Kamis, 09 Agustus 2018

ORANG ROTE DAN OTAK ROTE


Orang Rote
Rote adalah sebuah pulau kecil yang terletak paling selatan di Indonesia. Pulau yang berjulukan pagar selatan Indonesia ini memiliki berbagai ciri khas, budaya, sejarah, dan kehidupan sosial politik yang variatif. Bahkan pulau ini menjadikan lontar sebagai maskotnya dengan sebutan nusa lontar karena secara umum masyarakat lontar sebagai pohon kehidupan.
Sejarah kedatangan orang Rote telah ada jauh se-belum kolonialisme bangsa Eropa. Konon, leluhur orang Rote pertama datangnya dari Sera Sue do Dai Laka. Dalam berbagai penafsiran, memunculkan Pulau Seram sebagai asal muasal leluhur orang Rote. Sera Sue merujuk pada salah satu tempat di Pulau Seram bernama Sue. Sedangkan Dai Laka merujuk pada nama tempat di Maluku (Lalay, dkk 2015:11).
Ciri khas orang Rote yang mempunyai kesamaan dengan bangsa Yahudi memunculkan anggapan baru bahwa nenek moyang orang Rote berasal dari bangsa Yahudi (Henuk dan Haning, 2015:96). Ungkapan ini sepertinya berlebihan tetapi sangat masuk akal jika ditelusuri tentang kesepuluh suku Israel yang hilang pada tahun 721 SM ketika pasukan Asiria dibawah pimpinan Shalmaneser dan Sargon II menyerang Sa-maria, Ibukota Kerajaan Israel Utara. Ketika kerajaan ini ditaklukan bangsa Asiria, penduduknya kemudian di-asingkan ke Khorason yang terletak di Iran Timur dan Afganistan Barat. Banyak suku di dunia terindikasi sebagai keturunan suku Israel yang hilang, salah satunya adalah suku Rote.
Salah satu alasan yang mendasari asumsi keterkaitan orang Rote dan bangsa Yahudi adalah pola pikir, fal-safah hidup dan strategi dalam menguasai orang lain hampir sama. Sebuah paradigma baru muncul dalam kehidupan masyarakat modern yang menggambarkan hubungan orang Rote dan Yahudi dengan istilah baru yaitu Rote Yahudi yang berasumsi bahwa orang Rote sebagai mafia Yahudi sedangkan orang Yahudi sebagai otak Rote.
Orang Rote secara tidak langsung telah menguasai beberapa daerah yang juga disamakan dengan kehidupan politik orang Yahudi yang secara umum telah menguasai beberapa aspek kehidupan di dunia. Orang Rote sejak dahulu sudah melakukan eksplorasi ke luar Pulau Rote baik melalui pengasingan oleh pihak kolonial, per-kawinan, perantauan, maupun pendidikan. Beberapa tempat di Pulau Timor yang merupakan tempat hunian orang Rote adalah Kota Kupang, Tarus, Oesapa, Babau, Nunkurus, Pariti, Sulamu, Camplong, So’e, Tuakau, Naus, Oepoli, Kefa, Atapupu dan Lifao di Timor Leste (Fox dalam Ingguoe, 2015:4).
Orang Rote yang berada di perantauan sudah men-jadikan tempat itu sebagai tanah warisan sehingga mampu melakukan segala aktivitas kehidupannya secara terbuka. Bahkan dalam kehidupan minoritasnya, mampu mempertahankan diri dengan hal-hal yang prinsipil dan mampu memelihara kebudayaannya.
Ciri khas orang Rote yang sudah membudaya secara individualistik membuatnya tetap menonjol sebagai orang Rote. Selain secara fisik, dapat dipahami dari adat-istiadatnya, bahasanya bahkan cara bicaranya yang sering menimbulkan ambiguitas yang sulit ditebak oleh orang lain. Pola pikirnya yang spontan dalam beranalogi menjadikannya dapat bertahan hidup dalam kehidupan sosialnya.
Spontanitas verbal orang Rote dalam argumen-ar-gumen logis dipahami oleh orang luar sebagai sebuah pemutarbalikan fakta, namun prinsip ini pada dasarnya merupakan salah satu sifat orang Rote yang suka bereto-rika dan berfilsafat.

Gambaran Umum Otak Rote
Istilah otak Rote menjadi sebuah nomenklatur peng-gambaran karakteristik dan perilaku orang Rote sejak dahulu. Istilah ini bukan merupakan sebuah trepanasi manual untuk orang Rote tetapi merupakan fakta publik yang mungkin menjadi fenomena sosial ketika muncul-nya banyak pemikiran tentang ciri khas orang Rote yang terus membudaya tanpa mengenal tempat. Bukan juga merupakan sebuah desepsi publik tentang orang Rote tetapi adalah suatu kajian klasik tentang perilaku sosial orang Rote yang selalu ada dalam segala situasi.
Otak Rote dimodifikasi dari sebuah ciri yang di-pandang oleh masyarakat  umum bahwa “Orang Rote tidak dapat dipercaya”. Namun setiap orang Rote selalu mengatasi ungkapan sinisme ini dengan sebuah alibi yaitu “Orang Rote itu pandai berpolitik”, walalupun bukan politik praktis.
Persaingan falsafah kehidupan politik masyarakat yang menimbulkan adanya pemikiran normatif terhadap orang Rote memunculkan suatu asumsi logis yang tidak ilmiah yaitu orang Rote memiliki 3 (tiga) otak yaitu otak kiri, otak kanan dan otak Rote; ada pula yang menyebut-nya otak besar, otak kecil dan di tengah-tengah ada otak Rote.
Pemikiran ini bukan hanya dikenal dalam kehidupan kaum minoritas pada areal terbatas tetapi sudah menjadi rahasia publik, sehingga sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial orang Rote dalam melakukan rutinitas kehidupannya. Dalam menanggapi fenomena ini, seba-gian besar orang Rote bangga akan status ini namun beberapa di antaranya telah terusik oleh nomenklatur ini.
Berdasarkan asal kata, istilah otak Rote merujuk pada akal atau ide orang Rote (Henuk dan Haning, 2015:96). Orang Rote dalam konteks otak Rote selalu menjalankan siasat atau strategi untuk menjebak setiap orang yang dianggap pantas untuk menerima jebakan tersebut. Artinya otak Rote tidak dilaksanakan dalam setiap situasi tetapi secara potensial mampu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan dalam mempertahankan diri.
Konsep dasar otak Rote tentunya sangat sulit untuk dipahami secara harafiah, tetapi dalam penjelasan ini, otak Rote mengarah pada paradigma orang Rote yang strukturalis dan sistematis tentang keterampilan meng-olah akal dalam menyusun berbagai strategi untuk meng-alahkan atau menjatuhkan seseorang (Henuk dan Ha-ning, 2015:96-97). Hal untuk menjatuhkan seseorang menggunakan kata-kata atau dengan cara berdebat.

Otak Rote Secara Neurologis
Interpretasi orang Rote dan otak Rote dalam kajian neurogis yang menyatakan secara umum otak manusia terdiri atas miliaran sel saraf yang menyebar ke seluruh bagian otak. Di dalam otak manusia dapat ditemukan tiga bagian otak yaitu thalamus yang terdapat di otak depan, hypothalamus yang terletak di bawah thalamus dan hippocampus yang terletak di tengah otak.
Fenomena ilmiah yang memunculkan sebuah ambi-guitas antara neurologi dan Roteisme adalah sistem kerja otak yang secara potensial menjadi acuan normatif pada orang Rote yakni bagian otak yang lebih dominan bekerja pada orang Rote adalah bagian hippocampus yang berfungsi menyimpan memori rasional, terutama ingatan-ingatan jangka pendek, serta berperan dalam mempertahankan sifat luhur manusia yang memberikan pertimbangan rasional. Apakah hal ini menjadi dasar asumsi masyarakat luar yang menyatakan bahwa otak Rote terletak di tengah-tengah otak manusia? Seorang neurolog pun belum mampu menjelaskannya secara ilmiah.
Kajian tentang otak Rote dalam hipotesis lain di-analisa berdasarkan neurolinguistik yang menjelaskan hubungan otak dengan bahasa manusia yang merupakan sebuah sistem kognitif manusia yang diatur dalam for-mula-formula praktis, serta dapat dimanipulasi untuk menghasilkan sejumlah bahasa yang tidak terbatas jumlahnya berdasarkan unsur-unsur yang terbatas (Simanjuntak, 2008:17). Apakah hal ini mendasari anggapan tentang orang Rote yang suka berbicara banyak? Konsep ini terimplikasi dalam sifat orang Rote yang mempunyai keahlian dalam berbahasa. Salah satu anggapan yang sedikit mengusik publik bahwa orang Rote itu cerewet. Namun orang Rote sendiri mampu menjawabnya dengan sebuah pernyataan yang antisipatif yaitu orang Rote itu bukan cerewet tetapi memiliki banyak kosa kata. Bagaimana mungkin seseorang bisa berbicara apabila ia tidak memiliki kosa kata di dalam otaknya atau dengan kata lain orang Rote memiliki kamus di dalam otaknya.
Pemahaman karakteristik orang Rote yang dikenal sebagai orang yang pandai berbicara sesuai dengan pandangan Lieberman dalam Simanjuntak, 2008:25 yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai bahasa yang dilahirkan sendiri secara evolusi yaitu bahasa linguistik yang berasal dari bahasa nurani (bahasa da-laman) yang telah dimiliki manusia secara natural. Ting-kat kemampuan bahasa yang naturalistik ini membuat orang Rote pandai beretorika atau ahli dalam berdebat.
Analisa ilmiah tentang cara berpikir otak manusia yang konseptual dalam neurologi telah dikemukakan oleh DePorter (2004:36) yang mengungkapkan fungsi otak kiri dan otak kanan yaitu sebagai berikut:
a.    Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Otak kiri berdasarkan realitas mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikir sesuai untuk tugas-tugas teratur, eks-presi verbal, menulis, membaca, asosiasi audiotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolis-me.
b.    Cara berpikir belahan otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat non-verbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreati-vitas dan visualisasi.
Berdasarkan konsep di atas, orang Rote sebenarnya tidak memiliki 3 belahan otak yang seperti asumsi mas-yarakat umum tetapi memiliki otak yang sama selayak-nya manusia lainnya. Tetapi dalam proses kerja otak, dapat memungkinkan ada turunan gen dari leluhur yang sistem kerja otak kirinya lebih besar jika dibandingkan dengan kerja otak kanan. Jadi, bukan otak Rote tetapi otak kirilah yang dominasi sistem kerja otak pada orang Rote.

Hubungan Otak Rote dan Politik
Efulgensi dunia diganggu dengan konsep-konsep politik yang beraneka warna di dalam masyarakat, tidak semata-mata menjadi viabilitas tradisionalisme suatu daerah atau otoritas sebuah suku tetapi didasarkan pada ciri dalam kebiasaan masyarakat. Konsep politik dalam perpektif intelektual bertujuan untuk mencapai kepekaan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat dan selalu berdasar pada hal tiga dimensi yaitu hari kemarin, hari ini dan hari esok serta me-mandang bahwa politik sebagai perluasan moral dari diri. Hal ini menjadi dasar sifat orang Rote yang dikenal sebagai orang yang suka berdebat secara potensial memampukan daya intelektualnya dengan berbagai cara logis untuk mempertahankan identitas dirinya.
Politik dalam konteks otak Rote bukanlah sebuah organisasi politik, bukan juga organisasi sosial atau or-ganisasi lainnya yang berstruktur tetapi lebih tepatnya adalah sebuah organisasi gagasan tentang individualisme yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang berlaku dan telah membudaya untuk mempertahankan moral dalam diri orang Rote.

Hubungan Otak Rote dan Filsafat
Kemampuan orang Rote dalam hal beretorika yang mempertahankan logika pikiran yang hampir melampaui akal menjadi sebuah pemikiran ilmu filsafat. Pemikiran orang Rote yang sulit dipahami dan dianggap bertele-tele sebenarnya banyak menggunakan analogi logis yang juga digunakan dalam ilmu filsafat. Misalnya dalam upa-cara perkawinan adat, para juru bicara dari kedua mem-pelai selalu berfilsafat dengan menggunakan analogi-analogi yang hanya bisa ditemukan dalam konsep-konsep para filsuf. Hal ini sesuai dengan konsep filsafat yang menunjukkan sikap seseorang terhadap apa yang dibicarakan. Seseorang memerlukan kebolehan berargu-mentasi untuk berpikir secara kritis (Burhanudin, 2013).
Salah satu pengertian filsafat menurut kalangan fi-losof dalam Rapar (1996) yang mempunyai hubungan erat dengan cara berpikir otak Rote adalah adanya upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan siste-matik serta lengkap tentang seluruh realitas.
Pola pikir orang Rote dalam hal filsafat selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda untuk memberikan pandangan tentang keseluruhan suatu hal atau sebuah benda yang sesuai dengan tugas dari filsafat yakni memberikan pandangan dari keseluruhan, kehidupan, dan pandangan tentang alam, serta untuk mengintegrasikan pengetahuan sains dengan penge-tahuan disiplin-disipllin lain agar mendapatkan suatu keseluruhan yang konsisten (Rapar, 1996).
Orang Rote dalam situasi tertentu menjadi stimulus permainan logika dalam suatu pembicaraan. Hal-hal yang dianggap tidak penting menjadi bahan pembicaraan dan memunculkan adanya pertentangan konsep. Hal ini sesuai dengan konsep metoda dialektika dalam ilmu filsafat yang dikemukakan Socrates yaitu melakukan pembicaraan yang teratur dengan memainkan peranan seorang yang memberi dorongan atau rangsangan kepada seseorang untuk melahirkan pengetahuan yang terpen-dam dalam pikiran. Proses dialektika sendiri merupakan dialog antara dua pendirian yang bertentangan (Kattsof, 1996).

F.       Roteisme dan Otak Rote
Psikogenetika dalam perenungan menemukan satu nomenklatur yang secara praktis menjelaskan karakter-istik orang Rote secara umum. Istilah baru yang masih aneh ini disebut Roteisme yang berasal dari kata “Rote” dan “-isme”. Kata pertama merujuk pada manusia yang menghuni pulau Rote, sedangkan kata kedua jika di-maknai secara harafiah maka mempunyai arti yang sama dengan paham atau ajaran.
Oleh karena itu, secara etimologis, istilah Roteisme dapat diartikan sebagai paham atau ajaran tentang orang Rote. Namun bukan sekedar istilah ini ditafsir berdasar-kan asal muasal kata, tetapi dalam kajian filosofis mem-punyai alasan yang berbeda yaitu sebagai pandangan hidup orang Rote yang meliputi pengetahuan tentang asas pikiran dan perilaku yang mencari suatu kebenaran dengan menggunakan kekuatan akal. Pandangan ini telah dikenal masyarakat modern dalam kehidupan sosialnya dengan sebuah istilah yang disebut otak Rote.
Hubungan antara Roteisme dan otak Rote sebenar-nya tidak jauh berbeda. Roteisme secara umum men-jelaskan hal-hal prinsipil orang Rote yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sedangkan otak Rote merupakan salah satu hal prinsipil yang terdapat di dalam Roteisme.

Interpretasi Otak Rote
Otak Rote dalam kehidupan masyarakat ditafsirkan sebagai suatu ejekan verbal yang mampu mengganggu mentalitas orang Rote. Biasanya orang mengungkapkan kalimat ini ketika berbicara tentang orang Rote “Kalau ketemu orang Rote dan ular, maka bunuhlah orang Rote karena mereka lebih berbahaya dari ular”. Selain itu terdapat ejekan lain yang juga diidentikan dengan asal mula dosa di Taman Eden bahwa “Seandainya orang Rote pada mulanya mendiami Taman Eden, maka manusia tidak mungkin jatuh ke dalam dosa karena ular tidak mungkin dapat menipu orang Rote” (Henuk dan Haning, 2015:96).
Otak Rote sudah menjadi sebuah istilah parapsikologi terhadap orang Rote, sehingga banyak pemikiran yang menyimpang dalam pemahaman terhadap orang Rote sendiri.  Fenomena ini sangat berpengaruh terhadap pergaulan orang Rote dalam melakukan eksplorasi kehidupannya. Pengembangan pemikiran tentang otak Rote pun menjadi fenomena sosial masyarakat. Banyak asumsi mulai berkembang, di antaranya orang Rote itu cerewet dan tukang tipu. Bahkan dengan sebuah istilah akronimi, orang Rote dianggap sebagai ‘Petek’ yang berarti ‘Penipu Terkenal’. Orang Rote pun mengatasi segala asumsi ini dengan beberapa kalimat logis bahwa orang Rote bukan cerewet tetapi mereka banyak kosa kata. Bagaimana mungkin seseorang berbicara banyak jika ia tidak mempunyai kosa kata di dalam otaknya! Artinya kamus ada di dalam otak orang Rote. Seseorang yang kaya akan kata-kata mempunyai komunikasi yang baik, apalagi bila berada dalam sebuah situasi yang tertekan. Dan orang Rote pun selalu ingin tampil sebagai seorang orator profesional.
Orang Rote bukan tukang tipu tetapi mereka pandai berpolitik. Sebenarnya istilah politik dalam pemahaman masyarakat awam adalah tipu. Oleh karena itu, pemikiran ini hanya sebuah eufemisme belaka untuk memenangkan diri. Tetapi jika ditinjau dari logika maka sesuai dengan fakta, terbukti bahwa orang Rote pada umumnya lebih menyukai politik. Bahkan salah satu kesaksian seorang profesor yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa ketika berhadapan dengan orang Rote, haruslah berhati-hati karena walaupun orang Rote tidak berpendidikan tinggi tetapi ia mampu menjatuhkan seorang yang berpendidikan dengan siasatnya yang dapat diterima secara akal melalui kata-kata. Orang Rote sendiri dengan dalam suatu situasi pembicaraan mampu menjebak lawan bicaranya agar dapat menguasainya sesuai dengan alur pemikirannya.
Dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakata, orang Rote selalu tidak dipercayai secara penuh karena sudah dianggap bahwa sebagai penipu. Namun orang Rote sendiri selalu menganggap dirinya mampu menggunakan akalnya untuk bertahan. Bagi masyarakat luar, sangat sulit memahami alur pemikirannya orang Rote.

2 Komentar:

Pada 5 Agustus 2020 pukul 19.14 , Blogger Unknown mengatakan...

orang rote dan otak rote. apakah keduanya berkorelasi signifikan, bagaimana model korelasinya dan budaya yang melatarbelakangi model korelasi tersebut. Pembelajaran positif yang dapat dipetik dari topik orang rote dan otak rote adalah ?

 
Pada 27 Februari 2021 pukul 08.57 , Blogger LEKSI INGGUOE mengatakan...

diulas lebih jelas dalam buku berjudul OTAK ROTE: Perspektif Kehidupan Sosial Politik Orang Rote

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda