Orang Rote
Rote adalah sebuah pulau kecil yang terletak paling
selatan di Indonesia. Pulau yang berjulukan pagar selatan Indonesia ini
memiliki berbagai ciri khas, budaya, sejarah, dan kehidupan sosial politik yang
variatif. Bahkan pulau ini menjadikan lontar sebagai maskotnya dengan sebutan nusa lontar karena secara umum
masyarakat lontar sebagai pohon kehidupan.
Sejarah kedatangan orang Rote telah ada jauh se-belum
kolonialisme bangsa Eropa. Konon, leluhur orang Rote pertama datangnya dari Sera Sue do Dai Laka. Dalam berbagai
penafsiran, memunculkan Pulau Seram sebagai asal muasal leluhur orang Rote. Sera Sue merujuk pada salah satu tempat
di Pulau Seram bernama Sue. Sedangkan Dai
Laka merujuk pada nama tempat di Maluku (Lalay, dkk 2015:11).
Ciri khas orang Rote yang mempunyai kesamaan dengan
bangsa Yahudi memunculkan anggapan baru bahwa nenek moyang orang Rote berasal
dari bangsa Yahudi (Henuk dan Haning, 2015:96). Ungkapan ini sepertinya
berlebihan tetapi sangat masuk akal jika ditelusuri tentang kesepuluh suku Israel
yang hilang pada tahun 721 SM ketika pasukan Asiria dibawah pimpinan
Shalmaneser dan Sargon II menyerang Sa-maria, Ibukota Kerajaan Israel Utara.
Ketika kerajaan ini ditaklukan bangsa Asiria, penduduknya kemudian di-asingkan
ke Khorason yang terletak di Iran Timur dan Afganistan Barat. Banyak suku di
dunia terindikasi sebagai keturunan suku Israel yang hilang, salah satunya
adalah suku Rote.
Salah satu alasan yang mendasari asumsi keterkaitan
orang Rote dan bangsa Yahudi adalah pola pikir, fal-safah hidup dan strategi
dalam menguasai orang lain hampir sama. Sebuah paradigma baru muncul dalam
kehidupan masyarakat modern yang menggambarkan hubungan orang Rote dan Yahudi
dengan istilah baru yaitu Rote Yahudi yang berasumsi bahwa orang Rote
sebagai mafia Yahudi sedangkan orang Yahudi sebagai otak Rote.
Orang Rote secara tidak langsung telah menguasai
beberapa daerah yang juga disamakan dengan kehidupan politik orang Yahudi yang
secara umum telah menguasai beberapa aspek kehidupan di dunia. Orang Rote sejak
dahulu sudah melakukan eksplorasi ke luar Pulau Rote baik melalui pengasingan
oleh pihak kolonial, per-kawinan, perantauan, maupun pendidikan. Beberapa
tempat di Pulau Timor yang merupakan tempat hunian orang Rote adalah Kota
Kupang, Tarus, Oesapa, Babau, Nunkurus, Pariti, Sulamu, Camplong, So’e, Tuakau,
Naus, Oepoli, Kefa, Atapupu dan Lifao di Timor Leste (Fox dalam Ingguoe, 2015:4).
Orang Rote yang berada di perantauan sudah men-jadikan
tempat itu sebagai tanah warisan sehingga mampu melakukan segala aktivitas
kehidupannya secara terbuka. Bahkan dalam kehidupan minoritasnya, mampu
mempertahankan diri dengan hal-hal yang prinsipil dan mampu memelihara
kebudayaannya.
Ciri khas orang Rote yang sudah membudaya secara
individualistik membuatnya tetap menonjol sebagai orang Rote. Selain secara
fisik, dapat dipahami dari adat-istiadatnya, bahasanya bahkan cara bicaranya
yang sering menimbulkan ambiguitas yang sulit ditebak oleh orang lain. Pola
pikirnya yang spontan dalam beranalogi menjadikannya dapat bertahan hidup dalam
kehidupan sosialnya.
Spontanitas verbal orang Rote dalam argumen-ar-gumen
logis dipahami oleh orang luar sebagai sebuah pemutarbalikan fakta, namun
prinsip ini pada dasarnya merupakan salah satu sifat orang Rote yang suka
bereto-rika dan berfilsafat.
Gambaran Umum Otak Rote
Istilah
otak Rote menjadi sebuah nomenklatur peng-gambaran karakteristik dan perilaku
orang Rote sejak dahulu. Istilah ini bukan merupakan sebuah trepanasi manual
untuk orang Rote tetapi merupakan fakta publik yang mungkin menjadi fenomena
sosial ketika muncul-nya banyak pemikiran tentang ciri khas orang Rote yang
terus membudaya tanpa mengenal tempat. Bukan juga merupakan sebuah desepsi
publik tentang orang Rote tetapi adalah suatu kajian klasik tentang perilaku sosial
orang Rote yang selalu ada dalam segala situasi.
Otak
Rote dimodifikasi dari sebuah ciri yang di-pandang oleh masyarakat umum bahwa “Orang Rote tidak dapat dipercaya”.
Namun setiap orang Rote selalu mengatasi ungkapan sinisme ini dengan sebuah
alibi yaitu “Orang Rote itu pandai berpolitik”, walalupun bukan politik
praktis.
Persaingan
falsafah kehidupan politik masyarakat yang menimbulkan adanya pemikiran
normatif terhadap orang Rote memunculkan suatu asumsi logis yang tidak ilmiah
yaitu orang Rote memiliki 3 (tiga) otak yaitu otak kiri, otak kanan dan otak Rote;
ada pula yang menyebut-nya otak besar, otak kecil dan di tengah-tengah ada otak
Rote.
Pemikiran
ini bukan hanya dikenal dalam kehidupan kaum minoritas pada areal terbatas
tetapi sudah menjadi rahasia publik, sehingga sangat berpengaruh terhadap
kehidupan sosial orang Rote dalam melakukan rutinitas kehidupannya. Dalam
menanggapi fenomena ini, seba-gian besar orang Rote bangga akan status ini
namun beberapa di antaranya telah terusik oleh nomenklatur ini.
Berdasarkan
asal kata, istilah otak Rote merujuk pada akal atau ide orang Rote (Henuk dan
Haning, 2015:96). Orang Rote dalam konteks otak Rote selalu menjalankan siasat
atau strategi untuk menjebak setiap orang yang dianggap pantas untuk menerima
jebakan tersebut. Artinya otak Rote tidak dilaksanakan dalam setiap situasi
tetapi secara potensial mampu beradaptasi sesuai dengan kebutuhan dalam
mempertahankan diri.
Konsep
dasar otak Rote tentunya sangat sulit untuk dipahami secara harafiah, tetapi
dalam penjelasan ini, otak Rote mengarah pada paradigma orang Rote yang
strukturalis dan sistematis tentang keterampilan meng-olah akal dalam menyusun
berbagai strategi untuk meng-alahkan atau menjatuhkan seseorang (Henuk dan Ha-ning,
2015:96-97). Hal untuk menjatuhkan seseorang menggunakan kata-kata atau dengan
cara berdebat.
Interpretasi orang Rote
dan otak Rote dalam kajian neurogis yang menyatakan secara umum otak manusia
terdiri atas miliaran sel saraf yang menyebar ke seluruh bagian otak. Di
dalam otak manusia dapat ditemukan tiga bagian otak yaitu thalamus yang terdapat di otak depan, hypothalamus yang terletak di bawah thalamus dan hippocampus yang terletak di tengah otak.
Fenomena ilmiah yang
memunculkan sebuah ambi-guitas antara neurologi dan Roteisme adalah sistem
kerja otak yang secara potensial menjadi acuan normatif pada orang Rote yakni
bagian otak yang lebih dominan bekerja pada orang Rote adalah bagian hippocampus yang berfungsi menyimpan
memori rasional, terutama ingatan-ingatan jangka pendek, serta berperan dalam
mempertahankan sifat luhur manusia yang memberikan pertimbangan rasional. Apakah
hal ini menjadi dasar asumsi masyarakat luar yang menyatakan bahwa otak Rote
terletak di tengah-tengah otak manusia? Seorang neurolog pun belum mampu
menjelaskannya secara ilmiah.
Kajian tentang otak Rote
dalam hipotesis lain di-analisa berdasarkan neurolinguistik yang menjelaskan
hubungan otak dengan bahasa manusia yang merupakan
sebuah sistem kognitif manusia yang diatur dalam for-mula-formula praktis,
serta dapat dimanipulasi untuk menghasilkan sejumlah bahasa yang tidak terbatas
jumlahnya berdasarkan unsur-unsur yang terbatas (Simanjuntak, 2008:17). Apakah
hal ini mendasari anggapan tentang orang Rote yang suka berbicara banyak?
Konsep ini terimplikasi dalam sifat orang Rote yang mempunyai keahlian dalam
berbahasa. Salah satu anggapan yang sedikit mengusik publik bahwa orang Rote
itu cerewet. Namun orang Rote sendiri mampu menjawabnya dengan sebuah
pernyataan yang antisipatif yaitu orang Rote itu bukan cerewet tetapi memiliki
banyak kosa kata. Bagaimana mungkin seseorang bisa berbicara apabila ia tidak
memiliki kosa kata di dalam otaknya atau dengan kata lain orang Rote memiliki
kamus di dalam otaknya.
Pemahaman karakteristik
orang Rote yang dikenal sebagai orang yang pandai berbicara sesuai dengan
pandangan Lieberman dalam Simanjuntak,
2008:25 yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai bahasa yang dilahirkan
sendiri secara evolusi yaitu bahasa linguistik yang berasal dari bahasa nurani
(bahasa da-laman) yang telah dimiliki manusia secara natural. Ting-kat
kemampuan bahasa yang naturalistik ini membuat orang Rote pandai beretorika
atau ahli dalam berdebat.
Analisa ilmiah tentang cara berpikir otak manusia yang konseptual dalam
neurologi telah dikemukakan oleh DePorter (2004:36)
yang mengungkapkan fungsi otak kiri dan otak kanan yaitu sebagai berikut:
a.
Proses berpikir
otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Otak kiri
berdasarkan realitas mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara
berpikir sesuai untuk tugas-tugas teratur, eks-presi verbal, menulis, membaca,
asosiasi audiotorial, menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolis-me.
b.
Cara berpikir
belahan otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara
berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat non-verbal,
seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan perasaaan
(merasakan kehadiran suatu benda atau orang, kesadaran spasial, pengenalan
bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreati-vitas dan visualisasi.
Berdasarkan konsep di
atas, orang Rote sebenarnya tidak memiliki 3 belahan otak yang seperti asumsi
mas-yarakat umum tetapi memiliki otak yang sama selayak-nya manusia lainnya.
Tetapi dalam proses kerja otak, dapat memungkinkan ada turunan gen dari leluhur
yang sistem kerja otak kirinya lebih besar jika dibandingkan dengan kerja otak
kanan. Jadi, bukan otak Rote tetapi otak kirilah yang dominasi sistem kerja
otak pada orang Rote.
Hubungan Otak Rote dan Politik
Efulgensi dunia diganggu dengan konsep-konsep
politik yang beraneka warna di dalam masyarakat, tidak semata-mata menjadi
viabilitas tradisionalisme suatu daerah atau otoritas sebuah suku tetapi
didasarkan pada ciri dalam kebiasaan masyarakat. Konsep politik dalam perpektif
intelektual bertujuan untuk mencapai kepekaan bertindak sesuai dengan
nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat dan selalu berdasar pada hal tiga
dimensi yaitu hari kemarin, hari ini dan hari esok serta me-mandang bahwa
politik sebagai perluasan moral dari diri. Hal ini menjadi dasar sifat orang
Rote yang dikenal sebagai orang yang suka berdebat secara potensial memampukan
daya intelektualnya dengan berbagai cara logis untuk mempertahankan identitas
dirinya.
Politik dalam konteks otak Rote bukanlah sebuah
organisasi politik, bukan juga organisasi sosial atau or-ganisasi lainnya yang
berstruktur tetapi lebih tepatnya adalah sebuah organisasi gagasan tentang
individualisme yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang berlaku dan telah
membudaya untuk mempertahankan moral dalam diri orang Rote.
Hubungan Otak Rote dan Filsafat
Kemampuan orang Rote dalam hal beretorika yang
mempertahankan logika pikiran yang hampir melampaui akal menjadi sebuah
pemikiran ilmu filsafat. Pemikiran orang Rote yang sulit dipahami dan dianggap
bertele-tele sebenarnya banyak menggunakan analogi logis yang juga digunakan
dalam ilmu filsafat. Misalnya dalam upa-cara perkawinan adat, para juru bicara
dari kedua mem-pelai selalu berfilsafat dengan menggunakan analogi-analogi yang
hanya bisa ditemukan dalam konsep-konsep para filsuf. Hal ini
sesuai dengan konsep filsafat yang menunjukkan sikap seseorang terhadap apa
yang dibicarakan. Seseorang memerlukan kebolehan berargu-mentasi untuk berpikir secara kritis (Burhanudin, 2013).
Salah satu pengertian filsafat menurut kalangan fi-losof
dalam Rapar (1996) yang mempunyai
hubungan erat dengan cara berpikir otak Rote adalah adanya upaya
spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan siste-matik serta lengkap tentang
seluruh realitas.
Pola pikir orang Rote dalam hal filsafat selalu
melihat segala sesuatu dari sudut
pandang yang berbeda untuk memberikan pandangan tentang keseluruhan suatu hal
atau sebuah benda yang sesuai dengan tugas dari filsafat yakni
memberikan pandangan dari keseluruhan,
kehidupan, dan pandangan tentang alam, serta untuk mengintegrasikan pengetahuan sains
dengan penge-tahuan disiplin-disipllin lain agar mendapatkan suatu keseluruhan yang konsisten (Rapar, 1996).
Orang Rote dalam
situasi tertentu menjadi stimulus permainan logika dalam suatu pembicaraan.
Hal-hal yang dianggap tidak penting menjadi bahan pembicaraan dan memunculkan
adanya pertentangan konsep. Hal ini sesuai dengan konsep metoda dialektika
dalam ilmu filsafat yang dikemukakan Socrates yaitu melakukan pembicaraan yang teratur dengan
memainkan peranan seorang yang memberi dorongan atau rangsangan kepada
seseorang untuk melahirkan pengetahuan yang terpen-dam dalam pikiran. Proses
dialektika sendiri merupakan dialog antara dua pendirian yang bertentangan
(Kattsof, 1996).
F.
Roteisme dan Otak Rote
Psikogenetika dalam perenungan menemukan satu nomenklatur
yang secara praktis menjelaskan karakter-istik orang Rote secara umum. Istilah
baru yang masih aneh ini disebut Roteisme
yang berasal dari kata “Rote” dan “-isme”. Kata pertama merujuk pada
manusia yang menghuni pulau Rote, sedangkan kata kedua jika di-maknai secara
harafiah maka mempunyai arti yang sama dengan paham atau ajaran.
Oleh karena itu, secara etimologis, istilah Roteisme dapat diartikan sebagai paham
atau ajaran tentang orang Rote. Namun bukan sekedar istilah ini ditafsir
berdasar-kan asal muasal kata, tetapi dalam kajian filosofis mem-punyai alasan
yang berbeda yaitu sebagai pandangan hidup orang Rote yang meliputi pengetahuan
tentang asas pikiran dan perilaku yang mencari suatu kebenaran dengan
menggunakan kekuatan akal. Pandangan ini telah dikenal masyarakat modern dalam
kehidupan sosialnya dengan sebuah istilah yang disebut otak Rote.
Hubungan antara Roteisme dan otak Rote sebenar-nya
tidak jauh berbeda. Roteisme secara umum men-jelaskan hal-hal prinsipil orang
Rote yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sedangkan otak Rote merupakan salah
satu hal prinsipil yang terdapat di dalam Roteisme.
Interpretasi Otak Rote
Otak Rote dalam kehidupan masyarakat ditafsirkan
sebagai suatu ejekan verbal yang mampu mengganggu mentalitas orang Rote.
Biasanya orang mengungkapkan kalimat ini ketika berbicara tentang orang Rote
“Kalau ketemu orang Rote dan ular, maka bunuhlah orang Rote karena mereka lebih
berbahaya dari ular”. Selain itu terdapat ejekan lain yang juga diidentikan
dengan asal mula dosa di Taman Eden bahwa “Seandainya orang Rote pada mulanya
mendiami Taman Eden, maka manusia tidak mungkin jatuh ke dalam dosa karena ular
tidak mungkin dapat menipu orang Rote” (Henuk dan Haning, 2015:96).
Otak Rote sudah menjadi sebuah istilah parapsikologi
terhadap orang Rote, sehingga banyak pemikiran yang menyimpang dalam pemahaman
terhadap orang Rote sendiri. Fenomena
ini sangat berpengaruh terhadap pergaulan orang Rote dalam melakukan eksplorasi
kehidupannya. Pengembangan pemikiran tentang otak Rote pun menjadi fenomena
sosial masyarakat. Banyak asumsi mulai berkembang, di antaranya orang Rote itu
cerewet dan tukang tipu. Bahkan dengan sebuah istilah akronimi, orang Rote
dianggap sebagai ‘Petek’ yang berarti ‘Penipu Terkenal’. Orang
Rote pun mengatasi segala asumsi ini dengan beberapa kalimat logis bahwa orang
Rote bukan cerewet tetapi mereka banyak kosa kata. Bagaimana mungkin seseorang
berbicara banyak jika ia tidak mempunyai kosa kata di dalam otaknya! Artinya
kamus ada di dalam otak orang Rote. Seseorang yang kaya akan kata-kata
mempunyai komunikasi yang baik, apalagi bila berada dalam sebuah situasi yang
tertekan. Dan orang Rote pun selalu ingin tampil sebagai seorang orator
profesional.
Orang Rote bukan tukang tipu tetapi mereka pandai
berpolitik. Sebenarnya istilah politik dalam pemahaman masyarakat awam adalah
tipu. Oleh karena itu, pemikiran ini hanya sebuah eufemisme belaka untuk
memenangkan diri. Tetapi jika ditinjau dari logika maka sesuai dengan fakta,
terbukti bahwa orang Rote pada umumnya lebih menyukai politik. Bahkan salah
satu kesaksian seorang profesor yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa
ketika berhadapan dengan orang Rote, haruslah berhati-hati karena walaupun
orang Rote tidak berpendidikan tinggi tetapi ia mampu menjatuhkan seorang yang
berpendidikan dengan siasatnya yang dapat diterima secara akal melalui
kata-kata. Orang Rote sendiri dengan dalam suatu situasi pembicaraan mampu
menjebak lawan bicaranya agar dapat menguasainya sesuai dengan alur
pemikirannya.
Dalam kehidupan berpolitik dan bermasyarakata, orang
Rote selalu tidak dipercayai secara penuh karena sudah dianggap bahwa sebagai
penipu. Namun orang Rote sendiri selalu menganggap dirinya mampu menggunakan
akalnya untuk bertahan. Bagi masyarakat luar, sangat sulit memahami alur
pemikirannya orang Rote.
orang rote dan otak rote. apakah keduanya berkorelasi signifikan, bagaimana model korelasinya dan budaya yang melatarbelakangi model korelasi tersebut. Pembelajaran positif yang dapat dipetik dari topik orang rote dan otak rote adalah ?
BalasHapusdiulas lebih jelas dalam buku berjudul OTAK ROTE: Perspektif Kehidupan Sosial Politik Orang Rote
BalasHapus