FONOLOGI BAHASA ROTE
Gambaran Umum Pulau Rote
Pulau Rote
adalah sebuah pulau yang terletak paling selatan Indonesia. Pulau Rote memiliki luas wilayah 1.200 km² dan berada
pada posisi barat daya pulau Timor,
yang sebelah utara berbatasan dengan Laut Sabu, dan sebelah selatan berbatasan dengan Laut Timor. Menurut Gyanto, 1958:50 secara geografis, pulau Rote terletak di antara 10,27º LS-10,56º LS dan 122,47º BT-123,26º BT.
Pada tahun 2002, Pulau Rote beserta pulau-pulau di sekitarnya
membentuk sebuah kabupaten yang disebut Kabupaten Rote Ndao. Secara geo-grafis, kabupaten ini terletak di
antara 10, 25º LS-11,00º LS dan 121,49º BT-123,26º BT. Kabupaten Rote Ndao
merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 96 pulau dan 6 pulau di
antaranya ber-penghuni yaitu
Pulau Rote, Pulau Ndao, Pulau Nuse, Pulau Landu, Pulau Nusa Manuk, dan Pulau
Ndana sedangakan 90 pulau lainnya tidak berpeng-huni.[1]
Pulau Rote pada
dasarnya merupakan pulau yang telah rusak oleh erosi dan abrasi, serta ke-adaan
alamnya sangat gersang, namun kehidupan masyarakatnya sangat kaya akan
keragaman mata pencaharian. Sebagian besar masyarakat di Pulau Rote
bermata pencaharian petani, dan yang lainnya adalah peternak, nelayan, dan
pedagang hasil bumi. Dalam bidang ekonomi, orang Rote pada umumnya bergantung
pada lontar sebagai sumber utama kelangsungan hidupnya. Hal ini sesuai dengan
filosofi kehidupan orang Rote yakni maó
tua dó léfé bafi yang artinya kehidupan dapat bersumber dari menyadap pohon
lontar dan memelihara babi (hewan).
Pulau Rote menurut sejarahnya, dikelompok-kan dalam daerah-daerah kekuasaan yang
disebut nusak. Secara harafiah
istilah nusak berasal dari kata nusa ‘pulau atau daerah’. Kata nusa
ditambah-kan dengan konsonan
penutup -k menjadi nusak untuk menunjukkan suatu pulau atau
suatu daerah tertentu.[2] Nusak adalah wilayah kekuasaan yang
masing-masing terdiri dari penguasa (Fox, 1986: 4). Menurut pandangan orang
Rote nusak dapat disejajarkan dengan
sebuah kerajaan. Hal ini di-buktikan
dengan penguasa nusak yang disebut
oleh orang Belanda dengan istilah koning,
regent, atau radja, sedangkan orang Rote menyebutnya dengan istilah manék. Kata manék berasal dari kata dasar mané
‘laki-laki’. Hal ini menandakan bahwa se-orang manék harus
dipegang oleh kaum laki-laki.
Peran nusak umumnya
lebih mengarah pada pengambilan keputusan dalam suatu perkara. Pem-bagian nusak ini dilakukan atas dasar adanya penafsiran tentang adat,
penggunaan dialek yang berbeda, letak geografis, dan kehidupan masya-rakat yang tidak pernah ingin
bersatu. Oleh karena itu, Belanda secara bertahap membagi pulau Rote menjadi 18
nusak atau daerah kekuasaan yaitu sebagai berikut:
1.
Landu,
2.
Ringgou
3.
Oepao
4.
Bilba
(Beluba)
5.
Diu
6.
Korbaffo
7.
Lelenuk
8.
Bokai
9.
Keka
|
10. Talae
11. Loleh
12. Termanu
13. Ba’a
14. Lelain
15. Dengka
16. Oenale
17. Thie
18. Delha
|
Bahasa Rote
merupakan salah satu bahasa yang termasuk rumpun bahasa Austronesia dalam kelompok bahasa
Ambon-Timor (Saidi, 1994: 25; bandingkan Kridalaksana, 2008: li). Dalam penu-turannya, bahasa Rote tidak hanya digunakan di Pulau
Rote, tetapi juga digunakan di beberapa tem-pat di Pulau Timor yang merupakan
pemukiman orang Rote, misalnya
Kota Kupang, Tarus, Oesapa, Babau, Oesao, Nunkurus, Pariti, Sulamu, Camp-long, So’e, Tuakau, Naus,
Naikliu, Oepoli, Kefa, Atapupu, dan Lifao di Timor Leste (Fox, 1996: 196).
Bahasa Rote
dalam penggunaannya terdiri dari dua jenis yaitu bahasa sehari-hari dan bahasa
syair. Bahasa ritual. Bahasa ritual hanya terbatas pada bahasa syair (bini) dan nyanyian (hehelok) dan digambarkan sebagai bahasa yang puitis. Kedudu-kan
bahasa ritual dianggap sebagai bahasa Rote tinggi oleh masyarakat penutur. Hal
ini didasarkan pada penggunaannya yang lebih pada bentuk pemu-jaan terhadap
roh-roh dan para dewa yang diung-kapkan dalam berbagai ritual adat.
Bahasa ritual
membentuk diad sederhana yang diungkapkan dalam kata-kata yang berpasangan
(Fox, 1986:98). Dalam bahasa sehari-hari, unsur akar kata biasanya didukung
dengan pemberian morfem-morfem sufiks dan prefiks dan dapat menerima suatu
susunan bentuk-bentuk sintaktik. sedangkan dalam bahasa ritual, morfem-morfem
ini sering dibuang sehingga keikutsertaan unsur dalam perangkat diad lebih
mendefinisikan konteks dalam unsur semantiknya.
C. Dialek-Dialek dalam Bahasa
Rote
Bahasa Rote merupakan bahasa variatif yang terdiri dari dialek-dialek.
Menurut De Clercq (1873) dalam ‘Allerlei Over Het Eiland Roti’, Bahasa Rote dibagi dalam 6 dialek yaitu: 1) Thie, Loleh, dan Ba’a; 2) Termanu, Talae, dan Keka;
3) Korbaffo; 4) Landu, Renggou, Oepao, Bilba, Diu, Lelenuk, dan Bokai; 5) Delha
dan Oenale; 6) Dengka dan Lelain. Sedangkan menurut Manafe (1889) dalam ‘Akan Bahasa Rotti’, menggolongkan Bahasa
Rote atas 9 dialek yaitu: a) Ringgou,
Oepao, dan Landu; b) Bilba, Diu, dan Lelenuk; c) Korbaffo; d) Termanu, Keka,
dan Talae; e) Bokai; f) Baa dan Loleh; g) Dengka dan Lelain; h) Thie; i) Oenale
dan Delha. Selanjutnya, penelitian
ba-hasa Rote pada abad ke-19 dan 20 oleh Fanggidaej dan Jonker menggunakan
penggolongan Manafe.
Di pihak lain
Fanggidae dkk (1998) dalam Morfologi Bahasa Rote menyebut adanya 4 dialek dalam Bahasa Rote yaitu dialek Rote Timur, dialek Rote Tengah,
dialek Rote Barat Laut, dan Rote Barat Daya (1998: 9). Namun berdasarkan
sejarah-nya, dijelaskan bahwa pulau Rote yang terbagi dalam nusak-nusak mengakui telah memiliki
dialek bahasa Rote masing-masing, meskipun pernyataan ini melebih-lebihkan
keragaman linguistik, tetapi memang terdapat variasi dialek yang amat
berde-katan di seluruh Pulau Rote (Fox, 1986: 10).
Pada tahun 2012 Balukh, dalam Pemetaan Bahasa Daerah di Kabupaten Rote Ndao menya-takan bahwa bahasa Rote terdiri dari 5
(lima) dialek yaitu sebagai berikut: 1) Delha, Oenale, Dengka dan Lelain; 2) Thie, Ba’a dan Loleh; 3) Termanu, Keka dan Talae; 4) Korbaffo, Bokai, Lelenuk, Diu, dan Bilba; 5) Landu, Oepao dan Ringgou. Penggo-longan dialek menurut Balukh
ini secara potensial
dikatakan sebagai klasifikasi dialek yang sudah diterima oleh
masyarakat karena telah dianalisis
berdasarkan dialektrometri.
Pustaka Bahasa Rote
Bahasa Rote mulai dikenal dan
diminati oleh para ahli sejak kedatangan Belanda ke Pulau Rote. Banyak tulisan
dan karangan yang ditulis baik tentang sejarah, adat, maupun bahasa. Karangan
tentang bahasa Rote sendiri, diawali oleh D. P. Manafe dalam Akan Bahasa Rotti tahun 1889 yang telah
ditulis dalam bahasa Melayu yang membahas tentang bentuk-bentuk variasi dialek dalam bahasa Rote. Artikel ini
dimuat dalam jurnal Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 38 hal. 634-648.
Tahun 1892, J. Fanggidaej menulis
Rottinees-che Spraakkunst ‘Tata Bahasa Rote’ yang ditulis dalam
terjemahan Belanda. Artikel ini dimuat da-lam
Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde Vol. 41 hal. 554-571; Fanggidaej (1894) Beberapa Tjeritera Peroepamaan Tersalin
Kapada Bahasa Rotti Jang Dinamai Tutui Nakasasamak-Ala yang dimuat dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 44 hal. 450-459; 662-711; Ta-hun 1895 Fanggidaej
menerjemahkan Injil Lukas dalam Bahasa Rote yang diterbitkan di Belanda dengan
judul Het Evangelie van Lucas vertaald in
het Rottineesche.
Tahun 1890 H. Kern menulis daftar kosa kata dalam Bahasa Rote-Melayu
dengan judul Rotti-neesche-Meleische
Woordelijst yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
Vol. 39 hal. 1-26.
Tahun 1893, Nederlandsch-Rottinees-che
Samenspraken oleh Kern dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 42 hal. 71-102.
Tahun 1905, J.C.G. Jonker mengumpulkan cerita-cerita dongeng dalam bahasa
Rote dengan judul Rottineesche Verhalen
yang dimuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 58 hal. 369-401; Over de Eind-Medeklinkers in het Rottineesch
en Timoreesch ‘Konsonan Penutup da-lam Bahasa Rote dan Bahasa Timor’ dalam Bijdra-gen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 59 hal. 263-343 (1906); Rottineesche-Hollandsch Woordenboek
‘Kamus Rote-Belanda’ (1908); Bij-drage
tot de Kennis der Rottineesche Tongvalen ‘Sumbangan untuk pengenalan bahasa orang Rote’ dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volken-kunde
Vol. 68 hal. 521-622 (1913);
Rottineesche Teksten en Vertaling
(1911); dan Rottineesche Spraakkunst
‘Tata Bahasa Rote’ (1915).
Tahun 1962, James Fox mulai
meneliti diser-tasinya di pulau Rote. Dalam
penelitiannya, ia menghasilkan beberapa buku dan artikel tentang bahasa Rote
diantaranya Semantic Parallelism in
Rotinese Ritual Language dalam Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol. 68 hal. 215-255 (1971); Rotinese Ritual Language: Texts and
Translation (1972); Dictionary of
Rotinese Formal Dyadic Language (1972); Bahasa,
Sastra dan Seja-rah: Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat
Pulau Roti (1986).
Tahun 1998, Fanggidae dkk
meneliti Morfo-logi
Bahasa Rote. Kumanireng dkk
(2000) tentang Sintaksis Bahasa Rote
(Laporan yang tidak diterbit-kan).
Selanjutnya tahun 2007, James I. Balukh me-nulis buku Pelajaran Bahasa Rote untuk SD Kelas 3. Balukh juga menulis
beberapa artikel tentang bahasa Rote yang dimuat dalam jurnal linguistik
diantaranya: Konstruksi
nana- -k dalam Bahasa Rote: Antara Pasif dan Anticausatif dan
Aspectual properties in Rotinese.
Fonologi
adalah ilmu yang mempelajari fonem dalam suatu kelas bunyi yang secara fonetis
mirip dan memperlihatkan pula distribusi yang khas (Gleason, 1956:261). Istilah
fonologi seringkali di-samakan dengan fonetik yaitu ilmu yang mempe-lajari bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya untuk membahas
makna (Kridalaksana, 2008:63).
Fonetik
sendiri adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan
fungsi-nya untuk membedakan makna; fonetik
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu fonetik akustik yang menyelidiki bunyi menurut aspek fisiknya sebagai getaran suara,
fonetik auditoris, dan fonetik organis yang menyelidiki bunyi hasil dari
alat-alat bicara (Verhaar, 1981:12). Yang akan dibicarakan dalam bagian ini
adalah fonetik organis yang menyelidiki bagaimana bunyi-bunyi bahasa dihasilkan
oleh alat-alat bicara. Suatu bunyi yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti
kata itu dari kata yang lain disebut fonem (Pateda, 1994:59; banding-kan Kridalaksana 2008:62). Fonem didefinisikan sebagai satuan bunyi tutur
terkecil yang dapat di-bedakan arti (Samsuri, 1980:131).
Fanggidaej
dalam Rottineesche Spraakkunst (1892) menyatakan bahwa bahasa Rote tidak mem-punyai sistem penulisan tersendiri, dan bahasa Melayulah yang menjadi
dasar penulisan bahasa Rote. Secara fonetik, bahasa Rote memiliki se-jumlah bunyi bahasa yang dapat dikelompokan menjadi bunyi vokal, bunyi
semi-vokal, bunyi konsonan, dan bunyi pranasal (Balukh, 2007: xv-xvi).
A.
Vokal
Vokal
disebut juga vokal tunggal atau monof-tong. Vokal
merupakan bunyi bahasa yang dihasil-kan dengan
getaran pita suara, dan tanpa penyem-pitan dalam
saluran suara di atas glotis (Kridalak-sana,
2008:256). Bunyi vokal merupakan suara yang dihasilkan dalam rongga yang
dibentuk oleh bagian atas saluran pernapasan (Martinet, 1987: 52).
Secara
fonemis, bahasa Rote memiliki 5 fonem vokal yaitu /a/, /e/, /i/, /o/,
dan /u/ (bandingkan Fanggidaej, 1892;
Balukh, 2007:xv; Fanggidae dkk 1998:11). Namun secara fonetis, apabila bunyi
vokal diklasifikasikan berdasarkan tinggi rendah-nya lidah, bagian lidah yang bergerak, striktur dan bentuk bibir, maka
bunyi vokal dalam bahasa Rote dapat diklasifikasikan menjadi 7 bunyi vokal
yaitu [i], [u], [e], [ε], [o], [ɔ], dan [a].
Untuk
lebih jelas tentang bunyi vokal dalam bahasa Rote, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
Vokal
|
Tinggi Rendah Lidah
|
Gerak Lidah
|
Striktur
|
Bentuk Bibir
|
[i]
|
tinggi
|
Depan
|
Tertutup
|
tak bulat
|
[u]
|
tinggi
|
Belakang
|
Tertutup
|
Bulat
|
[e]
|
tengah atas
|
Depan
|
semi-tertutup
|
tak bulat
|
[ε]
|
tengah bawah
|
Depan
|
semi-terbuka
|
tak bulat
|
[o]
|
tengah atas
|
Belakang
|
semi-tertutup
|
Bulat
|
[ɔ]
|
tengah bawah
|
belakang
|
semi terbuka
|
Bulat
|
[a]
|
rendah
|
Depan
|
Terbuka
|
tak bulat
|
Dari
tabel di atas, dapat digambarkan peta bunyi vokal bahasa Rote berdasarkan
bentuk lidah (alat ucap) pada gambar 2 berikut.
Gambar 2. Peta Vokal Bahasa Rote
Selain
itu, terdapat pula bunyi vokal pendek dan bunyi
vokal panjang. Pateda (1994:63) mengemukakan adanya vokal panjang dan vokal
pendek, apabila ditentukan berdasarkan lamanya alat bicara dapat dipertahankan.
Bunyi vokal panjang biasanya ditandai dengan pemberian titik dua (:) setelah
bunyi vokal, seperti [u:], [a:], dan [i:] (lih. Marsono, 1993). Dapat juga ditandai dengan pemberian tanda garis
pada bagian atas vokal, misalnya [ū], [ō], [ā], dan [ī] (lih. Martinet, 1987). Atau bisa juga bunyi vokal panjang ditandai dengan penulisan vokal rangkap
seperti [oo], [uu], [aa], dan [ii] (lih. Parera,
1986).
Dalam
sistem fonemik buku ini, bunyi vokal panjang ditandai dengan penulisan fonem
vokal ganda, misalnya bunyi [uu] pada kata luu
‘air mata’. Bunyi [ε] ditandai dengan penulisan
vokal /é/ seperti dalam sélé ‘tanam’, élé ‘itu’ dan fé’ék ‘lain’. Sedangkan bunyi [ɔ] ditandai dengan penu-lisan fonem vokal /ó/ seperti yang digunakan pada kata módó ‘tembakau’, énók [εnɔk] ‘jalan’, ókó
[ɔkɔ] ‘nyiru’, dan sé’ó [sε?ɔ] ‘jual’.
1.
Bunyi
vokal [i]
Bunyi
[i] disebut juga bunyi vokal tinggi depan tertutup tak bundar.
Contoh:
ita [ita] ‘kita’
ni’ak [ni?ak] ‘semut’
makalini [makalini] ‘dingin’
kunik [kuni?] ‘kuning’
Selain
itu terdapat bunyi [i] pendek dan panjang.
Contoh bunyi [i] pendek:
ufi [ufi] ‘ubi’
hataholi [hataholi] ‘orang’
fini [fini] ‘benih’
lilik [lilik] ‘lilin’
fadik [fadik] ‘adik’
Contoh bunyi [i] panjang:
sakasii [sakasii] ‘saksi’
bii [bii] ‘takut’
kaliis [kaliis] ‘liar’
liilii [liilii] ‘lupa’
nafandii [nafandii] ‘(ia) menjadi sinting’
2.
Bunyi
vokal [u]
Bunyi
vokal [u] disebut bunyi vokal tinggi
belakang tertutup dan bulat. Contoh:
ulék [ulεk] ‘periuk’
manu [manu] ‘ayam’
kulak [kulak] ‘kalajengking’
la’us [la?us] ‘kaktus’
falu [falu] ‘delapan’
Contoh bunyi [u] pendek:
manalu [manalu] ‘panjang’
‘utu [?utu] ‘kutu’
kulus [kulus] ‘cabai’
ufi ai [ufi ?ayi] ‘ubi kayu’
ulék [ulɛ’] ‘ulat’
Contoh bunyi [u] panjang:
paluu [paluu] ‘perlu’
makamuu [makamuu] ‘bergemuruh’
uuk [uuk] ‘dedak’
nakaluuk [nakaluuk] ‘bergegas’
3.
Bunyi
vokal [e]
Bunyi
vokal [e] disebut juga bunyi vokal tengah
atas depan semi tertutup tak bulat. Bunyi ini diucapkan seperti bunyi [e] pada kata enak, eja, dan elang dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
emi [emi] ‘kalian’
elus [elus] ‘pelangi’
edak [edak] ‘tangga’
seu [sewu] ‘jahit’
Contoh bunyi [e] pendek:
fela [fela]
‘parang’
eki [eki] ‘berteriak’
mela [mela] ‘keram’
deka [deka] ‘dekat’
Contoh bunyi [e] panjang:
fee [fee] ‘meruncingkan’
nakeenik [nakeeni’] ‘fokus’
bebee [bebee] ‘capung’
seek [seek] ‘memberitahu’
4.
Bunyi
vokal [ε]
Bunyi
[ε] disebut juga bunyi vokal tengah bawah
depan semi-terbuka tak bulat. Bunyi [ε] apabila sebagai fonem maka dapat
dilambang-kan dengan /é/ (Martinet, 1987:53).
Diucapkan seperti bunyi [e] pada kata pesek, cerewet,
dan ‘nenek’ dalam Bahasa Indonesia. Contoh:
ha’dé [ha?dε] ‘padi’
fé’ék [fε?εk] ‘lain’
délé [dεlε] ‘getar’
Contoh bunyi [ε]
pendek:
élé [εlε] ‘sana’
sélé [sεlε] ‘tanam’
méó [mεɔw] ‘kucing’
édó [εdɔ] ‘cungkil’
Bunyi bunyi [ε]
panjang:
féé [fεε] ‘beri’
léé [lεε] ‘sungai’
séé [sεε] ‘siapa’
5.
Bunyi
vokal [o]
Bunyi
vokal [o] disebut juga bunyi vokal tengah
atas belakang semi-tertutup bulat. Di-ucapkan
seperti bunyi [o] pada kata orang
dan roti dalam Bahasa Indonesia. Contoh:
ofak [ofak] ‘kapal’
osi [osi] ‘kebun’
longga [loŋga] ‘kandang’
Terdapat
pula bunyi vokal [o] pendek misalnya pada kata tola [tola] ‘tembus’ dan bunyi [o] panjang seperti pada kata koo [koo] ‘mema-nah’.
6.
Bunyi
vokal [ɔ]
Bunyi
[ɔ] disebut juga bunyi vokal tengah
bawah belakang semi-terbuka bulat. Bunyi [ɔ] apabila sebagai fonem maka dapat dilambang-kan dengan /ó/ (Martinet, 1987:53). Diucapkan seperti bunyi [o] pada kata
oto dan kado dalam Bahasa Indonesia. Contoh:
énók [εnɔk] ‘jalan’
ókó [ɔkɔ] ‘nyiru’
sé’ó [sε?ɔ] ‘jual’
Bunyi
ini juga terdapat bunyi pendek dan panjang. Contoh pada kata dódó [dɔdɔ] ‘bunuh, sembelih’ dan dóódóó [dɔɔdɔɔ] ‘sebentar’.
7.
Bunyi
Vokal [a]
Bunyi
vokal [a] disebut bunyi vokal rendah
depan terbuka tak bulat. Bunyi ini juga terdapat
bunyi pendek dan bunyi panjang.
Contoh
bunyi [a] pendek
abas [abas] ‘benang, kapas’
nita [nita] ‘(dia) melihat’
nasu [nasu] ‘pipi’
mba’a [mba?a] ‘pagar’
Contoh
bunyi [a] panjang:
nataa [nataa] ‘(dia)
menjawab’
napaa [napaa] ‘berbunyi’
ndaa [ndaa] ‘benar’
paa [paa] ‘daging’
B.
Diftong dan Deret Vokal
1)
Diftong
Diftong
disebut juga vokal rangkap dua (Pa-teda,
1994:63). Kridalaksana (2008:49) mendefi-nisikan
diftong sebagai bunyi bahasa yang pada waktu pengucapannya ditandai oleh
perubahan gerak-gerik lidah dan perubahan tamber satu kali, dan yang berfungsi
sebagai inti dari suku kata. Diftong hanya terdapat pada satu suku kata.
Apabila terdapat dua vokal tetapi yang satu dapat dimasukan ke dalam suku kata
yang lain maka dapat disebut sebagai diftong.
Ciri
dari diftong adalah waktu diucapkan, posisi lidah yang satu dengan yang lain
saling berbeda. Perbedaan itu menyangkut tinggi rendah-nya lidah, bagian lidah yang bergerak, serta strik-turnya atau jarak lidah dengan
laingit-langit (Mar-sono, 1993:50).
Dalam
bahasa Rote, hanya terdapat dua bunyi diftong yaitu /ou/ dan /ei/. Dalam
distribusinya, diftong /ou/ hanya menempati posisi tengah dan akhir kata.
Contoh:
louk [lowk] ‘kosong’
manggou [ma-ŋgow] ‘(anda)
memanggil’
touk [towk] ‘laki-laki’
Sedangkan
diftong /ei/ dalam distribusinya da-pat penempati
posisi awal, tengah dan akhir kata. Contoh:
eik [eyk] ‘kaki’
mei [mey] ‘meja’
ambadeik [a-mba-deyk] ‘(saya) berdiri’
teis [teys] ‘tahi’
beik [beyk] ‘belum’
2)
Deret Vokal
Diftong
berbeda dengan deret vokal. Kalau diftong merupakan dua bunyi yang berada dalam
satu suku kata, maka deret vokal merupakan dua bunyi vokal yang masing-masing
termasuk dalam suku kata yang berbeda (Moeliono dkk, 1988:52).
Dalam
bahasa Rote, terdapat 15 deret vokal yaitu /au/, /aé/, /aó/, /ai/, /ea/, /eu/,
/éó/, /ua/, /ui/, /ué/, /iu/, /ió/, /óé/, /oi/, dan /oa/.
1. Deret vokal
/au/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] diucapkan
diantara vokal /a/ dan /u/. Contoh:
pau [pa-wu] ‘tikam’
kakau [ka-ka-wu] ‘nasi’
ndandauk [nda-nda-wuk] ‘jarum’
nggauk [ŋga-wuk] ‘onak, duri’
2. Deret vokal
/aé/; pengucapan vokal /é/ lebih rendah [ε]. Contoh:
mbaé [mba-yε] ‘bengkak’
sólókaék [sɔ-lɔ-ka-yεk] ‘pasir’
kaé [ka-yε] ‘naik,
panjat’
maé [ma- yε] ‘malu’
3. Deret vokal
/aó/; vokal /ó/ diucapakan
lebih rendah [ɔ]. Contoh:
taó [ta-ɔ] ‘membuat’
ma’aó [ma-?a-ɔ] ‘gemuk’
paó [pa-ɔ] ‘mangga’
ko’aó [ko-?a-ɔ] ‘sombong’
4. Deret vokal
/ai/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [y] disisipkan di antara
vokal /a/ dan /i/. Contoh:
sumai [su-ma-yi] ‘demam’
asalai [a-sa-la-yi] ‘(saya) bersandar’
mai [ma-yi] ‘datang’
lain [la-yin] ‘atas’
5. Deret vokal
/ea/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [y] disisipkan di antara
vokal /e/ dan /a/. Contoh:
manea [ma-ne-ya] ‘(engkau)
menjaga’
matea [ma-te-ya] ‘kuat’
kea [ke-ya] ‘kura-kura’
deak [de-yak] ‘luar’
6. Deret vokal
/eu/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /e/ dan /u/. Contoh:
neu [ne-wu] ‘(dia) pergi’
nakaleleu [na-ka-le-le-wu] ‘(dia) menangis’
seu [se-wu] ‘jahit’
manefeuk [ma-nε-fe-wuk] ‘ipar laki-laki’
beuk [be-wuk] ‘baru’
7. Deret vokal
/éó/; dalam pengucapannya, vokal /é/ dan /ó/ diucapkan rendah ([ε] dan [ɔ]). Contoh:
naléó [ni-lε-ɔ] ‘pusing’
léó [lε-ɔ] ‘seperti’
nggéók [ŋgε-ɔk] ‘hitam’
néó [nεɔ] ‘duga,
sangka’
8. Deret vokal
/ua/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /u/ dan /a/. Contoh:
lua [lu-wa] ‘meluap’
mbua [mbu-wa] ‘pinang’
dua [du-wa] ‘dua’
balapua [ba-la-pu-wa] ‘elang’
9. Deret vokal
/ui/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /u/ dan /i/. Contoh:
tui [tu-wi] ‘cerita’
manupui [ma-nu-pu-wi] ‘burung’
suik [su-wik] ‘selam’
10. Deret vokal
/ue/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /u/ dan /é/. bunyi vokal /é/ diucapkan lebih rendah [ε]. Contoh:
kué [ku-wε] ‘musang’
susuék [su-su-wεk] ‘kasih sayang’
fufué [fu-fu-wε] ‘kacang’
namuék [na-mu-wεk] ‘keributan’
11. Deret vokal
/iu/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /u/ dan /a/. Contoh:
masiu [ma-si-wu] ‘idam’
makiuk [ma-ki-wuk] ‘gelap’
liun [li-wun] ‘samudera’
12. Deret vokal
/ió/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [y] disisipkan di antara
vokal /i/ dan /ó/. Bunyi vokal /ó/ diucapkan lebih rendah [ɔ]. Contoh:
koa-kió [ko-wa-ki-yɔ] ‘memuji (Tuhan)’
kió [ki-yɔ] ‘berkicau’
pió [pi-yɔ] ‘gasing’
13. Deret vokal
/óé/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /ó/ dan /é/. Vokal /ó/ dan /é/ diucapkan rendah ([ɔ] dan [ε]).
Contoh:
kókóé [kɔ-kɔ-wε] ‘merayu’
mbóék [mbɔ-wεk] ‘udang’
lóé [lɔ-wε] ‘menurun’
sóé [sɔ-wε] ‘celaka’
14. Deret vokal
/oi/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /o/ dan /i/. Contoh:
mboin [mbo-win] ‘puncak’
soik [so-wik] ‘sumbing’
doik [do-wik] ‘uang’
loi [lo-wi] ‘curi’
15. Deret vokal
/oa/; dalam pengucapannya, bunyi semi-vokal [w] disisipkan di antara
vokal /o/ dan /a/. Contoh:
boboan [bo-bo-wan] ‘samping’
boak [bo-wak] ‘buah’
moa [mo-wa] ‘gubuk’
hoa [ho-wa] ‘kawin
(hewan)’
C.
Konsonan
Menurut
Fanggidaej (1892) bahasa Rote memiliki 14 fonem konsonan yaitu /b/, /d/,
/f/, /h/, /k/, /l/, /m/, /n/, /nd/, /ng/, /ngg/, /p/, /s/, dan /t/. Fanggidae
dkk. (1998) mengemukakan
adanya 15 konsonan dalam bahasa Rote yaitu /b/, /p/, /m/, /d/, /t/, /n/, /f/,
/v/, /s/, /r/, /l/, /k/, /ŋ/, /?/ dan /h/ (Fanggidae dkk, 1998:17). Sedangkan
Balukh (2007:xvi) menyatakan bahwa dalam konsonan terdapat 12 bunyi konsonan: [b],
[p], [m], [f], [d], [t], [n], [l], [s], [k], [ŋ], [?]; 3 semi-vokal: [y], [w],
dan [h]; dan 3 pranasal: [mb], [nd], dan [ŋg]. [3]
Beberapa dialek tidak mengenal bunyi tertentu, sedangkan dialek lain
mengenal bunyi tersebut.
Misalnya bunyi pranasal [ŋg] dalam kata bonggi ‘lahir’ digunakan di Rote bagian barat. Di Rote
tengah, digunakan bunyi nasal
[ŋ] dalam bongi ‘lahir’, sedangkan di Rote bagian timur mengguna-kan bunyi hambat [k] dalam boki ‘lahir’. Selain itu terdapat variasi bunyi [l] dan bunyi [r] yang digunakan oleh dialek-dialek yang berbeda. Misal-nya pada kata hara [hara] ‘suara’ dan hala
[hala] ‘suara’. Oleh karena itu, dalam pembahasan
kon-sonan ini terdapat 19 bunyi
konsonan yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3 Peta Konsonan Bahasa Rote
Keterangan Gambar
b
|
: Bersuara
|
alv
|
: Alveolar
|
tb
|
: tak
bersuara
|
pal
|
: Palatal
|
bil
|
: Bilabial
|
vel
|
: Velar
|
lab
|
: Labiodentals
|
lar
|
: Laringal
|
dent
|
: Dental
|
glo
|
: Glotal
|
1.
Bunyi
Konsonan [b]
Bunyi
konsonan [b] disebut juga bunyi hambat
bilabial bersuara. Berdistribusi hanya pada po-sisi awal kata dan posisi tengah kata.
Contoh
bunyi [b] pada posisi awal kata:
bei [beyi] ‘masih’
bósó’ [bɔsɔ?] ‘jangan’
bóé [bɔε] ‘juga’
bisu [bisu] ‘luka’
Contoh
[b] pada posisi tengah kata:
sabu [sabu] ‘sabun’
abas [abas] ‘benang, kapas’
baba’u [baba?u] ‘kupu-kupu’
laba [laba] ‘panjat’
2.
Bunyi
Konsonan [p]
Bunyi
konsonan [p] disebut juga bunyi hambat
bilabial tak bersuara. Dalam distribusinya hanya terdapat pada awal dan
tengah kata. Contoh bunyi [p] pada awal kata:
pilas [pilas] ‘merah’
pua [puwa] ‘pinang’
pelak [pelak] ‘jagung’
pareta [pareta] ‘perintah’
paa [paa] ‘daging’
Contoh
bunyi [p] pada tengah kata:
lapu [lapu] ‘terbang’
sapi [sapi] ‘sapi, lembu’
sopu [sopu] ‘berburu’
fepa [fepa] ‘pukul’
3.
Bunyi
Konsonan [m]
Bunyi
konsonan [m] disebut juga bunyi nasal
bilabial bersuara. Dalam distribusinya terdapat pada posisi awal, tengah
dan akhir kata.
Contoh pada posisi awal kata:
maé [maε] ‘malu’
manék [manεk] ‘raja’
manu [manu] ‘ayam’
muli [muli] ‘barat’
Contoh pada posisi tenga kata:
ama [ama] ‘bapak’
sumai [sumayi] ‘demam’
damé [damɛ] ‘damai’
Contoh pada posisi akhir kata:
ka’am [ka?am] ‘kakakmu’
tó’óm [tɔ?ɔm] ‘pamanmu’
bafam [bafam] ‘mulutmu’
ti’ilangam [ti?ilaŋam] ‘topimu’
4.
Bunyi
Konsonan [f]
Bunyi
konsonan [f] disebut juga bunyi frikatif
labiodental tak bersuara. Berdistribusi hanya pada posisi awal dan tengah
kata. Contoh:
falu [falu] ‘delapan’
fini [fini] ‘benih’
lafo [lafɔ] ‘tikus’
fafaik [fafayik] ‘pagi’
5.
Bunyi
Konsonan [d]
Bunyi
konsonan [d] disebut bunyi hambat dental
bersuara. Berdistribusi pada awal dan tengah kata. Contoh:
dalek [dalεk] ‘dalam’
dópé [dɔpε] ‘pisau’
da’i [da?i] ‘daki’
sadi [sadi] ‘asalkan’
tuda [tuda] ‘jatuh’
fadik [fadik] ‘adik’
madak [madak] ‘kering’
6.
Bunyi
Konsonan [t]
Bunyi
konsonan [t] disebut juga bunyi hambat
dental tak bersuara. Berdistribusi pada awal kata, tengah, dan akhir kata.[4]
Contoh:
ta’é [ta?ε] ‘pemuda’
teik [teik] ‘perut’
maté [matε] ‘mati’
fiti [fiti] ‘sepak,
tendang’
latés [latɛs] ‘kuburan’
lamat [lamat] ‘belalang’
da’ut [da?ut] ‘ringan’
namahó’ót [namahɔ?ɔt] ‘kegembiraan’
7.
Bunyi
Konsonan [n]
Bunyi
konsonan [n] disebut juga bunyi nasal dental
bersuara. Berdistribusi pada awal kata, tengah, dan akhir kata. Contoh:
nara [nara] ‘nama’
nasu [nasu] ‘memasak’
fanuk [fanu?] ‘musim panas’
tané [tanε] ‘lumpur’
lain [layin] ‘atas’
nalun [nalun] ‘panjangnya’
8.
Bunyi
Konsonan [l]
Bunyi
konsonan [l] disebut bunyi lateral dental
bersuara. Berdistribusi pada awal dan tengah kata. Contoh:
luu [luu] ‘air mata’
lamat [lamat] ‘belalang’
sali [sali] ‘diare’
mbuluk [mbuluk] ‘busuk’
9.
Bunyi
Konsonan [s]
Bunyi
konsonan [s] disebut bunyi frikatif
alveolar bersuara. Berdistribusi pada awal kata, tengah kata dan akhir
kata. Contoh:
safé [safε] ‘cuci’
sanggu [saŋgu] ‘hujan badai’
masik [masik] ‘garam’
tasi [tasi] ‘laut’
ko’as [ko?as] ‘awan’
dinis [dinis] ‘embun’
kulus [kulus] ‘cabai’
abas [abas] ‘benang, kapas’
10. Bunyi Konsonan [k]
Bunyi
konsonan [k] disebut bunyi hambat velar
tak bersuara. Berdistribusi pada awal kata, tengah kata dan akhir kata.
Contoh:
kela [kela] ‘ipar laki-laki’
kué [kuwε] ‘musang’
taka [taka] ‘kapak’
saka [saka] ‘mencari’
fanduk [fanduk] ‘musim panas’
halak [halak] ‘suara’
11. Bunyi Konsonan [ŋ]
Bunyi
konsonan [ŋ] disebut bunyi nasal velar
bersuara. Berdistribusi pada awal kata, tengah kata dan akhir kata. Contoh:
ngai [ŋayi] ‘kami
(objek)’
ngani [ŋani] ‘langkah’
ngame [ŋamε] ‘ole-ole’
tunga [tuŋa] ‘ikut’
sanga [saŋa] ‘cari’
daéng [daeŋ] ‘tanahku’
12. Bunyi Konsonan [?]
Bunyi
konsonan [?] disebut bunyi hambat glotal
tak bersuara. Berdistribusi pada awal kata, tengah kata dan akhir kata.
Contoh:
‘a’a [?a?a] ‘kakak’
‘aé [?aε] ‘naik’
‘ona [?ona] ‘turun’
i'ak [i?ak] ‘ikan’
bi’i [bi?i] ‘domba, kambing’
na’ó [na?ɔ] ‘curi’
sui’ [suwi?] ‘selam’
13. Bunyi Konsonan [mb]
Bunyi
konsonan [mb] disebut bunyi pranasal
bilabial bersuara. Berdistribusi pada awal dan tengah kata. Contoh:
mbuku [mbuku] ‘jamur, cendawan’
mbusé [mbusε] ‘keringat’
lómbó [lɔmbɔ] ‘celana’
femba [femba] ‘pukul’
14. Bunyi Konsonan [nd]
Bunyi
konsonan [nd] disebut bunyi pranasal
dental bersuara. Dalam distribusinya pada awal kata dan tengah kata. Contoh:
ndia [ndiya] ‘dia’
ndala [ndala] ‘kuda’
fanduk [fanduk] ‘musim panas’
banduk [bandu] ‘pelita’
15. Bunyi Konsonan [ŋg]
Bunyi
konsonan [ŋg] disebut bunyi pranasal
velar bersuara. Dalam distribusinya pada awal kata dan tengah kata. Contoh:
ngguté [ŋgutε] ‘gunting’
nggamé [ŋgamε] ‘ole-ole’
sangga [saŋga] ‘mencari’
tingga [tiŋga] ‘topang’
16. Bunyi Konsonan [y]
Bunyi
konsonan [y] disebut bunyi semi vokal
palatal. Dalam distribusinya biasa muncul pada awal kata seru seperti ya [ya’] ‘ya; kata untuk menjawab
panggilan nama’. Selain itu bunyi [y] muncul dalam deret vokal seperti:
kió [kiyɔ] ‘berkicau’
pió [piyɔ] ‘gasing’
sumai [sumayi] ‘demam’
mai [mayi] ‘datang’
matea [mateya] ‘kuat’
deak [deyak] ‘luar’
17. Bunyi Konsonan [w]
Bunyi
konsonan [w] disebut bunyi semi-vokal
bilabial. Dalam distribusinya biasa muncul pada awal kata seru misalnya wéé [wεε] ‘kata seru memanggil orang’.
Selain itu muncul di tengah deret vokal seperti:
pau [pawu] ‘tikam’
kakau [kakawu] ‘nasi’
seu [sewu] ‘jahit’
pua [puwa] ‘pinang’
tui [tuwi] ‘cerita’
sué [suwε] ‘sayang’
makiuk [makiwu] ‘gelap’
póék [pɔwεk] ‘udang’
soik [sowik] ‘sumbing’
doik [dowik] ‘uang’
hoa [howa] ‘kawin
(hewan)’
18. Bunyi Konsonan [h]
Bunyi
konsonan [h] disebut bunyi frikatif
laringal bersuara. Berdistribusi pada awal dan tengah kata.
Contoh
pada awal kata:
henuk [henuk] ‘penuh’
hela [hela] ‘tarik’
hotu [hotu] ‘bakar’
ho’i [ho?i] ‘ambil’
hila [hila] ‘mencari (kutu)’
Contoh
pada tengah kata:
téhu [tεhu] ‘tetapi’
matahiik [matahiik] ‘miring’
nakahina [nakahina] ‘(dia) terluka’
hóhónggé [hɔhɔŋgε] ‘selingkuh’
19. Bunyi Konsonan [r]
Bunyi
konsonan [r] disebut bunyi geletar
alveolar. Dalam distribusinya terdapat pada posisi awal, tengah dan akhir
kata.
Contoh
pada posisi awal kata:
ria [riya] ‘dia’
rita [rita] ‘(mereka) lihat’
rasó [rasɔ] ‘racun’
ratés [ratεs] ‘kubur’
réké [rεkε] ‘hitung’
Contoh
pada tengah kata:
hara [hara] ‘suara’
sira [sira] ‘mereka’
berak [berak] ‘berat’
héré [hεrε] ‘pilih’
Contoh
pada akhir kata
hatahorir [hatahorir] ‘orang (jamak)’
mésér [mεsεr] ‘guru (jamak)’
anggór [aŋgɔr] ‘anggur’
iar [iyar] ‘ini semua’.[5]
D.
Pola Suku Kata
Pola
suku kata dalam bahasa Rote
terdiri dari 7 pola yaitu sebagai berikut:
1)
Pola V
Contoh:
i.nak ‘perempuan’
du.a ‘dua’
be.u ‘baru’
e.sa ‘satu’
o.fak ‘kapal’
2)
Pola VK
Contoh:
ba.uk ‘kelelawar’
la.in ‘atas’
la.la.ók ‘bersih’
fe.u’ ‘baru’
a.ók ‘badan’
3)
Pola KV
Contoh:
ma.ló.lé ‘baik’
sa.ngga ‘cari’
ba.nda ‘hewan’
ba.nda ‘hewan’
hé.lé ‘pilih’
4)
Pola KVV
Contoh:
ei ‘kalian’
mei ‘meja’
tei ‘tahi’
bei ‘nenek’
5)
Pola KVK
Contoh:
di.nis ‘embun’
mé.sér ‘guru’
ma.kees ‘masam’
6)
Pola KVVK
Contoh:
louk ‘kosong’
a.pa.deik ‘(saya) berdiri’
touk ‘laki-laki’
beik ‘belum’
7)
Pola KKV
Contoh:
na.’dé ‘nama’
ha’dé ‘padi’
E.
Variasi Bunyi Dialek
Bahasa Rote yang terdiri dari
berbagai dialek mempunyai beragam variasi bunyi bahasa. Variasi ini secara potensial dapat disebut sebagai pengaruh dari letak
geografis, sehingga dapat juga disebut
sebagai
variasi dialektais. Variasi
ditinjau dari segi fonologis dapat didefinisikan sebagai sebuah ragam yang
terdapat dalam lingkungan yang sama, ter-utama dalam kata yang tidak berbeda maknanya. Variasi bentuk ini
disebut dengan variasi bebas (Kridalaksana, 2008: 253).
a)
Variasi bunyi /r/ dan /l/
Fonem /r/ digunakan di Thie, Oenale, Delha, Ringgou, Oepao, dan
Landu sedangkan di Dengka, Lelain, Ba’a,
Loleh, Korbaffo, Bokai, Bilba, Diu, Lelenuk, Termanu, Keka, dan Talae menggunakan /l/.
Contoh:
/r/
|
/l/
|
Makna
|
déró
hara
rósé
nggari/kari
réké
sira
nggórók/koro’
|
déló
hala
lósé
nggali/ngali
léké
sila
nggólók
|
‘jeruk’
‘suara’
‘hapus’
‘sebar, buang’
‘hitung’
‘mereka’
‘kampung’
|
b)
Variasi /d/, /l/, dan /r/
Fonem /d/ digunakan di
Ba’a, Loleh, Termanu, Keka, Talae, Thie, dan Korbaffo. Fonem /l/ digunakan di
Bokai, Bilba, Diu, Lelenuk, Dengka dan Lelain. Sedangkan fonem /r/ di-gunakan
di Ringgou, Oepao, Landu, Oenale dan Delha. Variasi ini terjadi pada posisi awal
dan tengah kata. Misalnya daé ‘tanah’ menjadi laé ‘tanah’ dan raé ‘tanah’.
Contoh:
/d/
|
/l/
|
/r/
|
Makna
|
dulu
dua
na’dé
do’i
lédó
|
lulu
lua
nala
lo’i
léló
|
rulu
rua
nara
ro’i
réló
|
‘timur’
‘dua’
‘nama’
‘cungkil’
‘matahari’
|
c)
Variasi /r/, /l/, /n/, dan
/nd/
Fonem /r/ digunakan di
Ringgou, Landu, Delha dan Oepao. Fonem /l/ digunakan di Bilba, Diu, Bokai, dan
Lelenuk. Fonem /n/ digunakan di Korbaffo, Termanu, Keka, Talae. Sedangkan fonem
/nd/ digunakan di Ba’a, Loleh, Thie, Lelain, Dengka dan Oenale. Variasi ini
terjadi pada fonem yang berdistribusi pada tengah kata. Misalnya Orang Ringgou
menyebut éré ‘rendam’, di Bilba menyebut élé ‘rendam’ sedangkan di Termanu menggunakan éné ‘rendam’,
dan Loleh menggunakan éndé ‘rendam’.
Contoh:
/r/
|
/l/
|
/n/
|
/nd/
|
Makna
|
bara
faruk
fora
|
bala
falu’
fola
|
bana
fanuk
fona
|
banda
fanduk
fonda
|
‘hewan’
‘kemarau’
‘rampas’
|
d)
Variasi /nd/, /l/, dan /r/
Fonem /nd/ digunakan
di Ba’a, Loleh, Thie, Korbaffo, Termanu, Keka, Talae, Dengka, Lelain, Delha dan
Oenale. Fonem /l/ digunakan di Bilba, Diu, Lelenuk dan Bokai. Sedangkan fonem
/r/ digunakan di Ringgou, Landu dan Oepao. Variasi ini terjadi pada fonem yang
menempati posisi awal kata.
Contoh:
/nd/
|
/l/
|
/r/
|
Makna
|
ndefa
ndolu
nduuk
ndé/ndia
|
lefa
lolu’
luu’
léé
|
refa
rolu
ruu’
réé /ria
|
‘rebah’
‘ahli, tukang’
‘bintang’
‘di’
|
e)
Variasi /ngg/, /ng/, dan
/k/.
Fonem /ngg/ digunakan
di Rote bagian barat (Loleh, Ba’a, Dengka, Lelain, Oenale, Delha dan Thie).
Fonem /ng/ digunakan di Rote bagian tengah (Termanu, Keka, Talae, Bokai,
Korbaffo, Bilba, Diu, dan Lelenuk). Sedang-kan fonem /k/ digunakan di Ringgou,
Landu, dan Oepao (Rote Timur).
Variasi /ng/ yang
digunakan oleh Bilba, Diu, Lelenuk dan Bokai bukan hanya terjadi pada tengah
kata tetapi juga pada awal kata, sedang-kan variasi /ng/ yang digunakan di
Termanu, Keka, dan Talae berdistribusi hanya terjadi pada tengah kata. Variasi
/k/ yang digunakan oleh Rote timur terjadi pada awal dan tengah kata.
Contoh:
/ngg/
|
/ng/
|
/k/
|
Makna
|
ngguté
nggénggé
nggali
sangga
enggak
hénggé
|
nguté
ngéngé
ngali
sanga
engak
héngé
|
kuté
kéké
kari
saka
eka’
héké
|
‘gunting’
‘kaget’
‘sebar'
‘cari’
‘rumput laut’
‘ikat’
|
f)
Variasi /mb/, /mp/, dan /p/
Fonem /mb/ digunakan
di Rote bagian barat yaitu Loleh, Thie, Dengka, Lelain, Ba’a, Delha dan Oenale.
Sedangkan /p/ umumnya diguna-kan di Rote bagian tengah dan timur. Dalam
distribusinya, terjadi pada posisi awal dan tengah kata.
Contoh:
/mb/
|
/p/
|
Makna
|
mbaa
bumbu
dómbó
mbunuk
kamba
|
paa
bupu
dópó
punuk
kappa
|
‘daging’
‘tabuhan’
‘aduk’
‘sabut’
‘kerbau’
|
g)
Variasi /b/ dan /f/
Fonem /b/ digunakan di
Loleh, Thie, Ba’a, Rote bagian tengah dan timur. Sedangkan fonem /f/ digunakan
di Dengka, Lelain, Delha dan Oenale. Variasi ini berdistribusi hanya pada
posisi awal kata.
Contoh:
/b/
|
/f/
|
Makna
|
bai/bali
bulu
bafók
bafi
bini
bulak
|
fai
fulu
fafók
fafi
fini
fulan
|
‘lagi’
‘bulu’
‘permukaan’
‘babi’
‘bibit’
‘bulan’
|
h)
Variasi /k/ dan /’/
Fonem /’/ hanya
digunakan di Ringgou, Oepao, Landu, Oenale, Delha dan Dengka, sedangkan yang
lainnya menggunakan fonem /k/. Dalam distribusinya, variasi ini terjadi pada
awal, tengah dan akhir kata. Di Korbaffo tidak mengenal bunyi [k] dan [?].
Misalnya kata kada/’ada ‘hanya’ dan nakó/na’ó ‘curi’ yang digunakan oleh dialek-dialek lainnya,
sedangkan di Korbaffo menggunakan kata ada
‘hanya’ dan naó ‘curi’.
Contoh:
/k/
|
/’/
|
Makna
|
kada
kaé
kala
nakó
taka
buka
la’ók
suik
|
‘ada
‘aé
‘ala
na’ó
ta’a
hu’a
la’ó’
sui’
|
‘hanya’
‘naik’
‘kalah’
‘curi’
‘kapak’
‘buka’
‘jalan’
‘selam’
|
[1] Data Primer Kabupaten Rote Ndao Tahun 2011
[2] Konsonan penutup dalam hal
ini disebutkan oleh Jonker, namun dalam buku ini disebut sebagai sufiks
penentu.
[3] Dalam pembahasan ini, penulis memasukan bunyi
semi-vokal dan bunyi pranasal dalam pembahasan bunyi konsonan.
[4] Dalam bahasa Rote, konsonan /t/ yang digunakan pada
posisi akhir kata hanya dialek Dengka dan Oenale, sedangkan dialek lainnya
menggunakan /k/.
[5] Penggunaan /r/
pada posisi akhir untuk menyatakan jamak digunakan di Dengka, Thie, dan Oenale;
dialek-dialek lainnya menggunakan /-la/
atau /-ra/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar