Tidolean, Heanoin, Lalao, Tonileten, Oenguni, Iduoin, Pao, Kataleten, Oengelen, Oelao, Safetafa, Lokobite, Foeoin, Ingulilai, Ufa, Doemata, Popokedale, Oeboka, Oeulu, Oelain, Kilutu-tuoen, Batula’a, Fukadali, Donalon, Nao’oin, Siomo, Lifuoe, Lunudale, dan Batulain.

8.     Diu
bobonggi atau leo yang pernah menghuni Diu adalah Besitein menetap di Oeutu, Laiktein menetap di Kekoain, Neontein menetap di Bu’eain, Kalintein menetap di Oeledo, Loaktein menetap di Oebeo, Tasiktein menetap di Oebauk, Soloktein menetap di Betekai, Folantein menetap di Pepelelain, dan Malesi-tein menetap di Kanalaik dan Diudaik.
9.     Lelenuk
Leo yang pernah menghuni Lelenuk adalah 1) Dongitein menetap di Lineoe, 2) Sakatein menetap di Hakoama, 3) Sinetein menetap di Nabibi, 4) Dalitein menetap di Malulai dan Dapeoe.
10.  Bokai
Leo atau sub-leo yang pernah menetap di Bokai adalah 1) Fea’ama menetap di Batulutuhu, 2) Modok menetap di Foeoe, 3) Tidok menetap di Manukiodale, 4) Ganiama menetap di Benggubela, 5) Sani menetap di Batulilok, dan 6) Masahu menetap di Kekasele. Kampung-kampung yang pernah dikenal oleh masya-rakat Bokai adalah Fengolen, Meakon, Oenusa dan Batumasik.
11.  Talae
Marga atau leo yang pernah menghuni Talae adalah 1) Inguoe menetap di  Solooe, 2) Dunikama menetap di Oenusa, 3) Kulute’ek menetap di Seda, 4) Siokaite’ek menetap di Batumanupuik, 5) Kiukana me-netap di Oekea, dan 6) Masahu menetap di Oesulai. Kampung-kampung yang dikenal adalah Nitanalai, Ingulena, Kopeda, Loeoin, Kuaoin, Bolo’oi, dan Ga’elilo.
12.  Keka
Leo atau sub-leo yang pernah menetap di Keka adalah 1) Solotei menetap di Kolioin, 2) Lengatei menetap di Aiseledalek, 3) Balutei menetap di Dae-loni, dan 4) Damitei menetap di Lenguhu. Adapun kampung-kampung yang dikenal adalah Iuoin, Maka-hoe, Mokdale, dan Datebula.
13.  Loleh
Leo atau sub-leo yang pernah menghuni Lole adalah 1) Huaumpun menetap di Bebalain, 2) Tasitein menetap di Noanadale, 3) Hademongama menetap di Fongga, 4) Mula menetap di Bitodale, 5) Foetein menetap di Kambafulak, 6) Badoleon menetap di Soekama, 7) Masahu menetap di Felai, 8) Fuadale menetap di Aililo, 9) Puilimatein menetap di Menggi, 10) Undaoba’etein menetap di Bandu, 11) Kuli menetap di O’olangga, 12) Kasu menetap di Kolo-bolon, 13) Koalain menetap di Tuabuna, 14) Tete-matein menetap Tuwa’e, 15) Kalentein menetap di Emboli, 16) Nundi menetap di Dukedale, 17) Sandi menetap di Lasuama, dan 18) Oefampa menetap di Oefik. Kampung-kampung yang pernah dikenal ada-lah Oelolok, Laludale, Tuanalain, Helebei, Dengga-late, Oeteas, Adikama, Nautasi, Soka, Danolain, Lebianan, So’oektuana, Luasio, Sinelondi, Fuakdale, Timulasi, Inggubeuk, Namodale, Dompo, Lotu, Su-moen, Manahelo, Diu, Da’ehutilain, Nakawatun, Batu-lain, dan Isitua.
14.  Thie
Leo atau marga yang pernah menghuni Thie adalah 1) Hanula’e menetap di Danoheo, 2) Burala’e menetap di Oebo, 3) Sabala’e menetap di Oeseli, 4) Gaupandi menetap di Kotabeuk, 5) Tolaumbuk menetap di Sa’eaun, 6) Meoleok menetap di Roioen, 7) Kolek menetap di Meoain, 8) Sandi menetap di Ombok, 9) Kanaketu menetap di Dewama, 10) Sua menetap di Gauk, 11) Le’e menetap di Dilamina, 12) Musuhu menetap di Oembuk, 13) Kona menetap di Oebatu, 14) Landu menetap di Oeno, 15) Mo’olumbuk menetap di Mongkak, 16) Mokaleok menetap di Batunaruk, 17) Langgalodo menetap di Oelasin, 18) Bibimane menetap di Oliba’e, 19) Feosoru menetap di Liloain, 20) Kekedulu menetap di Bokak, 21) Manadato menetap di Deranitan, 22) Nalefeo mentap di Batunguis, 23) Todefeo menetap di Oederas, 24) Danafeo menetap di Belaoen, dan 25) Mesafeo menetap di Sunusa, Lalukoen dan Oekeneka.
15.  Delha
Leo atau sub-leo yang pernah menghuni Delha adalah 1) Sedefeo menetap di Fi, 2) Tasimesa menetap di Sedemau, 3) Batumesa menetap di Teteana, 4) Kaifeo menetap di Hehenet, 5) Batesede menetap di Lutililo, 6) Omba menetap di Soandau, 7) Sandaumpu menetap di Dander, 8) Girite’e menetap di Tasimamo, 9) Laimedu menetap di Edau’en, 10) Roa menetap di Sedeoen, 11) Hauoi menetap di Tunggaoen, dan 12) Pa’adale menetap di Aras. Kam-pung-kampung yang pernah dikenal adalah Bo’a, Fimo, Oemuti, Teteata, Dorobonggo, Hu’ana, Oehela, Tuaneo, Buniu, dan Oefoe.
16.  Oenale
Marga atau leo yang pernah menghuni Oenale adalah Tarahanidi menetap di Bu’eai, Tarahaniona menetap di Buamo, Roa menetap di Eahu, Ait menetap di Difati, Mandali menetap di Tongga, Pa’adale meneta di Bata, Hauoi menetap di Naleoin, Oinaleana menetap di To’oelon, dan Anundao mene-tap di Nonggo. Kampung-kampung yang pernah di-kenal masyarakat Oenale adalah Ladilau,  Suioin, Sukio, Oearek, Sa’e, Latiama, Baleti, Olit, Oedai, Fedom, Oelolot, Ginoen, Fetofeo, Hausaut, Lenoe, Menoama, Manggis, Saneoen, Mambota, Oenitas, Oemame, Soniama, Oeine, Oea, Oelalao, Maomau, Lidor, Rina, Lolonng, Gonggo, Lodano, Ingguseti, Oenbao, Inggulodo, Nunsumba, Tuasafu, Gayama, Suimo, Balas, Rima, Ade, Bandut, Manggamuru, Manuborek, Inggutenulu, dan Lolofeo.
17.  Dengka
Marga-marga yang pernah menghuni Dengka adalah 1) Henutei menetap di Lutumau, 2) Lanitei menetap di Hundihu, 3) Buitei menetap di Dau, 4) Sautei menetap di Manamolo, 5) Baintei menetap di Oepapao, 6) Busaleo menetap di Oetutulu, 7) Boai menetap di Medi, 8) Bauleon menetap di Kailain, 9) Manggi menetap di Lenduoin, 10) Leseleo menetap di Randeoe, 11) Elo menetap di Deuama, 12) Todan menetap di Tuatolok, 13) Tasioe menetap di Modosina, 14) Fando menetap di Oenbo, 15) Bolu menetap di Danoembao, 16) Luna menetap di Oetumbi, 17) Tunaluktei menetap di Inggumengge, 18) Lusitei menetap di Lompodano, dan 19) Leoana menetap di Oefatu. Kampung-kampung yang pernah dikenal adalah Inak, Faiana, Feama, Noas, Lobeama, Temas, Mundek, Danoana, Genioen, Lidor, Gonggo, Le’domata, Oeinggu, Doelete, Telunulu, Lutulai, U’el, Fatunao, Tutubatu, Tolama, Oebole, Andalafu, Holo-tula, Lasilai,  Oedai, Henulain, dan Laki.
18.  Lelain
Marga atau sub-leo yang pernah menghuni Lelain adalah 1) Bobo menetap di Oesemboka, 2) Ludu dan 3) Belolimpe menetap di Tilunisi.

C.    Nama-Nama Leo Setiap Nusak
Masyarakat Rote tergabung dalam suku-suku yang tersebar di setiap nusak. Leo atau suku yang terdapat di setiap nusak berbeda-beda. Berikut ini nama-nama leo setiap nusak sesuai dengan Soh dan Indrayana (2008:63-82) dan Adoe (2013:72-110) adalah sebagai berikut:
1.     Landu
Leo atau suku yang terdapat di nusak Landu menurut Soh dan Indrayana (2008:82) dan Adoe (2013:108) terdiri dari 12 leo yang secara rinci adalah sebagai berikut:
a)     Surateik (Manek I) yaitu marga Adi, Matasina, Koidoh, Dami dan Haiain;
b)     Daima (Manek II) yaitu marga Johanis dan Matara;
c)     Sura Ama Lai (Fettor) yaitu marga Kedo, Lani, Marolo, Matara dan Masada;
d)     Remiku (Dae langgak) yaitu marga Hun dan Sura;
e)     Raipo yaitu marga Fero, Ledo, Mesan dan Darlu;
f)      Mali yaitu marga Fa’a dan Toulay;
g)     Sareak yaitu marga Rui, Anakai, Kaun, Resiana dan Matasina;
h)     Anabako yaitu marga Rote, Ima, Dedeo, Nako, Loilu dan Heta;
i)       Taetu yaitu marga Tuti dan Lo;
j)       Lamalu yaitu marga Leoh;
k)     Tutudila yaitu marga Batok dan Bola;
l)       Ikuseni yang tidak memiliki turunan.

2.     Ringgou
Ringgou dihuni oleh leo-leo atau suku-suku yang susunannya menurut Soh dan Indrayana (2008:81) adalah sebagai berikut:
1)     Tukanteik (Manek I) yang terdiri dari marga Malada, Doi, Serah, Nes, Layfoy dan Timu;
2)     Haonteik (Manek II) yang terdiri dari marga Daud, Leli, Tu’ulima, Beama dan LawoE;
3)     Dato (Fettor) yaitu marga Tupu, Fua dan Bessi;
4)     Naladai (Dae Langgak) yaitu marga Rissi, Poyk, Run, Klaas, Sui, Doroh dan Soh;
5)     Apaseri yaitu marga Markus, Sikky, Sikkitari, Tari, Seseli, FoEh dan Pati;
6)     Tokoteik yaitu marga Kedoh, Jakob, Pelleh, Fani dan Asa;
7)     Deruteik yaitu marga Bulan, Deru, FoEh dan Oan;
8)     Daiteik yang terdiri dari marga Lay dan Day;
9)     Rote yang terdiri dari seksi dan sub seksi yaitu:
a)     Roteanabako yaitu marga Dedeo, Rote, Ry, Heta Bulan dan Poyk;
b)     Rotelamalu yaitu marga Loy, Kah, Kolifai, Peda dan Lanu;
c)      Roteanakai yaitu marga Anakai dan Mada;
d)     Rotetutudila yaitu marga Amaia, Bakuama, Roy dan Bola;
e)     Roteanalaso yaitu marga Tokoh dan LayFoy.
10)  Mali yaitu marga Toulay dan Mekah;
11)  Dati yaitu marga Pele;
12)  Daemea yaitu marga Soru.

3.     Oepao
Masyarakat Oepao adalah sebuah kelompok masyarakat yang paling sedikit jumlahnya. Susunan leo-leo masyarakat Oepao menurut Soh dan Indrayana (2008:81) adalah sebagai berikut:
a)  Ina Ai Dolu (Manek I): Moses dan PoEk;
b)  Ina Ain (Manek II) terdiri dari 2 seksi yaitu 1) Syuteik yang meliputi marga Sjioen, Haioe, Izak dan Titi; 2) Danoteik yang meliputi marga Batun, Doan, Adu dan Haioe;
c)  Ari (Fettor) yaitu marga Lapa dan Eah;     
d)  Fia (Daelanggak) terdiri dari 3 seksi yaitu:
1)  Fia yaitu marga Hake, Soda dan Ledoh Ese;
2)  Fiatalada yaitu marga Sere dan Sura;
3)  Fiamuri yaitu marga Lyfoi dan Lau.
e)  Sa’i yaitu marga Balukh;
f)   Oenado yaitu marga Martinus, Scan dan Bulan Neok;
g)  Niteik yaitu marga Bero dan Noakh;
h)  Oeina yaitu marga Bokoteik dan Oeina;
i)    O’oama yaitu marga Bulan;
j)    Ramaea yaitu marga Adu dan Teluain.
Terdapat pembatasan jodoh antara leo Ina Ain dengan Ina Ain Dulu. Begitu juga antara leo Fia karena masih ada hubungan leo bobonggik (suku kekeluargaan). Selain itu juga antara O’oamadan Ari akan tetapi, akhir-akhir ini kedua leo ini telah mengadakan banyak penyelewengan.

4.     Bilba
Moyang pertama masyarakat Bilba bernama Lakamola Bula. Turunannya terbagi atas 7 leo besar, dan masing-masing leo besar terbagi pula atas leo kecil. Kepala sukunya terdiri dari suku besar yang disebut maneleo dan kepala suku kecil yang disebut renengik. Susunannya sebagai berikut:
a)     Talakoko (Manek)
1)     Manube: Saba, Lenggu, Medah, dan Theon;.
2)     Ngatalama: Eluama, Laihe, dan Medah;
3)     Pedaama: Lalai, Musa, dan Lase;
4)     Kapateik: Ngek.


b)     Lengumau (Fettor)
1)     Teluk yaitu marga Manafe, Therik, Lote, Lepa, Pala, Muda dan Su;
2)     Oeain yaitu marga Dan dan Ay;
3)     Foka yaitu marga Eken, Lay, Dokon dan Lona;
4)     Folio yaitu marga Mulik dan Longo;
5)     Sode yaitu marga Dala, Thene, Lolo, Lete dan Lusi;
6)     Kadati yaitu marga Baun, Leneng, Soi dan Manafe.
c)     Mumuk (tunggal): Ngefak, Lona, Thei, Suki, Salean, Henuk dan Saba.
d)     Sanik
1)     Sanik terdiri dari marga Ngulu, Mau, Bessi, Medah dan Telik;
2)     Louanak yaitu marga Manu dan Bulan;
3)     Loki yaitu marga Malenan.
e)     Lahaa
1)     Lahaa yaitu marga Ngik, Meda, Mulik, Nafi, Foeh dan Leka.
2)     Laka yaitu marga Bokotei, Ngik dan Tasi.
f)      Manse
1)     Bola yaitu marga Bola;
2)     Kule yaitu marga Kule, Poi, Dopen, Likan dan Non;
3)     Ngili yaitu marga Ngili, Tellulain, Mulik, Lopung dan They;
4)     Fani yaitu marga Fani, Lum, dan PoEk;
5)     Feuama yaitu marga Timun dan PoEk;
6)     Beng yaitu marga Beng;
7)     Meno yaitu marga Meno.
g)     Kaioe
1)     Ingutali yang meliputi marga Pena, Dite, Lango, Ingutali dan Keti;
2)     Banok yaitu marga Lusi;
3)     Ledo yaitu marga Ledo, Loi, Pena, Delu, Lolu dan Mesang.
Catatan:
a.     Pengetahuan pertanian termasuk persawahan konon berasal dari Bilba.
b.     Seksi suku Meno adalah Daelanggak yang menurut legenda moyangnya turun dari langit.
c.      Suku Lahaa terkenal dengan nama julukan Lahaa manahasa mamates (Laha pembeli mayat).

5.     Diu
Susunan leo-leo Diu sebagai berikut :
a)     Besiteik (raja): Manafe, Adu, Oeina, Malote, Kise, Bulan, dan Pah.
b)     Kana (fetor): Poli, Loden, dan Adu.
c)      Munteik (Dae Langga): Kufa, Foeh, Lada, Manafe, Koko, Mulik, dan Ngeo.
d)     Mansea: Non, Bola, dan Kule.
e)     Soloteik: Bollu
f)       Ladukai: Napa dan Haden.
g)     Polateik: Ngik dan Lebo.
h)     Luponteuk: Neon, dan Mola.
i)       Diudaek: Suki, Bola, Kama, Lidik, Son, dan Ballo.
Catatan:
Subseksi (ranting) Oina dari suku Besiteik dari subseksi Poll tidak bisa kawin-mawin berdasarkan sumpah nenek moyang. Ranting Pah dari suku Pesiteik berasal dari Thie yaitu dari suku Nalefoeh (hanya bernaung).

6.     Korbaffo
Masyarakat Korbaffo terbagi atas 4 suku ata leo besar. Masing-masing terdiri pula atas beberapa seksi leo. Tiap suku atau leo dikepalai oleh kepala suku atau maneleo. Begitu pula setiap seksi suku dikepalai oleh manengik (kepala suku junior). Keluarga Korbaffo yang ada di Ambenu (Oekusi) berasal dari Korbaffo. Susunan leo di Korbaffo, sebagai berikut:
A.     NDEOTEIK (Raja)
1.      Manubulu: Manubulu
2.      Sondateik: Meme, Angi
3.      Nggusiteik: Beama, Meda
4.      Bulateik: Lapudooh, Bulan
5.      Ngogoteik: Lima, Inguama, Manudui
6.      Ti’unggateik: Hida, Meno, Meda, Pello, Patola
Hampir semua suku pendatang tergabung dalam suku Tungateik.
B.     SANIK (Fettor)
1.      Tasiteik: Tasi, Manafe, dan Toudua.
2.      Kebodaiteik: Pinga, Manafe, dan Ndosain.
3.      Leoanateik: Leoanak
a.     Batuteik: Toudengan, Banaim, Angi, dan Ndun.
b.     Keboteik: Bawana, Tananggoe, Malesi, Manafe, Jakob, Kebo, Polin, Elik, Singgili, dan Aufengo.
4.      Baluteik: Balu
5.      Sueteik: Bernadus, Nggeon, Asari, dan Lodo.
C.    TANANGGOE
1.      Kedoteik: Kedo, Bawana, Malesi, Leoana, Tanango’e, Manafe, Mandala, Fanggidae-Haiain, Ndolu, Lusi, Leke, Tidok, dan Dale.
2.      Leseteik: Lapan, Malesi, dan Nongo.
3.      Teleteik: Beda, Nauk, Malesi, Kekado, Batuk, dan Nggeon.
4.      Apateik/Lengoteik: Petan, Detan, Nggeon, dan Malesi.
D.    INGUSUDI
1)     Kalateik: Mesah, Balo, Le, Lio, Sula, dan Beama.
2)     Kawamateik: Lali, Lona, Beama, Lesik, Balukea, Ledo, Manafe, Ledo, dan Manafe.
3)     Sanguteik: Ballo.

7.     Termanu
Di antara sekian banyak suku atau leo, suku Kiukanak merupakan suku (leo) yang paling banyak memiliki seksi dan sub-leo. Semuanya disebut Kiukanak Mane Nggeon Telu Hulu yang berarti Kiukanak yang memiliki 30 (tiga puluh) anak laki-laki.
a.  Seni Tola (Suku Raja) terdiri dari 11 leo yaitu:
1)     Tolateik meliputi marga Amalo, Bire, Doko, SinlaeloE, Napu, dan Keluanan;
2)     Hailitikteik meliputi marga Pella, Fanggidae, Ballo, Hailitik, dan Patola;
3)     Neluteikyang terdiri dari marga Pelokila dan Kongfora;
4)     Edoteik meliputi marga Edon, Muskanan, Pello, dan Malesi;
5)     Kilateik terdiri dari marga Kila, Makandolu, dan Fanggidae;
6)     Ndaomanuteik meliputi marga Ndaomanu, Ballo, dan Makh;
7)     Loeteik meliputi marga Loe, Sinlaeloe, dan Lusi;
8)     Luaitolateik terdiri dari marga Lusitola, Ndun, dan Lusi;
9)     Muskananteik meliputi marga Muskanfola, Fola, Mauk, Muskanan;
10)  Peduteik yang terdiri dari marga Mauleki; dan
11)  Longoteik (Kiukanak) yang terdiri dari marga Anin, Longo, Dale, Pello, Huandao, Masah, Medi, Tulle, Fanggidae, Hailitik, Damaledo, Solo, Dae, Kiuk, Kila, Male, Seubelan, Dulik, Lino, Delu, Tomodok, Patola, Ballo, Dethan, Karels, dan Ndoki.
b.  Lusi Tola (Suku Fetor) terdiri dari 13 leo yaitu:
1)     Kotadeak (fetor) yang terdiri dari marga Ambesa, Manafe, Lesiangi, Lusi, Pellu, Saduk, Lida, Makh, Bainuan, Kiuk, Dethan, Lusi, Hailitik, Ballo, Pina, Tolamanu, keluana, Dethalusi, Pono, Fanggide, dan Elusama;
2)     Sui terdiri dari marga Sinlae, Toumelak, Nggeolima, Touselak, Mansopu, Tallo, Tallanggoe, Ndun, Pian, Toumodok, Nggi, dan Dale; 
3)     Ingubeuk meliputi marga Lusi dan Kiuk;
4)     Uluanak terdiri dari marga Sodak, Pena, Mandope, dan Matita;
5)     Ngofalaik meliputi marga Muloko, Nggili, Ndolu, Lada, Edo, Seme, Lusi, dan Tondua;
6)     Detamauk yaitu marga Detamauk;
7)     Ngufao meliputi marga Manafe, Kadek, Fanggidae, Manu, Seme, Sinlae, dan Ngili;
8)     Inguano yang terdiri dari marga Oek, Bebengu, Kila, Ledo, Lusi, Anin, dan Inguanan;
9)     Meno terdiri dari marga Adulano, Tupuama, dan Lonameo;
10)  Doudangga meliputi marga Pelandou, Labola, Ndun, Fola, Fanggidae, Tallo, Palopian, dan Loaniak;
11)  Ndeko terdiri dari marga Ndun, Fanggidae, dan Leka;
12)  Ndau yaitu marga Taek; dan
13)  Ingudaos  meliputi marga Nange, Deak, dan Ledo (Soh dan Indrayana, 2008:73-75).

8.     Lelenuk
Susunan leo yang terdapat di Lelenuk adalah sebagai berikut:
1)     Donoteik (Manek): Daik, Dongi, Jonas dan Ledo.
2)     Kana (fettor): Sina, Lomang, Urbanus, Manafe, Markus, dan Liu.
3)     Nabibi: Suek, Balo dan Manu.
4)     Hakoama: Manafe, Lapa, dan Tasik.
5)     Suku-suku pendatang yang sekarang menetap di Lelenuk adalah:
a.      Mansea: Mesang, Non, dan Lusi
b.      Munteik: Lay, Manafe dan Kufa
c.      Sanik: Talo
d.      Lako: Nggik
e.      Besiteik: Nulik (Soh dan Indrayana, 2008:77; Izaac, 1990).

9.     Bokai
Susunan leo yang menetap di Bokai adalah sebagai berikut:
1)     Leko (manek): Dupe, Teak, Johanes, Bola, Oli, Asari, Manafe, Lusi, Lomang, Sina, Hun, Adu, dan Lada
2)     Tido: Kornelis, Oli dan Manafe
3)     Masahu: Dano, Lona, Sanu, Lay, Polyn, Taka, Muloko dan Baleng
4)     Kopalaisolu: Malelak, baleng dan Pelondou
5)     Sanik: Thobias, Kornelis, Elias dan Pingak
6)     Dunukana: Saudale (Soh dan Indrayana, 2008: 76-77; Izaac, 1990).

10.  Talae
Susunan leo yang terdapat di Talae adalah sebagai berikut:
1.    Ingguoe (manek): Dethan, Ndun, Taka dan Lenga,
2.    Dunikama (fettor): Saudale, Mansopu, Lete, Keti, Taka, Manafe, dan Beten.
3.    Kuluteik: Solu da Ndun.
4.    Songa: Pingak, Manafe, Ala, Letik, Kadafuk, Ndukonak dan Ndun.
5.    Masahu: Sanu.
6.    Kiukanak (leo asal Termanu): Bufe, Tana-nggau, Fanggidae, Patola, Tule dan Loe.
7.    Siokaintein: Sanu, Muskanan, Manafe, dan Haning.
8.    Petuhade: Lada, Solo, Lusi, Manafe, Pingak, Pello dan Taulo (Soh dan Indrayana, 2008:76; Izaac, 1990).

11.  Keka
Nama Keka berasal dari moyang bernama Keka Lingo yaitu keturunan kelima dari keturunan Liu Li Bulan. Terdapat 2 (dua) rumpun atau leo induk yaitu Kopalaisolu dan Sakutein yang mendiami nusak Keka adalah sebagai berikut:
a.  Kopalaisolu
1.  Leomanek/Kopalaisolu (Manek) yaitu marga Malelak dan  Malelak Belan;
2.  Mauteik (Manedope) yaitu marga Nggi, Malelak-Nggi, Lusi, Thomas dan Ran;
3.  Seiteik yaitu marga Sinlae dan Sinlae-Belan;
4.  Mane Feto Ana yaitu marga Koanak dan Liu.

b.  Sakutein
1.  Salapoi yaitu marga Huan, Fanggidae, Kos, Tulle, Liu, Doh dan Hanokh;
2.  Oefamba yaitu marga Siokain, Fanggidae, Keti, Lona, Jesua, Bengu, Ekon, Souk, Dale.
Suku yang tidak gabung dalam kedua rumpun di atas adalah:
a.  Fetuhade yaitu marga Manafe
b.  Masahu yaitu marga Kadek, Lusi, Koanak dan Souk.

12.  Ba’a
Susunan leo yang menghuni Ba’a adalah sebagai berikut:
1.      Ene (manek): Pani, Daepani, Tulle, Bailaen, Detak, Toumeluk, Muskanan, Manafe, Ndun, Mbolik, Foeh, Dano, Henuk, Soluk
2.      Modok (fettor): Mandala, Oto, Toulasik, Suek, Manu, Manuain, Soai, Bola, Ndun, Tasi, Funu, Tomasui, Susak, Adu, Pellomanu, Bailao, Longgo, Lonis, Kolo, Lembak
3.      Suki: Lonak, Boik, Ndun, Anin, Adu, Manafe, Bulan, Kila, Mesak, Meno
4.      Pelama: Thonak, Ndolu, Bulak, Fanggidae, Bessie, Ndun
5.      Faisama: Mbolik, Haman, Tonek, Toudengga
6.      Nggi: Kiuk, Panik, Toulasik, Bilik
7.      Nggikohu: Pah, Panic, Anin, Nggoek, dan Fanggidae
8.      Kunak: Manafe, Mbolik, Pani, dan Ndun
Catatan
a.      Suku-suku di Ba’a terdiri dari empat pokok besar: dari nomor 1-4
b.      Nomor 5-8 adalah pecahan dari Pelama
c.      Ene dan Felama masing-masing memiliki nama julukan: Ene manasisi Loak dan Felama mana-kakafi Tona Bafak.

13.  Loleh
Nama Loleh diambil dari seorang moyang Loleh bernama Loleh Tosu. Loleh Tosu adalah keturunan yang ketiga dari Liu Lai Bulan. Masyarakat Loleh terdiri dari dua rumpun besar yaitu MBESA dan LEBO. Masing-masing kelompok membawahi bebe-rapa suku yang susunannya seperti yang terdapat di nusak Thie dan kerajaan lainnya. Kedua rumpun ini disebut juga leo yang mungkin merupakan paruh masyarakat.
A.     MBESA
1.   Huanumbuk (manek): Zakarias, Lekama, Koeanak, Koan, dan Manafe.
2.   Tasitein: Tasilama, Suilima, dan Kota.
3.   Oefamba: Mbuik, Do’o, Ndiy dan Adu.
4.   Mula: Ndoluanak, Lazarus, Loak, Meno, dan Pello.
5.   Leoanak (Mbadoleok): Hendrik, Ndun, Haning, Mbado, Makandolu, dan Kornelis.
B.    LEBO
1)  Kasu (fettor): Dilak, Patola, Koehuan, Zakaryas, Mansula, Tina, Mbado, Hak, Ndun, dan Hiskia.
2)  Koalain: Koeain, Sinlae, Balukh, Foenale, Ketti, Meno, dan Laning.
3)  Tetematein: Pandie, Adu, Makandolu, Manafe, Huan, Meno, Paulus, dan Manukoa.
4)  Handebongama: Ingguoe, Ndaumanu, Anabokay, Ndun, Ketti, Pala, dan Manu.
5)  Sandi: Mandala, Alhans, dan Toku.
6)  Nondi: Ndaok, Mansula, Hermanus, Elias, Longgak, dan Bulan.

14.  Lelain
Adat istiadat dalam dialek Lelain mirip dengan orang Dengka. Susunan leonya sebagai berikut:
1.     Bobo (manek): Bessie
2.     Mengga (fettor): Dunggu dan Pasu
3.     Bolala      : Solo dan Nale
4.     Lodu        : Adu, Ndun, dan Sina
5.     Lodudi     : Fanggi
6.     Tadi         : FoEs
7.     Ndalateik            : Tesa dan Dunggu

15.  Dengka
A.     ELOMULI
1)     Elo (manek): Elo, Lete, Laasar, Henuhanu, Abidano, Mba’u, Lani, Laasai, Mengge, Ndo’I, dan Ndao
2)     Fando: Fek, Polo, Adu, Mole, Baik, Fanggi-tani, Henuk, Tasi, Ufi, dan Nafi.
3)     Tasioe:  Saduk, Henuk, Poik, Mba’u, Deta-nelu, Nafi, Foes, Baluk, Nggonggoek, Nggoek, dan Pa’a.
4)     Luna: Lulupoi, Luna, Ambi, dan Besi.
5)     Todak: Adu, Manuain, Eohndolu, Ndolueoh, Ndolu, Ledo, Sa’u, Fanggi, Donggi, Pandi, Henuk, Bute, Tobo, Nulek, Mba’u, Pou, Langga, Moihana, Nafi, dan Ndun.
6)     Boluk: Eoh, Hanas, Foeh, Ndun, Adu, Bolu, Sula, Lona, Bandi, Nale, Henudelas, Fili, Sela, Haninuna, Koten, dan Medi.
7)     Busaleok (MboEtik): FoEs, Modok, Nasa, Bulu, Mboe, Ndun, Ndolu, Manu, Sula, Mone, Nggili, Lona, Helo, Fua, Neu, Ufi, dan Landak.
8)     Leoanak: Nafi, Suek, Lani, Hele, dan Adam.
9)     Mbau Umbuk: Henuhili dan Modok.
B.     TAKATEIN
1)     Heniteik (manek): Tungga, Elimanafe, Ndao-manafe, Manafe, Pah, Bunda, Ndun, Saudila, Nggili, Tongge, Mboe, dan Kana.
2)     Mbuiteik: Sula, Ndunfoes, Bessi, Hilli, Koten, Talak, Duli, Langge, Muda, Sodak, Lusi, Do’a, Dae, Se’ik, Moi, Detan, Sely, Feoh, Adu, Ufi, Binloe, dan Dale.
3)     Sa’uteik: Soluk, Ndun, Tallo, Bulu, Loak, Mbuik, Sa’a, Lalai, Moy, Fanggi, Nggili, dan Lusi.
4)     Laniteik: Ndun, Kiu, dan Adulenggu.
5)     Leolu (fettor): Nolu, Manu, Lau, Saduk, Adu, Pah, Lete, Mba’u, Kilak, Mo’e, Detan, Busu, Fafok, Fek, Nafi, Lolo, dan Seuk.
6)     Bo’ai: Dano, Ledo, Lusi, Sula, Modok, dan Feoh.
7)     Mba’uleok: Ndolu, Mbau, Solo, Seli, Mbuik, Polo, Henuk, Pah, Poy, Fanggi, Hili, Ndun, dan Lesik.
8)     Leseleok: Molak, Lesik, dan Tali.
9)     Nubuteik: Lilo, Ngili, dan Ndolu.
10)  Sa’eteik: Sain, Suek, dan Lu.
11)  Mangi: Mbuik, Salu, Luik, Detan, Kanu, Nanuk, Sa’u, Pah, Lani, Sula, Aduba’o, Modok, Henuk, dan Mone.
Ada 3 kelompok yang berdiri sendiri yaitu:
1.     Ndau: Mbalu
2.     Ambik: Menda
3.     Balaoli: Mandas, Menda, Naluk, Taek, Ndun
Catatan
a)     Dari suku Elomuli ada 5 suku induk yang disebut Leo Kalimak: Elo, Fando, Bolu, Luna, dan Todak
b)     Dari rumpun Sakatein ada 4 suku induk yaitu: Leokahak: Mbuiteik, Sa’iteik, Mba’uleuk, dan Leseleok
c)     Suku Sa’uteik dan Mbuiteik tergabung pula dalam satu rumpun yang disebut Takateik
d)     Suku Manggi sangat ahli dan berani dalam strategi dan taktik perang sehingga mendapat julukan Manggi Man Soi Duli (orang Manggi pembuka duri benteng musuh)
e)     Suku Manggi dan suku Boluk merupakan patner dalam menghadapi perang sehingga antara ke-dua suku tersebut terdapat perjanjian pembatasan jodoh.

16.  Thie
Susunan leo yang terdapat di Thie menurut Soh dan Indrayana (2008:66) dan Haning (2013:37-40) adalah sebagai berikut:
a.  Sabarai
1)     Mburala’e (Raja) terdiri dari marga Messakh, Arnoldus, Baba, Nalle, Nunuhitu, Pandi, Baba, Soru, Benggu, Napu, Dato, Pakh, Henuk, Tilman, Mbura, Bessikh, Talakua, Nggadas, Ndolu, Foeh, Litik, Helo, Asbani, Talo, Djami, Adu, Malelak, Tola, Saba dan Bessi;
2)     Sabala’e terdiri dari marga Mesah, Ndun, Pandi, Banggu, La’e, Tulle, Baba, Modok, Manafe, Botok, Haning, Suy, Hili, Adu dan Ba’ik;
3)     Henula’e terdiri dari marga Mesah, Aduta’e, Adu, Fanggi, Ndolu, Boru, Mesak, Henuk, Daud, Ndun, Pandi, Resi, Kainara, Kaiadu, Manafe, Nggiri, Adutode, Nalle, Foeh, Pah, Datok, Koen, Kain, Kai, Mone dan Salu;
4)     Nggaupandi terdiri dari marga Adu, Pandi, Ndolu, Sabah, Nalle, Boru, La’e, Musu, Moi, Kiki, Foeh, Bessi, Sa, Henuk dan Mesah;
5)     Tolaumbuk terdiri dari marga Merukh, Koamesah, Nalle, Manafe, Mesah, Adu, Adu Mesah, Ayub, Helong, Dama, Ndaong, Siok, Haning, Suy, Bulan, Ndun, Pandie, Nggeon, Nalema, Ressie, Manu, Mooy, Foeh, Fanggi, Maa, Suidano, Salu, Nggadas, Pah, Soru, Nassa, Saba, Helo dan Modok;
6)     Moeloek terdiri dari marga Abraham, Benyamin, Mateos, Daniel, Mesah, Manafe, Lusi, Boru, Foeh, Ndun, Tode, Fora, Modok, Edon, Matasina, Kondok, Lolo dan Sabah;
7)     Kanaketu terdiri dari marga Merukh, Langga, Ndolu, Nalle, Kiki, Nikodemus, Adu, Manafe, Manu, Engge, Wenyi, Anin, Rondo, Bela, Mesah, Dale, Ndun, Resi dan Mooy;
8)     Su’a terdiri dari marga Benggu, Tandu, Ndaong, Mesah, Adu, Nabe, Misah dan Langga;
9)     Le’e terdiri dari marga Foeh, Day, Henuk, Naru, Mbado, Langga, Rasa, Tallo, Adu, Pandi, Modok, Nale, Ba’ik, Tode dan Mooy;
10)  Musuhu terdiri dari marga Mooy, Foeh, Dami, Adu, Feoh, Da’ok, Nalle, Ndun, Gabriel, Mbatu, Timu, Sebi, Ba’iadu, Ba’ik, Henuk, Lay, Ndolu, Haiain dan Jermias;
11)  Kolek terdiri dari marga Nafi, Adu, Meru, Pao, Sa’u, Langga, Landa, Saleh dan Lunggi;
12)  Sandi terdiri dari marga Foekh, Foeh, Tode, Suy, Tulle, Kiki, Ndun, Manu, Ndana, Saleh, Tali dan Tola;
13)  Kona terdiri dari marga Naramesah, Nalle, Haning, Sae, Nassa dan Adu.
Rumpun Sabarai kemudian dibagi menjadi rumpun leo inak ‘suku besar’ dan leo anak ‘suku kecil’. Yang termasuk dalam leo inak adalah Mburala’e, Henula’e, Sabala’e, Nggaupandi, Tolaumbuk, Meoleok, Kolek, dan Sandi. Sedangkan yang termasuk dalam leo anak adalah Su’a, Le’a, Musuhu, Kona dan Kanaketu.
b.  Taratu
1)     Moiumbuk (Fettor I) terdiri dari marga Mbatemoy, Mbatu, Mooy, Litik, Manafe, Mbatumoy, Minamoy, Henuk, Modok, Nalle, Tine, Tafuli, Fora, Ngge’o, Seli, Mesah, Ndun dan Napa;
2)     Todefeoh (Fetor II) terdiri dari marga Haning, Dami, Mesah, Rondo, Pandie, Mooy, Tulle, Loe dan Adu;
3)     Nalefeoh terdiri dari marga Pah, Manu, Lani, Ndun, Baba, Jacob, Solofoeh, Mesah, Adu, Ngge’o, Fatu, Balu dan Lilo;
4)     Mesafeoh terdiri dari marga Boru, Adu, Mesah, Mesakh, Adu Mesah, Ndolu, Ngge’o, Tulle, Sanda, Moi, Ndun, Demang, Nalle, Ndaong, Henuk, Detahenu, Felipus dan Haning;
5)     Ndanafeoh terdiri dari marga Bessie, Nalley, Haning, Nalle, Hangge, Mesah, Fora, Mberu, Mboru, Adu, Dale, Mba’u, Resi, Foeh, Ba’ik dan Boru;
6)     Feosoru terdiri dari marga Mesah, Mooy, Meruk, Foeh, Lani, Tode, Moynafi, Ngge’o, Suy Nggiri, Modok, Koamesah, Adu dan Sabah;
7)     Manedato terdiri dari marga Nggebu, Oktavianus, Frans, Tode, Bessie, Adu, Lani, Nalle, Hanefoeh, Foeh, Nale, Ndolu, Haning, Todesole, Mbori, Hangge, Manu, Nale Na’u, Nale Adu, Nale Modo, Nalley, Nale Bura, Nale Pandi, Nale Ndolu, Lay, Adu Haning, Henuk, Anin, Lolo, Neolaka, Saku, Nope, Hane, Lusihani, Dale dan Pah;
8)     Langgalodo terdiri dari marga Ndun, Adu, Dano, Lusi, Henuk, Helo, Moy, Ndolu dan Langgalodo;
9)     Bibimane terdiri dari marga Musuresi, Langga Messakh, Mesah, Musu, Resi, Boru, Ba’ik, Rebo, Lusi, Bone, Meruk, Benggu, Ndoluana, Kiki, Foeh, Mooy, Dale, Nalle, Suy, Kai, Sembe, Ndun, Pah, Henuk, Koefe, Manafe, Sale, Rani, Narang dan Moyhenu;
10)  Soroumbuk terdiri dari marga Manafe, Adu, Nggeon, Rani, Sama, Adu, Hili, Foeh dan Rebo;
11)  Mokaleok yang meliputi marga Mesah, Adu, Ndolu, Ndun, Tode, Thomas, Mooy, Bayk, Pandi, Lay, Nggoe, Lusi, Langga, Foeh, Haning, Henuk, Meruk, Nabuasa dan Timu;
12)  Kekadulu terdiri dari marga Boru, Adu, Manu, Boakh, Mesah, Nalle, Pah, Longgo, Udak, Liu, Soru, Manafe, Ngge, Saku, Foeh, Doro, Resi, Tulle, Sakh, Lenggu, Dami, Ndolu, Sau, Haning, Mbuik, Nggeo, Langga, Narang, Lay, Pandi, Kijo, Ndun dan Mooy.
Selain ke-25 suku di atas, terdapat sebuah suku asli Thie yang tidak masuk dalam suku Sabarai dan Taratu yaitu Suku Landu. Suku ini hanya memiliki beberapa keluarga batih yang tersisa yakni marga Ndun, Langga, Foeh dan Mooy.

17.  Oenale
Oenale terdiri dari dua rumpun yaitu rumpun leo Naek (rumpun suku besar) dan rumpun leo Anak (rumpun suku kecil)
A.   LEO NAE
1)    Nafitein (Raja)
a)    Lenggu Teik: Lenggu
b)    Nggiri Teik: Giri
c)    Ngada Teik: Nggadas
d)    Mboro Teik: Nggadas
e)    Data Teik: Dethan
2)    Mba’e
a)    Mba’e Nalle: Nalle
b)    Mba’e Feoh: Feoh
c)    Mba’e Mbatu: Mbatu
d)    Mba’e Ala: Ala
e)    Mba’e Nggi: Nggi
f)     Mba’e Alnabe: Alnabe, Nabe
3)    Tarnahi Di
a)    Sine Teik: Sine
b)    Pandi Teik: Pandi
c)    Mbeo Teik: Mbeo
d)    Mesa Teik: Mesa
e)    Seli Teik: Seli
4)    Nggelan (Daelanggak): Nggelan, Lodo
B.   LEO ANAK
1)    Ro’a Mbura: Mbura
2)    Ro’a Tupa: Tupa
3)    Ro’a Roubela: Loubela
4)    Ro’a Boboi: Boboy
5)    Alit: Rondo, Pasole
6)    HanoE: Haninuna
7)    Mandale: Lifu
8)    P’aDale: Nggainiu, Mabala, Nea
9)    Nia: Nia
Catatan
1.     Delha dan Oenale adalah dua kelompok yang tadinya merupakan kelompok yang berlokasi di Oenale. Sebagian masyarakat Oenale tersebar di Delha lalu membentuk masyarakat Delha.
2.     Di samping Mane Leo ada pula Mane Leo seksi yaitu kepala suku kecil atau Mane Leo Anak = manenggik, kecuali suku Nggelan
3.     Pembatasan jodoh meliputi ruang lingkup satu klen, sampai kini masih ketat, kecuali beberapa pelanggaran kecil-kecilan (Soh dan Indrayana, 2008: 66-68).



18.  DELHA
Susunan leo yang terdapat di Delha adalah seba-gai berikut:
1.    Mba’e yang terdiri dari lima seksi yang masing-masing mempunyai kepala seksi suku atau mane nggik:
a)    Mbate, Sadefeoh: (manek) Ndun, Lape, dan Lani.
b)    Mba’e-Mbate Mesafeoh: Mbate, Sede, Resi, dan Feoh
c)    Mba’e Tasi Mesafeoh: Tufu, Risi, dan dan Mbatu
d)    Mba’e Kai Feoh: Feoh dan Kay
2.    Tarhani: Fua, Mesah, Sine, Mboro, Nggadas, Lenggu, Nggiri, Lai, Meda, Lani, Seli, Bunda, dan Setha
3.    Leoanak: Balu, Lape, Loule, Kay, Manafe, Sely, Yohanis, dan Rondo
4.    Ombak Lua Nae: Loa, Lutu, dan Kae (Soh dan Indrayana, 2008:66).

*************





Bab 8
Bahasa Nusak
 







A.     Pendahuluan
Bahasa Rote merupakan salah satu bahasa Aus-tronesia yang termasuk dalam rumpun bahasa Ambon Timor. Dalam penuturannya, bahasa Rote digunakan di pulau Rote dan beberapa tempat di pulau Timor yang merupakan tempat pemukiman orang Rote yakni Kota Kupang, Tarus, Oesapa, Babau, Oesao, Nun-kurus, Pariti, Sulamu, Camplong, Soe, Tuakau, Naus, Naikliu, Oepoli, Kefa, Atapupu, dan Lifao di Timor Lester (Fox dalam Ingguoe, 2015:4).
Bahasa Rote merupakan bahasa variatif yang ter-diri dari dialek-dialek. Dalam hubungannya dengan nusak-nusak di Rote, bahasa Rote dibagi dalam beberapa dialek yang pembagiannya disesuaikan dengan nusak-nusak di pulau ini. Berdasarkan faktor sejarahnya, bahasa Rote di setiap nusak telah menghasilkan berbagai keragaman dalam hal situasi linguistik yaitu bahwa 1) masing-masing nusak di Rote menyatakan bahwa memiliki dialek bahasa Rote sendiri. Meskipun pernyataan ini melebih-lebihkan keragaman linguistik pulau itu, tetapi memang ada variasi dialek yang amat berdekatan; 2) orang Rote memiliki bahasa ritual yang memerlukan suatu penyu-sunan frase puitis yang paralel dari semua ujaran dan dipergunakan untuk situasi-situasi interaksi formal. Sampai pada batas-batas tertentu, bahas ritual ini bertindak sebagai faktor pemersatu yang mengatasi beberapa kecenderungan ke arah diferensiasi dialek; 3) orang Rote mempergunakan dan mengenali tiga ragam bahasa Melayu yang berbeda-beda yaitu:
a.     Bahasa Melayu tinggi seperti yang dipergunakan untuk menerjemahkan Kitab Injil pada abad ke-sembilan belas;
b.     Bahasa Indonesia baku yang kini diajarkan di se-kolah dan dipergunakan dalam berurusan dengan pemerintah; dan
c.      Bahasa Melayu sehari-hari yang dikenal sebagai Bahasa Kupang yang telah berkembang di Kupang sejak kota itu didirikan pada abad ketujuh belas (Fox, 1986: 10-12).
Bahasa Rote sendiri mempunyai dua ragam yang digunakan dalam kehidupan sosial masyarakat yaitu:
1.     Bahasa Rote yang digunakan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Ragam ini secara potensial dapat dianggap sebagai bahasa Rote baku yang penuturannya dilakukan secara non-formal.
2.     Bahasa Rote yang digunakan dalam upacara-upacara adat. Biasanya ragam ini ditemukan dalam acara-acara adat masyarakat dan atau dalam situasi-situasi formal dan dianggap sebagai bahasa Rote tidak baku. Dalam penuturannya, raga mini bersifat puitis dan mengandung sistem paralelisme.

B.    Sejarah Penulisan Bahasa Rote
Bahasa Rote yang dikenal oleh masyarakat sebe-lum masa penjajahan Belanda adalah Bahasa Rote Lisan. Artinya bahasa Rote hanya dapat dituturkan secara turun-temurun dan belum ditulis. Penuturan-nya terdapat di dalam cerita-cerita rakyat, syair-syair dan penuturan lainnya dalam acara-acara adat. Oleh karena itu, pada awal abad ke-17 yaitu masa pen-jajahan Belanda di Rote, muncullah Bahasa Rote tertulis. Sejarah penulisan bahasa Rote oleh Belanda dan beberapa masyarakat pribumi telah dimuat dalam jurnal Belanda yaitu Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Pada umumnya, bahasa Rote telah ditulis dalam terjemahan bahasa Belanda dan bebe-rapa artikel yang masih dijelaskan dalam bahasa Melayu. Berikut ini dirincikan sejarah penulisan bahasa Rote yang diawali sejak abad ke-17 adalah sebagai berikut:
a)     G. Heijmering; pada tahun 1842 menulis tentang adat-istiadat orang Rote yang berjudul Zeden en Gewoonten op het Eiland Roti yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie Vol. 5:531-549; 623-639; Vol. 6:353-367. Dalam tulisan ini, bahasa Rote digambarkan dalam beberapa ba-hasa ritual serta dalam artikel lainnya menjelas-kan tentang perbedaan dialek yang digunakan di pulau Rote.
b)     D.P. Manafe; tahun 1889 menulis tentang variasi dialek bahasa nusak-nusak di Rote dengan judul Akan Bahasa Roti yang terdapat di dalam jurnal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 38:634-648. Dalam artikel ini, Manafe menjelas-kan tentang variasi dialek yang digunakan dalam bahasa Rote.
c)     H. Kern; tahun 1890 menulis daftar kosa kata dalam bahasa Rote-Melayu dengan judul Rotti-neesche-Meleische Woordelijst dalam jurnal Bij-dragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 39:1-26. Tahun 1893, Kern kembali menulis artikel yang berjudul Nederlandsch-Rottineesche Samenspraken dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 42:71-102. Dalam artikel-artikel ini, Kern membuat jenis leksikon ba-hasa Rote terjemahan bahasa Belanda serta daftar kalimat dan idiom yang juga diterjemahkan dalam bahasa Belanda.
d)     J. Fanggidaej; Tahun 1892 menulis tata bahasa Rote yang masih dalam terjemahan bahasa Be-landa dengan judul Rottineesche Spraakkunst yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 41:554-571, dan selanjutnya dilengkapi oleh Jonker dengan judul yang sama dan diterbitkan tahun 1915 oleh E.J. Brill, Leiden - Belanda. Tahun 1894, Fanggidaej menulis artikel dengan judul Beberapa Tjeritera Peroempamaan Tersalin Kepada Bahasa Rotti Yang Dinamai Tutui Nakasasamak-ala dan dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 44:450-460; 662-771. Tahun 1895, Fanggidaej menerjemahkan Injil Lukas dalam bahasa Rote dan diterbitkan di Belanda dengan judul Het Evangelie van Lucas Vertaald in Het Rottinees-che.
e)     J.C.G. Jonker; Tahun 1905 menulis kumpulan cerita dongeng dalam bahasa Rote dengan judul Rottineesche Verhalen yang dimuat dalam Bijdra-gen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 58:369-464. Tahun 1906, Jonker menulis artikel dengan judul Over de Eind-Medeklinkers in het Rottineesche en Timoreesch ‘Konsonan penutup dalam bahasa Rote dan bahasa Timor’ yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 59:263-343. Tahun 1908, Jonker menerbitkan Kamus Rote-Belanda oleh E.J. Brill di Belanda dengan judul Rottineesche-Hollandsch Woordenboek. Hasil karya Jonker lainnya adalah Rottineesche Teksten en Vertaling diterbitkan oleh E.J. Brill tahun 1911; Bijdrage tot de Kennis de Rottineesche Tongvalen ‘Sum-bangan Pengenalan Bahasa Rote’ dalam Bijdra-gen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 68:521-622 tahun 1913; dan Rottineesche Spraakkunst ‘Tata Bahasa Rote’ tahun 1915.
f)      James J. Fox; tahun 1971 menulis paralelisme dalam bahasa ritual orang Rote yang berjudul Semantic Parallelism in Rotinese Ritual Language yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 127:215-255; tahun 1986 diterbitkan buku Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti yang terdiri dari kumpulan beberapa makalah Fox yaitu 1) Standing in time and place; 2) Retelling the past. The Communicative Structure of a Rotinese Historical Narrative; 3) Semantic Parallelism in Rotinese Ritual Language; 4) Our Ancestors Spoke in Pairs: Rotinese Views of Language, Dialect, and Code; 5) On Binary Categories and Primary Symbols: Some Rotinese Perspectives; dan 6) Roman Jakobson and the Comparative Study of Parallelism yang diter-jemahkan oleh Sapardi Djoko Damono dan Ratna Sapatari dan diterbitkan oleh Djambatan Jakarta. Hasil karya Fox yang lain adalah Rotinese Ritual Langauge: Texts and Translation (manuskrip tahun 1972); dan Dictionary of Rotinese Formal Dyadic Language (manuskrip tahun 1972).
g)     Mboeik dkk; tahun 1985 meneliti tentang bahasa ritual dan sastra lisan dalam bahasa Rote dengan judul Sastra Lisan Rote dalam Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur.
h)     A.M. Fanggidae, dkk; tahun 1998 meneliti bahasa Rote dengan judul Morfologi Bahasa Rote dalam Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur.
i)       T.Y. Kumanireng, dkk; tahun 2000 melakukan penelitian bahasa Rote dengan judul Sintaksis Bahasa Rote dalam Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Nusa Tenggara Timur.
j)       Jermi I. Balukh; tahun 2007 menulis buku Pela-jaran Bahasa Rote Untuk SD Kelas 3 yang diterbitkan oleh UPTD Bahasa Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Selanjutnya melalui program UPTD Bahasa NTT kembali melakukan penelitian Pemetaan Bahasa Daerah di Kabupaten Rote-Ndao tahun 2012. Selain itu terdapat beberapa artikel yang dimuat dalam jurnal-jurnal yaitu Konstruksi nana—k da-lam Bahasa Rote: Antara Pasif dan Antikausatif dalam Linguistika Vol. 16 tahun 2008; Aspectual Properties in Rotinese yaitu makalah yang dipresentasikan pada Workshop on Tense, As-pect, Mood, and Evidentiality of Langauges in Indonesia di Tokyo, Jepang tahun 2011.
k)     Paul A. Haning; tahun 2010 menulis Bahasa dan Sastra Rote yang diterbitkan oleh CV. Kairos Kupang.
l)       Leksi S. Y. Ingguoe;  tahun 2015 menulis tentang Tata Bahasa Rote yang diterbitkan oleh Deepub-lish (Grup Penerbitan CV. Budi Utama) Yogya-karta.
Selain beberapa penulis di atas, bahasa Rote sudah banyak ditulis dan diteliti baik oleh para maha-siswa di berbagai sekolah tinggi dan universitas maupun oleh para dosen yang hasil penelitiannya dipublikasi dalam tulisan-tulisan ilmiah dan jurnal-jurnal lokal.

C.    Dialek
Bahasa Rote merupakan bahasa variatif yang terdiri dari berbagai ragam dan dialek yang tersebar di setiap nusak di Rote. Dalam hal pembagian dialek, setiap nusak menganggap bahwa memiliki bahasanya sendiri namun secara umum variasi ini dalam nusak sangat berdekatan bahkan terdapat nusak yang sama dalam menggunakan bahasa dan ragamnya. Oleh karena itu, laporan de Clerq tanggal 20 November 1873 yang berjudul Alerlei Het Einland Roti membagi bahasa Rote dalam 6 (enam) dialek yang mengga-bungkan beberapa nusak dalam sebuah dialek yaitu 1) Thie, Loleh, dan Ba’a’ 2) Termanu, Keka, dan Talae; 3) Korbaffo; 4) Landu, Ringgou, Oepao, Bilba, Diu, Lelenuk, dan Bokai; 5) Delha dan Oenale; 6) Dengka dan Lelain. Sedangkan dalam artikel D.P. Manafe tahun 1889 yang berjudul Akan Bahasa Roti mengelompokan bahasa Rote dalam 9 (Sembilan) dialek yaitu:
a.     Ringgou, Oepao, dan Landu;
b.     Bilba, Diu, dan Lelenuk;
c.      Korbaffo;
d.     Termanu, Keka, dan Talae;
e.     Bokai;
f.       Ba’a dan Loleh;
g.     Thie;
h.     Dengka dan Lelain;
i.       Delha dan Oenale;
Dalam penelitian-penelitian bahasa Rote pada abad ke-19 dan ke-20 digunakan penggolongan dialek oleh Manafe karena berdasarkan segi linguistik bisa diterima sebagai bagian dari variasi bahasa Rote. Penelitian bahasa Rote selanjutnya oleh Fanggidae dkk dalam Morfologi Bahasa Rote tahun 1998 mela-kukan penggolongan dialek berdasarkan penggo-longan kecamatan yaitu 1) dialek Rote Timur (Keca-matan Rote Timur dan Pantai Baru), 2) dialek Rote Tengah (Kecamatan Rote Tengah, Rote Selatan dan Lobalain), 3) dialek Rote Barat Laut, dan 4) dialek Rote Barat Daya.
Penggolongan dialek bahasa Rote akhirnya diteliti yaitu oleh Jermi Balukh tahun 2012 dalam Pemetaan Bahasa Daerah di Kabupaten Rote Ndao yang menyatakan bahwa bahasa Rote terdiri dari 5 (lima) dialek yaitu sebagai berikut:
1)     Delha, Oenale, Dengka dan Lelain
2)     Thie, Ba’a dan Loleh
3)     Termanu, Keka dan Talae
4)     Korbaffo, Bokai, Lelenuk, Diu, dan Bilba
5)     Landu, Oepao dan Ringgou
Penggolongan dialek oleh Balukh walaupun sudah merupakan hal yang mendekati sebuah kebe-naran, namun berdasarkan kenyataan dalam penggu-naan bahasa yang digunakan dalam setiap nusak, terdapat perbedaan yang sangat signifikan dalam setiap dialek kecuali dialek Termanu, Keka dan Talae. Sebagai contoh, dialek Delha, Oenale, Dengka dan Lelain dikelompokan dalam sebuah dialek namun terdapat perbedaan secara fonologis yaitu Delha dan Oenale secara umum menggunakan bunyi [r] sedangkan Dengka dan Oenale menggunakan bunyi [l]. Atas dasar perbedaan ini maka Manafe menggo-longannya menjadi 2 (dua) dialek yaitu dialek Delha-Oenale dan Dengka-Lelain. Selanjutnya dialek Thie-Ba’a-Loleh juga terdapat perbedaan fonologis yang sama yaitu Thie menggunakan bunyi [r] dan Ba’a-Loleh menggunakan bunyi [l] sehingga Manafe memisahkannya menjadi dialek Thie dan dialek Loleh-Ba’a.
Secara umum, penggolongan ini dapat diterima sebagai klasifikasi dialek bahasa Rote yang mungkin akurat karena dalam penelitian ini sudah melalui perhitungan prinsip dialektomentri. Selain itu, Balukh juga menyatakan bahwa terdapat perbedaan isolek antara nusak yang satu dengan nusak yang lain sehingga bahasa Rote memiliki 18 (delapan belas) isolek sesuai dengan jumlah nusak yang ada di Rote.

D.    Variasi Dialek
Dalam peta semantik, Fox memetakan data bahasa yang digunakan oleh Rote Timur dan Rote Barat;
Rote Timur          Rote Barat     Arti
daehena              hataholi          orang
luak                       leak                 gua
nafa                      li                      ombak
pela                      longge            menari
lain                        ata                   langit
-lo                          -nggou            memanggil
pu                          oku                  menjerit
bali                        seok                campur
tenga                    nggama         ambil
pada                     bata                melarang
                                          (Fox, 1986: 184-186)
Dalam analisis perubahan bunyi dalam bahasa Rote, Ingguoe (2015:29-33) menjelaskan bahwa terdapat beberapa variasi bunyi yang dimiliki dalam bahasa Rote yang menunjukkan diferensi sebuah dialek yaitu sebagai berikut:
a.     Variasi bunyi [r] dan [l]. Bunyi [r] digunakan di Thie, Oenale, Delha, Ringgou, Oepao, dan Landu sedangkan bunyi [l] digunakan di Dengka, Lelain, Ba’a, Loleh, Korbaffo, Bokai, Bilba, Diu, Lelenuk, Termanu, Keka dan Talae. Misalnya dalah contoh kata dero dan delo ‘jeruk’, hara dan hala ‘suara’, rose dan lose ‘hapus’, reke dan leke ‘hitung’, sira dan sila ‘mereka’.
b.     Variasi bunyi [d], [l], dan [r]. Bunyi [d] digunakan di Ba’a, Loleh, Termanu, Keka, Talae, Thie, dan Korbaffo; bunyi [l] digunakan di Bokai, Bilba, Diu, Lelenuk, Dengka, dan Lelain; bunyi [r] digunakan di Ringgou, Oepao, Landu, Oenale, dan Delha. Misalnya dulu/lulu/rulu ‘timur’, dua/lua/rua ‘dua’, nade/nala/nara ‘nama’, dan ledo/lelo/relo ‘mata-hari’.
c.      Variasi bunyi [r], [l], [n], dan [nd]. Bunyi [r] digunakan di Ringgou, Landu, Oepao; bunyi [l] digunakan di Bilba, Diu, Bokai, Lelenuk; bunyi [n] digunakan di Korbaffo, Termanu, Keka, Talae; dan bunyi [nd] digunakan di Loleh, Ba’a, Thie, Dengka, Oenale. Misalnya bara, bala, bana dan banda ‘hewan’; fora, fola, fona dan fonda ‘rampas’; dan faruk, faluk, fanuk dan fanduk ‘musim kemarau’.
d.     Variasi bunyi [nd], [l], dan [r]. bunyi [nd] digunakan di Ba’a, Loleh, Thie, Termanu, Keka, Talae, Dengka, Lelain, Delha dan Oenale; bunyi [l] digunakan di Bilba, Diu, Lelenuk dan Bokai; serta bunyi [r] digunakan di Ringgou, Landu dan Oepao. Misalnya ndefa/lefa/refa ‘rebah’; nduk/ lu’/ru’ ‘bintang’; dan nde (ndia)/le (lia)/re (ria) ‘di’.
e.     Variasi bunyi [ngg], [ng], dan [k]. Bunyi [ngg] digunakan di Loleh, Ba’a, Thie, Dengka, Oenale, Lelain dan Delha; bunyi [ng] digunakan di Termanu, Keka, Talae, Bokai, Korbaffo, Bilba, Diu dan Lelenuk; sedangkan bunyi [k] digunakan di Ringgou, Landu dan Oepao. Misalnya sangga/ sanga/saka ‘mencari’; hengge/henge/ heke ‘ikat’; dan sunggu/sungu/suku ‘tidur’
f.       Variasi bunyi [b] dan [f]. Bunyi [b] digunakan di Loleh, Thie, Ba’a, Rote Tengah dan timur sedang-kan bunyi [f] digunakan di Dengka, Lelain, Delha dan Oenale. Misalnya bulu/fulu ‘bulu’ bafi/fafi ‘babi’; bulak/fulan ‘bulan’; dan bini/fini ‘bibit’.
g.     Variasi bunyi [mb], [p], dan [mp]. Bunyi [mb] digunakan di Loleh, Thie, Dengka dan Oenale; bunyi [p] umumnya digunakan di Rote bagian tengah dan timur; sedangkan bunyi [mp] diguna-kan di Ba’a. Misalnya mbunuk/punuk/ mpunuk ‘sabut kepala’; bumbu/bupu/bumpu ‘tawon’; kamba/kapa/kampa ‘kerbau’; dan mba/pa/ mpa ‘daging’.
h.     Variasi bunyi [k] dan [‘]. Bunyi [k] digunakan di sebagian besar nusak di Rote sedangkan bunyi [‘] digunakan di Ringgou, Oepao, Landu, Oenale, Delha dan Dengka. Misalnya kada dan ‘ada ‘hanya’; kala dan ‘ala ‘kalah’; taka dan ta’a ‘kapak’; serta suik dan sui’ ‘selam’.

*************




Bab 9
Agama Nusak
 







A.     Agama Suku Orang Rote
Agama yang dianut oleh orang Rote jaman dahulu sebelum masuknya agama Kristen adalah halaik yaitu kepercayaan terhadap kekuatan gaib, roh-roh halus serta roh-roh nenek moyang. Sebutan bagi orang-orang yang menganut agama halaik adalah dinitiu (Jonker, 1908:89).
Agama suku halaik ini merupakan kepercayaan animisme-dinamisme. Setiap suku terdapat uma nitu sebagai tempat pemujaan kepada para dewa. Mereka percaya bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari illah yang mereka sembah. Dan untuk meminta sesuatu dari allah yang mereka sembah maka dilakukan berbagai ritual dengan mempersembahkan ternak berupa kerbau, ayam dan babi sebagai korban.
Dalam kehidupan dinitiu jaman dahulu, mereka mempercayaai orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kemampuan gaib yang dikenal dengan manasonggo untuk membaca mantera dan doa-doa dalam kegiatan halaik. Misalnya dalam pembukaan ladang baru, atau kelahiran baru dalam satu keluarga, manasonggo dipanggil untuk membacakan doa-doa atau mantera-matera sebagai awal agar ladang yang dikerjakan dapat memberi hasil yang baik demikian juga dengan anak yang baru lahir dapat sehat dan terhindar dari gangguan roh-roh jahat.
Pemujaan terhadap dewa dalam agama suku halaik sangat rutin dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dewa yang biasa dikenal dalam agama ini adalah Dewa Nutu Bek (dewa untuk pertanian), dewa Nade Dio (dewa pemberi kemak-muran) dan dewa Timu Dulu (dewa yang membawa angin pada musim semi yang membuat pohon lontar mengeluarkan mayangnya).
Konsep wujud tertinggi dalam agama halaik disebut Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu wujud tertinggi. Wujud tertinggi terdapat sebuah cerita asal Loleh yaitu Telukaman Lailona dan Hakaman Nepedae. Telukaman Lailona dipercaya sebagai wujud tertinggi. Dalam pemaknaannya, Telu Ama atau tiga bapak yang disebut dengan Manaduk sebagai pencipta, Manafe sebagai pengasih dan Manasula Uak (penentu nasib).

B.    Sistem Upacara Agama Halaik
Ada pun sistem upacara yang dikenal dalam agama suku halaik adalah sebagai berikut:
1)     Ritual Kelahiran
Sebelum kelahiran ada ritual yang dilakukan yaitu pada saat janin berumur 7 bulan. Ritual ini dinamakan Nggenggeso tei/Nemba tei. Ritual ini dilakukan pada saat janin berumur 7 bulan karena orang tua menyadari bahwa pada umur 7 bulan janin ini sudah lengkap anggota tubuhnya. Dan ritual ini diadakan pada saat bulan purnama dan hanya dilakukan untuk kehamilan anak pertama/anak sulung. Ritual ini dilakukan di rumah orang tua istri. Suami-istri wajib membawa seekor domba jantan yang belum dikebiri dan orang tua istri menyiapkan seekor babi. Tujuan dilakukannya ritual ini yaitu memohon perlindungan Tuhan terhadap ibu dan janin. Dalam ritual kelahiran ini terdapat beberapa tahapan ritual yaitu: ritual saat persalinan/bonggi, ritual mengeluarkan plasenta, ritual pemberian nama (babae a’ana), ritual fua huni atau penyimpanan plasenta, ritual bayi yang berselaput (a’ana masolo), ritual netola nala (pemberian nama pada bayi), ritual tunu dala (panggang) dan ritual fila a’ana (menyapih anak).
2)     Ritual Adat Perkawinan
Nama upacara adat perkawinan bagi orang Rote adalah sasaok atau hada sasaok (adat perkawinan). Ritual adat terkait perkawainan dalam masyarakat diawali dengan perkenalan antara orang tua para mempelai. Biasanya dalam proses ini keluarga perempuan menentukan besaran mahar yang harus di bawa keluarga mempelai pria dalam proses peminangan. Ritual yang berhubungan dengan upacara adat perkawinan adalah:
a.  Songgo lais
Ritual ini dilakukan ketika ada perkawinan. Sebelum memindahkan seorang perempuan (istri) ke rumah seorang laki-laki (suami) maka ritual ini harus dilaksanakan, ritual ini dikenal dengan istilah e’o feto ma lali te’o (memindahkan saudari perempuan dan atau te’o).
b.  Ndolo te-tafa
Dua orang bertugas ndolo te-tafa (te artinya tombak dan tafa artinya parang). Kedua utusan tersebut datang dengan membawa te dan tafa atau bisa juga diganti dengan uang 1 sen dan ½ sen. Te senilai 1 sen dan tafa senilai ½ sen. Kalau untuk sekarang digantikan dengan uang kertas.
3)     Ritual Adat Kematian
Dalam ritual kematian, terdapat beberapa tahapan yaitu lo’o kopak artinya potong peti atau pembuatan peti jenazah, nadiu oe artinya memandikan mayat, kali bolok artinya menggali lubang kubur, natoi atau menguburkan jenazah, kota latek (menyusun batu pada kubur), nggafu neak  atau menggulung tikar, songo aok (bersihkan diri si istri dari pengaruh suami yang meninggal atau sebaliknya). Terdapat beberapa ritual yang berhubungan dengan ritual kematian adalah sebagai berikut:
a.      Songgo ao falu
Tujuan dilakukannya ritual ini adalah agar suami atau istri yang ditinggalkan tidak mengalami penderitaan berupa sakit dan bahkan mereka percaya bahwa kalau tidak mengadakan ritual ini maka suami/istri yang telah meninggal tidak akan berpisah dengan suami/istri yang ia tinggalkan, sehingga walupun tubuhnya tidak ada lagi namun rohnya tidak berpisah dengan suami/istri yang ditinggalkan.
b.     Mole bingga
Ritual ini dilakukan dengan tujuan supaya keluarga yang ditinggalkan tidak mengalami sakit penyakit. Ritual ini masih tetap berlaku sampai sekarang.  
4)     Ritual Adat Pertanian
Ritual yang berhubungan dengan pertanian adalah ritual membuka kebun baru
a.     Ritual buka kebun baru; ritual membuka kebun baru dalam masyarakat Rote Timur disebut Sai Nura.
b.     Ritual hu’a lasi; ritual ini dilakukan sebelum penebangan pohon dan pembersihan hutan untuk dijadikan kebun/ladang baru.
c.      Ritual ma’asufu afu; ritual ini dilakukan setelah pembersihan hutan untuk membuka kebun baru.
d.     Ritual menanam benih.
e.     Ritual menjaga/merawat tanaman; sebagai contoh ritual dalam hal merawat tanaman padi. Dalam hal ini terdapat beberapa tahap yaitu ritual menegakkan padi yang rebah (ne’e fefela ale) dan ritual mengusir hama ulat padi (songgo ula).
f.       Ritual yang terkait dengan panen; Dalam masyarakat Rote Timur disebut Sai Pa Mina. Selain itu terdapat ritual hauhu yang dilakukan sebelum panen, yaitu pada saat tanaman mulai berbunga/berbuah dan ritual jerami padi (fua u’a) yang dilakukan setelah selesai panen.
g.     Ritual yang terkait dengan ucapan syukur atas panen yaitu ritual se’se yang dilakukan setelah panen menunjukkan hasil yang memuaskan.
h.     Ritual yang terkait dengan penyadapan lontar; Penyadapan lontar pada umumnya terjadi pada bulan September-Nopember, dan musim ini sering disebut fai fandu.
i.       Ritual membuat tungku masak gula (tamba leta tua)
5)     Ritual Ternak Peliharaan
a.      Ritual perlindungan hewan besar (songgo banda sele); ritual ini bertujuan untuk melindungi ternak piaraan, seperti kerbau, kuda, domba dan kambing.
b.      Ritual memandikan ternak domba (songgo safe bibi); ritual ini bertujuan untuk meng-hindarkan hewan ternak dari penyakit.

C.    Sejarah Masuknya Agama Kristen
Pada awal abad ke-17, tepatnya pada tahun 1729 ketika Foe Mbura diangkat dan dilantik menjadi Raja Thie, ia merencanakan dan berupaya agar rakyatnya dapat hidup sehat, aman, damai, sentosa, makmur serta dapat mengenal huruf, bisa membaca, menulis, berhitung dan percaya adanya  Tuhan Allah Tri Tunggal. Program yang direncanakan oleh Foe Mbura adalah sangga ndolu sio ma tungga lela falu yang arti harafiahnya adalah mencari ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan serta hikmat.
Atas dasar pemikiran ini maka pada pertengahan tahun 1729, Foe Mbura berupaya membuat sebuah perahu sehingga ia memberikan tugas kepada seorang bernama Nafi Long untuk membuat sebuah perahu dengan meniru konstruksi perahu-perahu Makassar yang datang dari Namosain pada waktu itu. Akhirnya Nafi Long dapat menyelesaikan perahu tersebut. Perahu itu diberi nama Sangga Ndolu. Nama itu diberikan oleh seorang anak bernama Resi Boru.
Pada tahun 1730, berangkatlah Foe Mbura bersama 27 wakil dari leo-leo di Thie termasuk Ndi’i Hu’a (Raja Loleh), Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a) dan Ndara Naong (Raja Lelain) serta Pandi Mbura (saudara Foe Mbura) ke Batavia.[14] Pandi Mbura tidak melanjutkan perjalanan ke  Batavia tetapi singgah di pulau Sabu dan tinggal bersama saudaranya Nuku Mbura yang sudah lebih dahulu menetap di Sabu.
Konon, sebelum keberangkatan, diadakan ritual dan dipersembahkan seorang gadis bernama Pingga Ngga (anak dari Ngga Pandi). Setelah itu rombongan itu berangkat dari pelabuhan Namo Linok (Oemasik) yang sekarang diubah namanya menjadi pelabuhan Sangga Ndolu.
Setelah perjalanan kurang lebih dua bulan, akhir-nya rombongan Foe Mbura tiba di Batavia dan mendapat pendidikan serta pelatihan selama dua tahun lamanya. Pendidikan yang diajarkan adalah pendidikan agama Kristen dan ilmu pengetahuan. Terdapat beberapa orang yang tidak mengikuti pendidikan sehingga dipulangkan yaitu Mina Mbaru (wakil dari leo Musuhu), Semu Lolo (wakil dari leo Kanaketu), dan Foi Soru (wakil dari leo Su’a).
Setelah pendidikan, terdapat lima orang di antara mereka minta untuk dibaptis menurut agama Kristen yaitu Foe Mbura dibaptis dengan nama Benyamin Messakh, Mbate Moi dengan nama Johanis Mooy, Tule Fatu dengan nama Daniel Fatu, Nafi Long dengan nama Nitanel Lon, dan Resi Boru dengan nama Matias Boru. Sebelum rombongan kembali ke Rote, Foe Mbura sebagai pemimpin rombongan mendapat sebuah tongkat berkepala emas dan bertuliskan “Benyamin Messakh Raja Van Thie 1732”.
Pada tahun 1732, rombongan Foe Mbura dengan dua buah perahu kembali ke Rote. Perahu pertama ditumpangi oleh Mbate Moi sedangkan perahu kedua (Sangga Ndolu) ditumpangi oleh Foe Mbura. Sesampai di Rote, satu-satunya anak laki-laki Foe Mbura yaitu Henu Foeh meninggal dunia (Haning, 2013: 17-21).
Foe Mbura dan rombongannya dari Batavia (Jakarta sekarang) membawa sejumlah Kitab Injil, Kitab Mazmur dan Buku Nyanyian, Kitab Kidungan, kitab tulis, kertas, pensil, dan perabot rumah tangga yang terbuat dari kayu, batu dan besi (Soh dan Indrayana, 2008:51). Menurut Haning (2013:23) bahwa rombongan Foe Mbura dari Batavia membawa sebuah lonceng gereja, sebuah Kitab Perjanjian Lama, sebuah Kitab Perjanjian Baru, sebuah Kitab Nyanyian Mazmur, sebuah buku Nyanyian yang disebut Mazmur Batavia (karangan H. Hoveker), buku-buku bacaan dan alat tulis.

D.    Penyebaran Agama Kristen
Raja Rote yang pertama dibaptis dalam agama Kristen adalah Mbura Messah (ayah Foe Mbura) dengan nama Yeremias Messakh pada tahun 1726 (Soh dan Indrayana, 2008:50).
Setelah pulang dari Batavia pada tahun 1732, Foe Mbura mendirikan sekolah pertama di Fiulain pada tahun 1734. Tugas sekolah lebih mengutamakan membaca, menulis, berhitung dan agama Kristen. Sebagai raja Kristen, permintaan Benjamin Messakh (Foe Mbura) yang pertama adalah seorang guru. Guru pertama yang dikirim ke Thie adalah seorang Kristen dari Kupang yang bernama Johannes Senghadje.
Dalam sumber lain menyatakan bahwa Benjamin Messakh, Johannes Senghadje dan Raja Bilba rupanya membentuk semacam kerajaan baru. Karena itu, Sanghadje dipecat dan Messakh ditahan tetapi kemudian diampuni. Setelah diangkat kembali pada tahun 1735, Messakh memperbarui permintaannya dan Belanda segera menunjuk seorang Ambon Kristen, Hendrik Hendriks sebagai guru sekolah di Thie. Guru tersebut mula-mula didatangkan dengan tujuan untuk mengajar agama Kristen. Dengan wibawa seorang guru, Thie merupakan Kerajaan Kristen yang menjadi pusat dari kerajaan-kerajaan sekutu di bagian selatan tengah pulau Rote. Ketika Thie diserang, Messakh segera menyatakan bahwa rakyatnya yang beragama Kristen tidak seharusnya ditangkap oleh orang-orang yang tidak beragama Kristen dari kerajaan-kerajaan lain. Pada waktu putera Ndaomanu menyerang Kuli dan Loleh atas nama ayahnya, mereka yang tidak tertangkap melarikan diri dari Thie. Dan pada waktu berada di Thie itulah raja Loleh meminta ijin untuk dipermandikan sehingga dalam sebuah surat tertanggal 26 Februari 1740 yang dikeluarkan oleh Belanda berisi tentang orang Loleh meminta untuk dibabtis atas nama Kristus. (Fox, 1996:147).
Pada tahun 1743, terdapat sebuah surat yang dikirim oleh raja Tou Dengga Lilo (Raja Ba’a) dan Ndara Naong (Raja Lelain) tertanggal 1 Oktober 1743. Dalam surat tersebut kedua raja memohon untuk dipermandikan dan menerima agama kristen (Fox, 1996:149). Pada tanggal 10 september 1826 Raja Talae dibabtis (Soh dan Indrayana, 2008:53). Pada tahun 1832, Heijmering berhasil membatis raja Termanu (Soh dan Indrayana, 2008:54).
Penyebaran agama Kristen di Rote yang dirintis oleh Foe Mbura dan dibantu oleh Belanda. Le Bruijn merupakan pendeta pertama yang mengunjungi Pulau Rote setelah masuknya agama Kristen (Fox, 1996:174). Pada tahun 1828, Le Brujn mengukuhkan J. K. Ter Linden di Thie (Danoheo) menggantikannya untuk membantu penyebaran agama Kristen di Rote. Pada tahun 1832, Ter Linden meninggal dunia dan digantikan oleh Heijmering yang berhasil membaptis-kan raja Talae dan membangun beberapa sekolah di Rote.

E.     Perkembangan Agama Kristen
Perkembangan agama Kristen setelah masuk tahun 1732 sangat cepat karena selain dibawa oleh orang pribumi, juga dibantu oleh Belanda. Dalam perkembangannya tahun 1756 tercatat di pulau Rote terdapat 12 sekolah di 12 kerajaan. Masyarakat juga sangat antusias menerima kehadiran agama kristen di Rote. dalam tahun yang sama dijelaskan bahwa jemaat yang terbesar adalah Thie dengan jumlah 1.256 jiwa sedangkan jemaat yang paling kecil adalah di Landu dengan jumlah 54 jiwa sedangkan tahun 1760 terdapat 1.760 orang Kristen di Landu (Soh dan Indrayana, 2008:53).
Menurut L. Y. Van Rhijn dalam Soh dan Indrayana (2008:55) bahwa pada tahun 1857, jumlah penduduk Rote adalah kurang lebih 45.000 jiwa sedangkan yang memeluk agama Kristen hanya 7.000 jiwa sehingga tahun 1860, pekabaran Injil mulai dilakukan lagi di Rote dengan diutusnya seorang pendeta bernama Jackstein (seorang pendeta buta) sehingga tahun 1871, sekolah di Rote bertambah yaitu terdapat 18 sekolah pemerintah yang tersebar di setiap kerajaan dan terdapat pula 16 sekolah desa.
 Tahun 1893, Jackstein mendirikan sebuah gereja yang bertempat di Menggelama, Ba’a. Jackstein kemudian digantikan oleh P. Y. Pennings pada tahun 1877 namun karena sakit, ia dibawa ke Belanda dan diganti oleh H. W. Van Malsen sehingga tahun 1882, dilakukan peletakan batu pertama gereja Mengge-lama dan menjadi gedung gereja yang pertama dibuat dari batu.
Pada tahun 1885, Van Malsen meninggal di Makassar sehingga pada tahun 1890, ditunjuk G. J. H. Le Grand menggantikan Van Malsen. Dalam sejarah Rote, satu-satunya penginjil yang menetap di Rote adalah G. J. H. Le Grand yang tinggal dari tahun 1890 sampai 1900. (Fox, 1996:181). Le Grand mencetuskan beberapa gagasan dalam pem-bangunan jemaat gereja yaitu membuka sekolah minggu (Zondagschool), membentuk perhimpunan penyanyi atau paduan suara, membuka sekolah akil balig, merencanakan pembukaan STOVIL di Rote. Le Grand bekerja selama 10 tahun di Rote. ia mem-baptiskan 35 orang setiap tahun.
Secara rinci, para pendeta yang pernah ditempat-kan di Rote adalah sebagai berikut:
a)  Hermanu Sanders Zijlsma yang bertugas di Rote sekitar tahun 1742 dan tahun 1750-an pindah dari Rote.
b)  A. Jackstein; merupakan seorang pendeta berke-bangsaan Jerman ditempatkan di Ba’a, Tutukarlain pada tahun 1860 dan pensiun tahun 1874.
c)  P. Pennings ditempatkan di Ba’a tahun 1875 dan tahun 1880 dipindahkan ke Minahasa.
d)  H. W. Van Malsen, ditempatkan di Rote tahun 1880 dan meninggal dunia tahun 1882.
e)  G. J. H. Le Grand yang ditempatkan tahun 1890 di Ba’a, Menggelama.
f)   Bertolens Kiki; diangkat tahun 1885 dan ditempat-kan di Ba’a melayani jemaat-jemaat di Ba’a, Lelain, Dengka, Oenale, Thie dan Loleh.
g)  Osias L. Messakh; diangkat tahun 1897 dan ditem-patkan di Korbaffo. Melayani jemaat-jemaat di Oepao, Ringgou, Landu, Korbaffo, dan Termanu.
h)  Stefanus Jusuf Merukh, diangkat tanggal 1 April 1898. Ditempatkan di Oelulu (Bilba) dan melayani jemaat-jemaat di Bilba, Diu, Lelenuk, Bokai, Talae dan Keka.
i)    F. H. Van de Wetering; ditempatkan di Rote tahun 1920.
j)    F. L. O. Hasselholf yang dipindahkan dari Kupang ke Rote tahun 1931 untuk melayani jemaat di Rote dan Sabu.
k)  Geerlof Heijmering yang bertugas di Rote tahun 1833 dan pensiun tahun 1859.
l)    Petrus Dirk Pello, seorang guru di Babau, Kupang diangkat oleh L. J. Van Rhijn menjadi pembantu pekabar Injil di Rote tahun 1847.

*************



Daftar Pustaka
 






                      
Adoe, Johanis F. 2013. Rote Ndao Selayang Pandang. Kupang: Kreasi.

Balukh, Jermi I. 2012. Pemetaan Bahasa Daerah di Kabupaten Rote Ndao. Kupang: UPT Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Nusa Tenggara Timur.

De Boer, D.W.N. 1936. Jalannya Pemerintahan Rote di Bawah Kekuasaan Belanda sampai Didirikan-nya Pemerintahan daerah Rote di Bawah suatu Pemerintahan dengan Satu Kepala Daerah dan Ditetapkannya Sistem Daerah Tata Praja. Diterjemahkan oleh Piet Y. Francis tahun 2004. Dokumentasi Perpustakaan Daerah Nusa Teng-gara Timur.

De Boer, D.W.N. 1925. De gorzaken van het verzet-derhalve de bezwaren van hoofden en bevolking – tegen de hui dige bestuur sorganisa tie op Roti. Diterjemahkan oleh Ben Parera tahun 2005. Do-kumentasi Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Timur.

De Clerq. 1878. Serba Serbi Mengenai Pulau Rote. Diterjemahkan oleh Piet Y. Francis tahun 2004. Dokumentasi Perpustakaan Daerah Nusa Teng-gara Timur.

Dethan, J.A. 1996. Silsilah Marga Dethan. Surabaya: Sebuah Laporan yang tidak Dipublikasikan.

Fox, James J. 1971. A. Rotinese Dynastic Genealogy: Structure and Event. Dalam T.O. Beidelman (ed), The Translation of Culture: essays to E.E. Evans-Pritchard: 37-77. London: Tavistock.

__________. 1986. Bahasa, Sastra dan Sejarah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan.

__________. 1996. Panen Lontar: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau Rote dan Sabu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

_________. 1997. Genealogy and Topogeny: To-wards and Ethnography of Rotinese Ritual Place Names in The Poetic Power of Place pp. 89-100.Canberra: ANU E Press.

Gyanto. 1958. Pulau Roti: Pagar Selatan Indonesia. Bandung: Ganaco N. V.

Haning, Paul A. 2009. Bahasa dan Sastra Rote. Kupang: CV. Kairos.

_________. 2013. Ti Mau: Leluhur Orang Thie. Kupang: CV. Guntur.

_________. 2013. Foe Mbura: Raja, Pendidik, dan Penginjil. Kupang: CV. Guntur Berisi Pustaka.

Heijmering, G. 1843. De Heidensche Godsdienst der Rottineezen. Diterjemahkan oleh Ester Janssen tahun 2005. Dokumentasi Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Timur.

Ingguoe, Leksi S.Y. 2015. Tata Bahasa Rote. Yogya-karta: CV. Budi Utama (Deepublish).

Izaac, R. 1990. Kumpulan Sejarah Mengenai Masya-rakat Rote. Baa: Sebuah Laporan yang tidak Di-publikasikan.

Jonker, J.C.G. 1905. Rottineesche Verhalen. Bij-dragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 58:369-464.

___________. 1908. Rottineesche–Holandsch Woor-denboek. Leiden: E. J. Brill.

___________. 1913. Bijdrage tot de kennis der Rottineesche Tongvallen. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 68:521-622.

Mboeik, S. J. dkk. 1985.  Sastra Lisan Rote. Program Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah NTT, Pusat Pembinaan dan Pengem-bangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Messakh, Benjamin. 2007. Silsilah Suku Mburala’e. Rote: Sebuah Manuskrip yang tidak diterbitkan.

Naladay, A.Z. 1983. Aneka Kebudayaan Suku Bangsa Rote. Kupang: Museum Nusa Tenggara Timur.

Otta, C.E. 1990. Rote Nusa Sasando. Media Edisi November 1990.

Soh, Andre Z. dan Maria N.D.K. Indrayana. 2008. Rote Ndao: Mutiara Dari Selatan. Jakarta: Ke-lopak.

Wetering, F.H. 1925. Het Huwelijk op Rote. Diter-jemahkan oleh Ben Parera tahun 2005. Doku-mentasi Perpustakaan Daerah Nusa Tenggara Timur.

*************





Tentang Penulis
 








Melki O. Lalay

Melki Oktofianus Lalay lahir pada tanggal 5 Mei 1982 dari pasangan Bapak Jonatan Lalay dan Ibu Sarci Amelia Lalay–Tungga di Kampung Liuk, Desa Ingguinak Kecamatan Rote Barat Laut Kabupaten Rote Ndao. Tahun 1987 memulai pendidikannya pada SD GMIT Ingguinak dan tamat tahun 1993. Me-lanjutkan pendidikannya pada tingkat SLTP Negeri 1 Rote Barat Laut dan tamat tahun 1996 kemudian melanjutkan pendidikan pada SMA Negeri 1 Rote Barat Laut dan tamat tahun 1999.
Setelah tamat pendidikan SMA, pindah ke Kupang dan melanjutkan pendidikan S-1 pada Universitas Nusa Cendana Program Studi Pendidikan Sejarah dan tamat pada tahun 2007 dengan judul skripsi “Pelaksanaan Upacara Adat Limbe di Desa Boni Kecamatan Rote Barat Laut Kabupaten Rote Ndao”.
Setelah menamatkan pendidikan S-1nya, melanjutkan pendidikan S-2nya pada Universitas Nusa Cendana pada Jurusan Pendidikan IPS dan memperoleh magister tahun 2012 dengan judul penelitian Studi Geohistory tentang penerapan sistim patrilineal dan penyebaran geneologis dalam Rumpun Takatein suku Roti di Pulau Rote. Karier terakhir adalah Dosen pada Universitas PGRI Nusa Tenggara Timur dan menjabat sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah. Buku The History of Nusak in Roti Island” ini menjadi awal dari kecintaan terhadap sejarah Pulau Rote.
*************




Yusuf H.A. Adoe
Yusuf H. A. Adoe lahir di Kupang tanggal 5 April 1972. Mengawali pendidikan dasarnya pada SD Tunfeu, Kabupaten Kupang dan tamat pada tahun 1985, selanjutnya melanjutkan pada SMP Negeri 4 Kupang, Kota Kupang dan tamat pada tahun 1988. Kemudian melanjutkan pendidikannya pada SPG Negeri Kupang dan tamat pada tahun 1991.
Setelah menamatkan pendidikan pada SPG, melanjutkan pada Universitas Nusa Cendana Kupang dan memperoleh gelar sarjananya pada tahun 1996 dengan judul skripsi “Nilai-Nilai Pancasila dalam Budaya Adat Belis di Desa Tunfeu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang”.
Kariernya menjadi guru pada SMP negeri 3 Rote Barat daya dari tahun 1998 sampai 2011, kemudian diangkat menjadi Kepala Sekolah pada SMP Negeri 4 Lobalain dari tahun 2011-2015. Jabatan terakhir adalah Kepala Sekolah SMP Negeri 5 Lobalain dari tahun 2015 sampai sekarang.
Terdapat beberapa prestasi yang diraih di antaranya Juara Lomba Diskusi P4 antar perguruan tinggi tingkat provinsi se-NTT tahun 1996 dan finalis lomba diskusi P4 antar perguruan tinggi tingkat Nasional tahun 1996.
Dalam  kesibukan sebagai abdi negara, beberapa kali menulis artikel yang termuat dalam beberapa media cetak yang berisi tentang motivasi. Selain itu, kecintaannya terhadap sejarah dan kebudayaan Rote membuat mengawali kariernya sebagai penulis buku dan buku “The History of Nusak in Roti Island” ini menjadi buku pertamanya.
*************




Leksi S.Y. Ingguoe

Leksi Sudi Yandri Ingguoe dilahirkan tanggal 13 Agustus 1985 di Bandu. Sebuah kampung kecil di selatan Pulau Rote, yang termasuk dalam Desa Bebalain, Kecamatan Lobalain. Tahun 1991 memulai pendidikan dasarnya pada SD Inpres Bandu dan tamat tahun 1997. Kemudian melanjutkan pendidikan-nya di SLTP N 2 Rote Tengah (sekarang SLTP N 1 Rote Selatan) dan tamat pada tahun 2000.
Setelah itu, ia pindah ke Kupang untuk melanjut-kan pendidikan pada SMU Diakui PGRI Kupang, lalu tamat tahun 2003. Pada tahun 2005 kuliah pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusa Cendana. Pada bulan Februari 2012 menye-lesaikan skripsinya berjudul “Konkordansi Bahasa Rote Dialek Loleh”.
Niatnya untuk melestarikan kebertahanan bahasa Rote membuatnya terus mempelajari bahasa Rote dan variasi dialek-dialeknya. Alhasil pada Febuari 2015 berhasil menerbitkan buku pertamanya yang berjudul “Tata Bahasa Rote”. Buku “The History of Nusak in Roti Island” ini merupakan buku keduanya tentang sejarah, budaya dan bahasa di Pulau Rote.
*************





[1] Belu Mau sebagai lambang perempuan sampai sekarang adat perkawinan di Belu menggunakan adat kawin masuk (laki-laki mengikuti perempuan).
[2] Dalam Fox, 2006:144 menjelaskan bahwa masa pemerintahan Raja Ndaomanu Sinlae sampai tahun 1727. Hal ini dibuktikan dengan pemberontakan salah satu maneleo di Termanu bernama Baa Mai terhadap raja Ndaomanu Sinlae dan kejadian itu terjadi pada tahun 1727.
[3] Raja Daniel Petrus Zacharias adalah raja Loleh yang memerintah Kerajaan Empat pada tahun 1896-1905 yang di dalamnya termasuk Keka.
[4] Dasar penafsiran tahun kepemimpinan Ndi’i Hu’a dilihat dari masa hidupnya bersama Raja Thie, Foe Mbura yang memerintah dari tahun 1729-1747.
[5] Pada tahun 1898, Daniel Petrus Zacharias memerintah Kerajaan Empat, termasuk Loleh.
[6] Mungkin yang dimaksud dengan Naho Dali atau Nau Dale oleh Fox adalah raja Ndara Naong karena dalam penjelasannya, Fox menggambarkan permohonan para raja Kristen untuk mendatangkan guru agama Kristen ke Rote kepada Belanda adalah raja Thie Benyamin Messakh, raja Loleh Zacharias Ndi’ihua, raja Ba’a Toudeka Lilo (Toudengga Lilo) dan raja Lelain Naho Dali (Nau Dale). Para raja ini sebagai perintis kedatangan agama Kristen dalam sejarah agama Kristen di Rote. Raja yang dikenal dalam perjalanan ke Batavia mengikuti ajaran agama Kristen adalah raja Thie Benyamin Messakh (Foe Mbura), raja Loleh Ndi’i Hua, raja Ba’a Toudengga Lilo dan raja Lelain Ndara Naong.
[7] Nara Resi adalah generasi ke-10 dari Thi Mau.
[8] Leluhur Suku Mburala’e di Thie.
[9] Menurut Soh dan Indrayana, 2008:287 bahwa Mesah Mbura memerintah dari tahun 1678-1694.
[10] Menurut Soh dan Indrayana, 2008:287 bahwa Moi Mesah memerintah tahun 1697
[11] Messakh, 2007 menyatakan bahwa Nale Mesah memerintah dari tahun 1660-1690 sedangkan menurut Soh dan Indrayana, 2008:287 bahwa masa pemerintahan Nale Mesah antara tahun 1697-1717.
[12] Menurut Soh dan Indrayana, 2008:287 bahwa Mbura memerintah tahun 1718-1728 sedangkan Messakh, 2007 bahwa masa pemerintahan Mbura Mesah adalah 1690-1730.
[13] Menurut Mssakh, 2007 bahwa Besi Alu Pa memerintah tahun 1788-1791.
[14] Dalam perjalanan ke Batavia, Foe Mbura (raja Thie) membawa pengetahuan Agama Kristen, Ndi’i Hu’a (raja Loleh) membawa pengetahuan pendidikan, Tou Dengga Lilo (raja Ba’a) membawa pengetahuan proses penyulingan nira lontar menjadi arak dan Ndara Naong (raja Lelain) membawa pengetahuan pandai besi.